Sabtu, 24 April 2010

SABAR ADALAH GERBANG SEGALA KEBAIKAN

   

Sesungguhnya iman itu terdiri atas dua bagian: sebagian sabar dan sebagian syukur. Keduanya merupakan dua sifat dari sifat-sifat Allah Ta’ala dan dua nama dari al-asmaa-ul-husnaa, dimana Dia menamakan Diri-Nya dengan nama ash-Shabuur dan asy-Syakuur. Maka kebodohan terhadap hakikat sabar dan syukur, sebenarnya adalah kebodohan daripada sifat-sifat Dia Ta’ala.

Keutamaan Sabar

Allah Ta’ala sesungguhnya telah menyifatkan orang-orang yang sabar, dengan beberapa sifat. Ia menambahkan lebih banyak derajat dan kebajikan kepada sabar. Ia menjadikan derajat dan kebajikan itu sebagai hasil (buah) dari sabar. Maka Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu beberapa pemimpin yang akan memberikan pimpinan dengan perintah Kami, yaitu ketika mereka berhati teguh (sabar)”. (QS. As-Sajadah : 24).

“Dan telah sempurnalah perkataan yang baik dari Tuhan engkau untuk Bani Israil, disebabkan keteguhan hati (kesabaran) mereka”. (QS Al A’raf : 137).

“Kepada orang-orang itu diberikan pembalasan (pokok) dua kali lipat, disebabkan kesabaran mereka”. (QS. Al Qashash : 54)

“Sesungguhnya orang-orang yang sabar itu, akan disempurnakan pahalanya dengan tiada terhitung”. (QS Az-Zumar : 10).


Maka tidak ada dari pendekatan diri manusia kepada Allah (ibadah), melainkan pahalanya itu ditentukan dengan kadar dan dapat dihitung, selain sabar. Dan sesungguhnya adanya puasa itu sebagian dari sabar dan puasa itu separuh sabar, maka Allah Ta’ala mengaitkan puasa itu bagi orang-orang yang bersabar, bahwa Ia bersama mereka.

“Hendaklah kamu bersabar, sesungguhnya Allah itu bersama orang-orang yang sabar”. (QS. Al-Anfal : 46).

“Ya! Kalau kamu sabar dan memelihara diri, sedang mereka datang kepadamu (menyerang) dengan cepatnya, Tuhan akan membantu kamu dengan lima ribu malaikat yang akan membinasakan”. (QS. Ali ‘Imran : 125).

Dan penelitian semua ayat-ayat tentang kedudukan sabar itu akan panjang bila diteruskan.

Adapun hadits-hadits yang menyangkut dengan sabar, maka di antara lain, Nabi s.a.w. bersabda : “Sabar itu separuh iman”, sebagaimana nanti akan diterangkan caranya sabar itu separuh iman. Adapun hadits-hadits yang lain di antaranya:

“Dari yang sekurang-kurangnya diberikan kepada kamu, ialah: keyakinan dan kesungguhan sabar. Siapa yang diberikan keberuntungan dari keyakinan dan kesungguhan sabar itu, niscaya ia tidak peduli dengan yang luput dari padanya, dari shalat malam dan puasa siang.

Dan engkau bersabar di atas apa yang menimpa atas diri engkau, adalah lebih aku sukai, daripada disempurnakan oleh setiap orang daripada kamu, kepadaku, dengan seperti amalan semua kamu. Akan tetapi aku takut, bahwa dibukakan kepadamu dunia sesudahku. Lalu sebagian kamu menetang sebagian yang lain. Dan akan ditantang kamu oleh penduduk langit (para malaikat) ketika itu. Maka siapa yang sabar dan memperhitungkan diri, niscaya memperoleh kesempurnaan pahalanya”.

Kemudian Nabi s.a.w. membaca firman Allah Ta’ala: “Apa yang di sisi kamu itu akan hilang dan apa yang di sisi Allah itu yang kekal. Dan akan Kami berikan kepada orang-oang yang sabar itu pembalasan, menurut yang telah mereka kerjakan dengan sebaik-baiknya” (An-Nahl:96).

Diriwayatkan Jabir, bahwa Nabi s.a.w ditanyakan tentang iman, maka Beliau menjawab: “Sabar dan suka memaafkan”.

