Selasa, 17 Agustus 2010

Puasa dalam pandangan Rumi




    Ada kebahagiaan rahasia bersama perut yang kosong.
    Kita cuma alat musik petik, tak lebih, tak kurang.
    Kotak suara penuh, musik pun hilang.

    Bakar habis segala yang mengisi kepala dan perut
    dengan menahan lapar, maka setiap saat
    irama baru akan keluar dari api kelaparan yang nyala berkobar.
    Ketika hijab habis terbakar, keperkasaan baru akan membuatmu melejit
    berlari mendaki setiap anak tangga di depanmu yang digelar.

    Jadilah kosong,
    lalu merataplah
    seperti indahnya ratapan bambu seruling yang ditiup pembuatnya.

    Lebih kosong,
    jadilah bambu yang menjadi pena (*1),
    tulislah banyak rahasia-Nya.

    Ketika makan dan minum memenuhimu, iblis duduk
    di singgasana tempat jiwamu semestinya duduk:
    sebuah berhala buruk dari logam duduk di Ka’bah.

    Ketika kau berpuasa menahan lapar, sifat-sifat baik
    mengerumunimu bagai para sahabat yang ingin membantu.

    Puasa adalah cincin Sulaiman (*2). Jangan melepasnya
    demi segelintir kepalsuan, hingga kau hilang kekuasaan.

    Namun andai pun kau telah melakukannya, sehingga
    seluruh kemampuan dan kekuatan hilang darimu,
    berpuasalah: mereka akan datang lagi kepadamu,
    bagai pasukan yang muncul begitu saja dari tanah,
    dengan bendera dan panji-panji yang berkibaran megah.

    Sebuah meja akan diturunkan dari langit ke dalam tenda puasamu,
    meja makan Isa (*3). Berharaplah memperolehnya,
    karena meja ini dipenuhi hidangan lain,
    yang jauh, jauh lebih baik dari sekedar sup kaldu sayuran.

Keterangan:

(1) Kitab-kitab suci ditulis dengan pena bambu dan pena alang-alang yang dicelup ke dalam tinta.

(2) “Cincin Sulaiman” konon adalah sumber kekuasaan. Legenda mengatakan, ‘barangsiapa yang mengenakan cincin Nabi Sulaiman, ia akan memperoleh kekuasaan’. Sebenarnya “cincin Sulaiman” adalah cincin tembaga atau besi murahan yang diukir dengan kata-kata “Ini pun akan berlalu”. Jika beliau merasa senang, ia menyadari bahwa kesenangannya adalah sementara sehingga ia menjadi sabar. Demikian pula, jika beliau merasa sedih, dengan melihat ke cincinnya ia menyadari bahwa kesedihannya bersifat sementara sehingga ia juga menjadi sabar dan ridha. “Cincin Sulaiman”, yang barangsiapa memilikinya konon akan memperoleh kekuasaan besar, adalah kesabaran.

(3) “Meja Isa” adalah meja tempat Nabi Isa makan bersama para murid-muridnya dan menjamu mereka, setelah beliau dibangkitkan dari kematian.

Senin, 16 Agustus 2010

PEMAHAMAN SULUK DALAM THARIQOH

Suluk sebenarnya hampir sama dengan  thari. Keduanya memiliki arti kata "cari" atau "jalan", dalam istilah sufi cara buat jalan mendekati tuhan dan beroleh makrifat. Tetapi pengertian suluk  itu lama kelamaan di tujukan kepada semacam latihan, yang di lakukan dalam jangka waktu tertentu untuk memperoleh keadaan mengenai ahwal dan maqamat dari orang yang melakukan tariqat itu
 
Kita ketahui bahwa tarikat itu tujuannya adalah mempelajari kesalahan-kesalahan pribadi (intropeksi), baik dalam melakukan amal ibadah atau dalam pergaulan di tengah masyarakat, dan memperbaikinya. 
 
Pekerjaan ini di lakukan seorang syaikh atau mursyid yang pengetahuannya dan pengalamannya jauh lebih tinggi dari murid yang di binanya. Seorang murid kemudian dibawa kepada perbaikan-perbaikan yang dapat menyempurnakan keislamannya dan memberikan dia kebahagiaan dalam menempuh jalan kepada Tuhan itu. 
 
Oleh karena kesalahan murid dan berlain-lainan itu tidak sama, maka perbaikan-perbaikan yang dilakukan ahli tariqat pun bermacam-macam adanya. Maka meskipun tujuannya semuanya satu, suluk untuk mencapai tujuan itu berlain-lainan, tergantung kebutuhan perbaikan yang alam dibasah oleh kepentingan itu.


Adapun suluk atau jalan yang dilalui oleh para sufi dapat dilakukan melalui beberapa cara: :

- Pertama, ibadah. Yaitu jalan yang ditempuh dalam suluk semacam mengenai perbaikan syariat, yang sebenarnya merupakan ritual kehidupan muslim sehari-hari seperti wudu', shalat, zikir, dan tadarus. Beberapa dalam mempelajari dan melakukannya sehingga semua ibadah-ibadah itu menjadi lebih sempurna. Meskipun demikian, menurut para sufi petunjuk yang diperoleh dalam amal yang demikian itu tidaklah sama, ada lekas mencapainya dan ada yang sampai bertahun-tahun perbuatannya dan ihwal-nya dalam beribadah itu belum berubah. Yang berkepentingan belum dapat menangkap hikmah-hikmah dan kegemaran dalam beribadah lahir itu.

- Kedua, riyadhah. Yaitu latihan diri dengan bertapa, mengurangi makan, minum, tidur, berkata, dan sebagainya yang di anggap perlu menurut musysidnya. Riyadhah meliputi segala yang sekiranya dapat mengarah sang murid menuju penyucian diri dan mengenal nilai-nilai luhur yang mesti ditegakkan oleh seorang sufi. Termasuk dalam kategori ini misalnya: samat (berdiam diri menahan hawa nafsu), penderitaan (pergi ke hutan, bukit, gunung atau pergi menempuh jarak yang sangat jauh), tariqul hikmah wa badhlu-l-jah (latihan yang di berikan agar sang murid mengenal etika sosial/muamalah)


Jadi dengan demikian, suluk bagi seorang sufi bertujuan antara lain untuk membawa murid kepada tingkatan atau maqam tertentu.