Dikatakan bahwa Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada nabi Daud a.s.:

“Berakhlaklah dengan akhlak-Ku! Sesungguhnya sebagian dari akhlak-Ku, ialah, bahwa Aku Maha Sabar.”

Pada hadits yang diriwayatkan ‘Atha’ dari Ibnu Abbas, bahwa ketika Rasulullah s.a.w. masuk ke tempat orang-orang Anshar, lalu beliau bertanya:

“Apakah kamu ini semua orang beriman?”.

Semua mereka diam. Maka menjawab Umar r.a.: “Ya, wahai Rasulullah!”.

Nabi s.a.w. lalu bertanya: “Apakah tandanya keimanan kamu itu?”

Mereka menjawab: “Kami bersyukur atas kelapangan. Kami bersabar atas percobaan. Dan kami rela dengan ketetapan Tuhan (qadha Allah Ta’ala)”.

Lalu Nabi s.a.w. menjawab: “Demi Tuhan pemilik Ka’bah! Benar kamu itu orang beriman!”.

Nabi s.a.w. bersabda:

“Pada kesabaran atas yang tidak engkau sukai itu banyak kebajikan”.

Isa Al-Masih a.s. berkata:

“Engkau sesungguhnya tiada akan memperoleh apa yang engkau sukai, selain dengan kesabaranmu atas apa yang tiada engkau sukai”.

Adapun atsar, maka di antaranya ialah terdapat pada surat khalifah Umar bin al-Khatab r.a. kepada Abu Musa Al-Asy’ari r.a., yang bunyinya di antara lain:

“Haruslah engkau bersabar! Dan ketahuilah, bahwa sabar itu dua. Yang satu lebih utama dari yang lain: sabar pada waktu musibah itu baik. Dan yang lebih baik daripadanya lagi, ialah sabar (menahan diri) dari yang diharamkan Allah Ta’ala. Dan ketahuilah, bahwa sabar itu yang memiliki iman. Yang demikian itu, adalah bahwa takwa itu kebajikan yang utama. Dan takwa itu dengan sabar”.

Ali r.a. berkata pula:

“Sabar itu dari iman, adalah seperti kedudukan kepala dari tubuh. Tidak ada tubuh bagi orang yang tidak mempunyai kepala. Dan tidak ada iman, bagi orang yang tiada mempunyai kesabaran”.

Adalah Habib bin Abi Habib Al Bashari, apabila membaca ayat: “Sesungguhnya dia (Ayub) kami dapati, seorang yang sabar. Seorang hamba yang amat baik. Sesungguhnya dia tetap kembali (kepada Tuhan)” (QS. Shad : 44), lalu beliau menangis dan berkata: “Alangkah menakjubkan! Ia yang memberi dan Ia yang memujinya.”

Penjelasan Hakikat Sabar

Ketahuilah kiranya, bahwa sabar itu suatu maqam (tingkat) dari tingkat-tingkat agama. Dan suatu kedudukan dari kedudukan orang yang berjalan menuju kepada Allah (saalikiin). Dan semua maqam agama itu hanya dapat tersusun baik dari tiga hal: ma’rifah, ahwal dan amal. Maka ma’rifah itu adalah pokok, dialah yang mewariskan ahwal; dan ahwal itu yang membuahkan amal.

Ma’rifah itu adalah seperti pohon kayu, ahwal adalah seperti ranting, dan amal seperti buah. Dan ini terdapat pada semua kedudukan para saalikiin. Seperti demikian pula sabar. Tiada akan sempurna sabar itu selain dengan ma’rifah yang mendahuluinya dan dengan ahwal yang tegak berdiri.

Adapun insan itu, maka sesungguhnya ia diciptakan pada permulaan masa kecilnya tanpa keinginan selain keinginan makan. Kemudian lahirlah keinginan bermain dan berhias, kemudian nafsu keinginan kawin. Dan tak ada sekali-kali pada insan —pada masa kecil tersebut— kekuatan sabar. Pada anak kecil itu yang ada hanyalah tentara hawa nafsu, seperti yang ada pada hewan.

Akan tetapi, Allah Ta’ala dengan kurnia-Nya dan keluasan kepemurahan-Nya, memuliakan anak Adam dan meninggikan derajat mereka dari derajat hewan-hewan. Maka Allah Ta’ala mewakilkan kepada manusia itu ketika sempurna dirinya dengan mendekati kedewasaan, dua malaikat. Yang satu memberinya petunjuk dan yang satu lagi menguatkannya. Maka berbedalah manusia itu dengan pertolongan dua malaikat tadi dari hewan-hewan.

Maka jadilah insan itu dengan sinar petunjuk, mengetahui bahwa mengikuti nafsu syahwat itu tidak disukai pada akibatnya. Akan tetapi, petunjuk itu tidaklah memadai, selama tidak ada baginya kemampuan untuk meninggalkan yang mendatangkan melarat. Lalu ia memerlukan kepada kemampuan dan kekuatan yang dapat menolakkannya kepada menyembelih nafsu syahwatnya itu. Lalu ia melawan nafsu syahwat tersebut dengan kekuatan itu. Sehingga diputuskannya permusuhan nafsu syahwat tadi darinya. Maka Allah Ta’ala mewakilkan seorang malaikat lain padanya yang membetulkannya, meneguhkannya dan menguatkannya dengan tentara yang tiada engkau dapat melihatnya. IA memerintahkan tentara ini, untuk memerangi tentara nafsu syahwat. Maka sekali tentara ini yang lemah dan sekali ia yang kuat.

Hendaklah dipahami, bahwa peperangan itu, terjadi antara penggerak agama dan penggerak hawa nafsu. Dan peperangan antara yang dua tadi, berlaku terus menerus. Dan medan peperangan ini ialah qalb hamba.

Sumber bantuan kepada penggerak agama itu datangnya dari para malaikat, yang menolong barisan (tentara) Allah Ta’ala. Dan sumber bantuan penggerak nafsu syahwat itu, datangnya dari syaitan-syaitan yang membantu musuh-musuh Allah Ta’ala.

Maka sabar itu adalah ibarat dari tetapnya penggerak agama menghadapi penggerak nafsu syahwat. Kalau penggerak agama itu tetap, sehingga dapat memaksakan penggerak nafsu syahwat dan terus-menerus menantangnya, maka penggerak agama itu telah menolong tentara Allah. Dan berhubung dengan orang-orang yang sabar. Dan kalau ia tinggalkan dan lemah, sehingga ia dikalahkan oleh nafsu syahwat dan ia tidak sabar pada menolaknya, niscaya ia berhubungan dengan mengikuti syaitan-syaitan.

Jadi, meninggalkan perbuatan-perbuatan yang penuh dengan nafsu syahwat itu adalah amal perbuatan yang dihasilkan oleh suatu ahwal, yang dinamakan sabar, yaitu tetapnya penggerak agama yang berhadapan dengan penggerak nafsu syahwat. Tetapnya penggerak agama itu adalah suatu hal yang dihasilkan oleh iman, dengan memusuhi nafsu syahwat dan melawannya, karena sebab-sebab kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Sesungguhnya semua yang tersebut itu, adalah isyarat yang mengisyaratkan kepada hal-hal yang lebih tinggi dari ilmu mu’amalah. Maka kami terangkan, bahwa telah jelas sabar itu adalah ibarat dari tetapnya penggerak agama pada melawan penggerak hawa nafsu. Dan perlawanan ini adalah termasuk ciri khas anak-anak Adam, karena diwakilkan kepada mereka, malaikat-malaikat yang mulia yang menuliskan amal perbuatan mereka.

Sabar itu Setengah Iman

Ketahuilah kiranya, bahwa iman itu pada suatu kali, disandarkan secara mutlak kepada tasdiq dengan pokok-pokok agama, dan pada suatu kali lainnya dengan amal shalih yang datang dari tasdiq itu, dan pada suatu kali lainnya lagi keduanya sekaligus: iman dan amal shalih.

Adapun “sabar itu setengah iman” berdasarkan dua pandangan dan atas kehendak dua pemakaian kata. Pandangan pertama, iman itu dikatakan secara mutlak kepada semua tasdiq dan amalan. Lalu iman itu mempunyai dua sendi (rukun). Yang satu yakin dan yang lain sabar.

Yang dimaksudkan dengan yakin ialah ma’rifah-ma’rifah yang diyakini kepada pokok-pokok agama. Dan yang dimaksudkan dengan sabar ialah amal (berbuat) menurut yang dikehendaki oleh keyakinan. Keyakinan tersebut, misalnya, mengajarkan bahwa maksiat itu mendatangkan melarat dan tha’at itu mendatangkan manfaat. Dan tidak mungkin meninggalkan perbuatan maksiat dan rajin kepada taat, selain dengan sabar. Maka adalah sabar itu separuh iman dengan pandangan ini. Dan karena itulah, rasulullah s.a.w. mengumpulkan di antara keduanya, dengan sabdanya:

“Di antara yang paling sedikit yang diberikan kepada kamu ialah yakin dan keras kesabaran”.

Pandangan kedua, iman itu dikatakan secara mutlak kepada ahwal yang membuahkan amal, dan bukan ma’rifah-ma’rifah. Dan ketika itu, terbagilah semua yang ditemui oleh hamba dalam hidupnya, kepada yang bermanfaat kepadanya di dunia dan di akhirat atau yang mendatangkan melarat kepadanya di dunia dan akhirat. Dan hamba itu dengan dikaitkan kepada yang mendatangkan melarat kepadanya mempunyai hal (sifat) syukur. Maka syukur itu dengan pandangan ini adalah salah satu dari dua bagian iman, sebagaimana yakin adalah salah satu dari dua bagian itu, menurut pandangan pertama di atas.

Dengan pandangan tersebut, Ibnu Mas’ud r.a. berkata:

“Iman itu dua paruh (nishfu), separuh sabar dan separuh syukur”.

Hal-Hal tentang Sabar

Ketahuilah kiranya bahwa sabar itu dua bagian: Pertama, bagian badaniah, seperti menanggung kesukaran dengan badan dan tetap bertahan atas yang demikian. Dan ini adakalanya dengan perbuatan, seperti mengerjakan perbuatan-perbuatan yang sukar. Adakalanya dari perbuatan-perbuatan ibadan dan bukan ibadah. Adakalanya dengan penanggungan seperti sabar dari pukulan keras, sakit parah dan luka-luka besar.

Kemudian bagian kedua, kalau adalah sabar dari nafsu syahwat perut dan kemaluan, maka dinamakan ‘iffah (pemeliharaan diri). Kalau sabar itu pada musibah, maka disingkatkan saja atas nama sabar, lawannya adalah gelisah dan keluh kesah. Kalau sabar itu pada membawakan kekayaan dinamakan mengekang diri, lawannya dinamakan sombong dengan kesenangan (al-bathar). Kalau sabar pada peperangan dinamakan berani, lawannya pengecut. Kalau sabar itu dalam menahan amarah dinamakan lemah lembut, lawannya ialah at-tadzammur (pengutukan diri kepada yang sudah hilang). Kalau sabar itu pada suatu pergantian masa yang membosankan maka dinamakan lapang dada, lawannya mangkal hati dan sempit dada. Kalau sabar itu pada menahan diri dari kehidupan dunia maka dinamakan zuhud, lawannya lahap.

Maka yang terbanyak dari akhlak iman itu masuk dalam sabar. Karena itulah, pada suatu kali Nabi s.a.w. ditanyakan tentang iman, lalu beliau menjawab: “Ialah sabar”. Karena sabar itu yang terbanyak dari amal-perbuatan iman dan yang termulia dari amal perbuatan itu. Allah Ta’ala mengumpulkan bagian-bagian itu dan semuanya dinamakan sabar, dengan firman-Nya:

“Mereka yang sabar dalam musibah, kemiskinan dan ketika peperangan. Merekalah orang-orang yang benar dan merekalah orang-orang yang bertakwa - memelihara dirinya dari kejahatan”. (QS Al Baqarah : 177).

Jadi, inilah bagian-bagian sabar, dengan perbedaan hubungan-hubungannya. Dan siapa yang mengambil arti (maksud) dari nama, niscaya ia menyangka bahwa hal keadaan itu berbeda pada zatnya dan hakikatnya, dari segi ia melihat nama-nama itu berbeda. Maka arti itu pokok dan kata-kata itu adalah pengikut. Siapa yang mencari arti dari pengikut, niscaya tidak boleh tidak, ia akan tergelincir. Dan kepada dua golongan itulah, diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “Adakah orang yang berjalan menelungkup di atas mukanya lebih mendapat petunjuk ataukah orang yang berjalan dengan lurus di atas jalan yang benar? (QS. Al Mulk : 22).

Ketahuilah kiranya, bahwa penggerak agama, dikaitkan kepada penggerak hawa nafsu itu mempunyai tiga hal/keadaan:

Bahwa ia memaksakan penggerak hawa nafsu. Lalu penggerak hawa nafsu itu tidak mempunyai lagi kekuatan untuk melawan. Dan sampai kepada yang demikian itu, dengan berkekalan sabar. Yang sampai kepada tingkat ini adalah sedikit. Yakni, ash-shiddiqun, dan al-muqarrabun. Mereka itulah orang-orang yang akan dipanggil: “Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridla, yang diridlai.”

Bahwa menanglah pengajak-pengajak hawa nafsu secara mutlak, jatuhlah perlawanan penggerak agama. Lalu ia menyerahkan dirinya kepada tentara setan dan ia tidak berjuang (bermujahadah) karena berputus-asa. Merekalah orang-orang yang lalai, dan ini adalah golongan yang terbanyak.

Kepada merekalah diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala:

“Dan kalau Kami kehendaki, niscaya Kami berikan petunjuk kepada setiap diri. Tetapi perkataan dari-Ku, sebenarnya akan terjadi, sesungguhnya Aku akan memenuhkan neraka Jahanam dengan jin dan manusia semuanya” (QS. As- Sajadah : 13).

Merekalah orang-orang yang membeli kehidupan duniawi dengan akhirat sehingga rugilah perniagaan mereka, dan dikatakan kepada orang yang bermaksud menunjuki jalan kepada mereka: “Berpalinglah engkau dari orang yang tiada memperdulikan pengajaran Kami dan hanya menginginkan kehidupan duniawi semata! Pengetahuan mereka hanya sehingga itu”. (QS. An-Najm : 29-30).

Keadaan ini, tandanya ialah: putus asa, hilang harapan dan tertipu dengan angan-angan. Itulah yang paling bodoh, sebagaimana Nabi s.a.w. bersabda:

“Orang yang pintar itu meng-agamakan dirinya dan berbuat amal untuk sesudah mati. Dan orang yang bodoh ialah orang yang mengikutkan dirinya kepada hawa nafsunya dan ia berangan-angan atas Allah”.

Orang yang berkeadaan begini, apabila diberi pengajaran, niscaya menjawab: “Aku ingin bertobat. Akan tetapi, sukar tobat itu atas diriku. Lalu aku tidak mengharap padanya”, atau ia tidak ingin bertobat akan tetapi membalas: “Sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun, Maha Pengasih, lagi Maha Pemurah. Maka Dia tidak memerlukan kepada tobatku”.

Bahwa peperangan itu adalah menjadi hal yang biasa di antara dua tentara. Sekali ia memperoleh kemenangan atas peperangan itu, dan sebaliknya. Inilah yang termasuk golongan al-mujahiduun. Orang-orang yang berkeadaan dengan keadaan ini ialah mereka yang mencampuradukkan amal perbuatan yang baik dan yang lain yang jahat, seperti firman Allah Ta’ala: “Mereka telah mencampur-adukkan pekerjaan yang baik dengan yang buruk”. Kiranya Allah Ta’ala menerima taubat mereka!

Penutup

Berkata sebagian orang ‘arifin: “ahlush-shabri itu adalah atas tiga maqam.

Pertama, orang-orang yang meninggalkan nafsu syahwat, dan ini adalah derajat orang-orang yang taubat (mutawwabiin).

Kedua, orang-orang yang ridla dengan yang ditakdirkan Tuhan, dan ini adalah derajat orang-orang zahid.

Ketiga, orang-orang yang suka kepada apa yang diperbuat Tuhannya, dan ini adalah derajat orang-orang shiddiq (ash-shiddiqin).“

Semoga Allah yang Maha Pengasih menganugrahkan kepada kita kesabaran. Amin.

(Dari Kajian Forum Ihya, PICTS)

LETAK SINGASANA ALLAH

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh…!.

Sahabat…!.
Dimana letak Singasana Allah Yang Agung….!.
Jika kalian wahai sahabat ada disana, berarti kita satu rumah…!.
Ketika kita satu rumah…, apa kata pikiranmu…?.
Apakah kita masih mengatakan:

“Oh Tuhan-ku Yang Maha Agung…, Aku diciptakan dari api sedangkan Adam diciptakan dari tanah…!. Ana khairun minhu khalaqtani min naarin…”
Kalau masih…, maka dimanakah gerangan letak kesatuan RUH …??.
Namun begitu…, tanda-tanda untuk itu masih ada dalam suasana hati kita…!!.
Padahal katanya: “Aku ikut Allah saja…”.
Akan tetapi tanpa sadar kita pecah seperti orang syariat… lainnya,
Akan tetapi tanpa sadar kita pecah seperti orang hakekat… lainnya,
Kalau begitu pastilah diantara kita ada yang tidak duduk dalam ketundukpatuhan….!
Karena yang diperdebatkan adalah pikiran si Anu, pikiran Abu Sangkan, pikiran Deka…!
Kenapa kita tidak berada saja dalam satu rumah-NyaYang Maha Dekat…!.
Lalu kenapa kita tidak saling membaca dengan kerendahan hati…
Bahwa syariat itu disatukan oleh apa….?.
Bahwa hakekat itu juga disatukan oleh apa…?
Dua-duanya ternyata disatukan oleh RUH…!.
RUH lah yang membuat syariat mempunyai kedalaman makna…
Dan…, RUH jualah yang membuat hakekat mempunyai keindahan aturan-aturan…
Coba tengoklah sejenak sejarah nenek moyang kita…!.
Walau saat itu Adam, Malaikat, dan Iblis bersatu dalam Rumah-Nya Yang Maha Dekat…
Walau mereka masing-masing bermakrifat kepada Allah dengan kualitas yang prima sekali…
Walau Malaikat saat itu menyatakan: “Aku ikut Allah…”, namun nyaris saja mereka ikut pikirannya sendiri. Hanya kelembutan Allahlah yang menyelamatkan Malaikat dari keangkuhan pikirannya sendiri…

Walau Iblis saat itu menyatakan: “Aku ikut Allah…”, namun saat itu (bahkan sampai kapanpun) iblis ternyata masih keukeuh (ngotot) memakai fikirannya sendiri:

“Ana khairun minhu khalaqtani min naarin…”, katanya angkuh.

Lalu ada apa dengan kita…, wahai sahabat…?.
Kalau kita berani mengatakan : “Aku ikut Allah…”,
Lalu kenapa kita tidak mau ikut alur PIKIRAN ALLAH….?.

Dan tidaklah PIKIRAN ALLAH itu melainkan Al Qur’an…,
Dan tidaklah PIKIRAN ALLAH itu melainkan Syariat…,

Malaikat akhirnya ikut PIKIRAN ALLAH, dengan sujud menghormat kepada Adam…
Karena malaikat sadar ada RUH (milik) TUHAN yang meliputi Adam…
Dan bersujud, patuh, serta bertasbih itulah bentuk kepatuhan Malaikat dalam bersyariat…

Akan tetapi…, Iblis malah memilih untuk TETAP ikut pikirannya sendiri…
Akibatnya Sang Iblis dalam wilayah kemakrifatannya kepada Allah, justru jatuh menjadi makhluk yang sama sekali tidak bersyariat…

Semoga dalam Ramadhan ini kita semua berada dalam wilayah BUKAN syetan…
Wilayah yang BUKAN pikiran kita sendiri.

Oleh sebab itu, selama ramadhan ini targetkan dan raihlah agar kita berada diwilayah:

“Aku mau ikut Allah,
Dan …, Aku mau pula ikut PIKIRAN ALLAH…,
yaitu Al Qur’an dan Syariat (sunnah)…!”.
Inilah suasana Idul Fitri yang sebenarnya…!.
Suasana Kesadaran RUH…!.
Yang membuat Mailaikat harus sujud…!


Abu Sangkan