Minggu, 14 Maret 2010

RENUNGAN FITHRAH MANUSIA



Bismillahirrahmanirrahim

Puji kepada-Nya selalu. Sumber Segala Yang Wujud di milyunan alam. Alam material maupun immaterial. Lahiriah maupun ruhaniah.

Puji kepada-Nya selalu. Sumber segenap Cahaya Rahmat dan Kesempurnaan. Yang Rahmat-Nya meliputi segala sesuatu. Dari keseluruhannya, dari sebagiannya maupun dari zarrah-zarrah terkecilnya maupun yang ada di balik itu semua.

Puji kepada-Nya selalu. Yang kekuatan-Nya mengaliri Segala. Sehingga tampak langit-langit material tanpa tiang, dan adakah pula tiang yang terlihat bagi langit-langit Ruhaniah.

Puji kepada-Nya selalu. Yang memancarkan dari Wujud-Nya yang Kekal Mewangi, Ruh ke dalam tubuh-tubuh mahalemah dari tanah dan air yang nista ini. Sehingga segala yang ada di tujuh lapisan langit keberadaan ini senantiasa menyampaikan Shawalat dan Salam kepada Junjungan Kita, Insan-Kamil, Manusia Sempurna, Muhammad (SAW), dan betapa para malaikat harus bersujud kepada Kakek Kita Yang Mulia, Nabi Adam (a.s).

Puji kepada-Nya selalu. Yang memuliakan Bani Adam dengan Amanah Suci. Yang tidak mampu ditanggung oleh langit dan bumi…Yang menunjukkan jalan-Nya kepada Bani Adam untuk melaksanakan amanah ini dengan Nabi dan Risalah Yang Terang, dan dengan hati yang bagaikan cermin jernih menangkap Cahaya dari para Nabi dan Wali-Wali-Nya.

Maha Suci Nama-Mu, Duhai Tuhan Pujaan hati-ku. Duhai Tuhan Sari Cinta-ku. Duhai Tuhan segala ruang dan segala waktu. Duhai Tuhan segala imajinasi dan yang nyata.

Maha Suci Nama-Mu, dari apa yang aku sifatkan. Karena sungguh seluruh keterbatasan diriku yang mahalemah ini niscaya mensifatkan sesuatu yang terbatas, dan Maha Suci Engkau. Engkau-lah Wujud Sempurna Tiada Berbatas. Lautan Agung Kesempurnaan Tiada Tara Yang Tunggal dalam KesendirianMu Yang Abadi.

Pena Penciptaan menorehkan satu tujuan yang jelas bagi pencipataan jin dan manusia. Beribadah kepada-Nya. Beribadah kepada Yang Maha Agung. Beribadah dengan sepenuh hakikat diri kita kepada-Nya. Tuhan telah menciptakan jin dan manusia kita untuk beribadah kepada-Nya.

Maka dalam diri manusia ada sesuatu hasrat abadi untuk mengagungkan sesuatu dan menuhankannya. Memuliakan sesuatu dan memujinya tiada berbatas. Menalikan dirinya pada sesuatu yang kokoh dan menggantungkan nasibnya pada sesuatu ini. Ini adalah beberapa dari unsur-unsur yang substansial dalam ibadah. Beribadah kepada Tuhan adalah substansial dan essensial dalam diri manusia. Tidak aksidental dan additional. Beribadah kepada Tuhan adalah keniscayaan penciptaan suatu kemestian yang dilakukan manusia bukan keharusan.

Karena itu jika hati manusia di suatu saat tidak mengakui Tuhan Allah (SWT), Tuhan Yang Sebenarnya, maka pasti hatinya tertaut pada tuhan-tuhan selain Allah. Atau manakala hati sedang melupakan Tuhan, pasti ada tuhan-tuhan lain yang diingat selain Allah. Apakah itu harga. Apakah itu kedudukan. Apakah itu anak. Apakah itu istri. Apakah itu hasil karya. Apakah itu partai. Apakah itu mobil. Apakah itu keinginan-keinginan nafsunya yang lain.

Bayangkan ada seorang Romeo yang tengah merindukan Julietnya yang tak kunjung tiba. Lentik alis dan kecantikan Juliet yang tiada banding tentu membayanginya setiap saat setiap waktu. Mengganggu hati yang tentram. Menggundahkan sukma. Mencairkan wadah-wadah airmata hati.

Betapa mungkin seorang beriman melupakan TuhanNya, sedang ia menyaksikan kebesaran TuhanNya setiap saat dan setiap waktu di seluruh ufuk dan cakrawala alam maupun jiwa. Dan ia tahu dengan sebenar-benarnya pengetahuan bahwa Tuhan-lah sumber seluruh kecantikan wanita yang tercantik maupun bidadari surgawi, sumber keindahan semua keindahan, sumbe kasih semua yang mengasihi. Ia tahu bahwa Ia lah yang Maha Indah, Maha Agung, Maha Cantik (Al-Jamiil), Maha Kasih,….Betapa mungkin seorang berimana menegasikan satu interval pendek waktu hidupnya dengan hati yang lupa kepadaNya?

Yaa, sungguh hanya dengan berdzikir pada Allah-lah, hati menjadi tentram. Sebagaimana bayi dicipta untuk merintih kehausan, maka tatkala ia menemukan tetek ibunya kembalilah ia dalam ketentraman. Begitu pula fitrah manusia senantiasa merindukan Nama-Nama Allah.

Marilah kita berdoa bersama;
Yaa Allah, sungguh kami adalah hambamu yang dhoif, hina dan terhina, yang fakir dan miskin dihadapanMu.
Yaa Allah, duhai Tuanku, duhai Kecintaanku, dan DambaanKu
Sungguh hati kami telah bertabir
Dan jiwa kami berkekurangan
dan Akal kami tertipu
dan hawa nafsu kami telah menipu
dan ketaatanku kepadaMu sedikit
dan kemaksiatanku banyak
dan kini lisanku mengakui semua dosaku ini
Maka bagaimanakah dengan seluruh keadaanku ini,
Duhai Yang Menutupi Semua Keburukan
Dan Duhai Yang Mengetahui Semua Yang Ghaib
Dan Duhai Yang Menyingkapkan Semua Kesulitan.
Ampunilah dosa-dosa ku Seluruhnya
Dengan kehormatan Muhammad dan Keluarga Muhammad
Wahai Yang Maha Pengampun-
Wahai Yang Maha Pengampun-
Wahai Yang Maha Pengampun-
Dengan rahmatMu, Duhai Yang Paling Pengasih dari semua yang pengasih.
Allahumma sholli ‘ala Muhammadin, wa aali Muhammad.

RENUNGAN TAUHID



Langit dan mentari
siang berganti malam
kulit dan jauhari
citra buhulan terang
Hud-Hud Rahmaniyyah


1.  Syarah kalimat “langit dan mentari”
Adapun sumber segala kehidupan adalah langit. Langit artinya bukan bumi. Arti lebih luasnya adalah bukan dunia atau bukan termasuk alam materi. Langit artinya sesuatu yang lebih tinggi dari bumi. Lebih tinggi dalam artian konsepsional. Sebagaimana sebab mendahului akibat. Dapat dikatakan sebab memiliki derajat prioritas lebih tinggi dari akibat.

Adapun sari kehidupan adalah gerak dan perubahan. Dan gerak memerlukan energi. Karena energi-lah melakukan gerak. Perubahan tiada lain adalah efek-efek gerak, ia pun memerlukan energi. Dari mana datangnya energi untuk seluruh kehidupan di bumi? Dari matahari, sang surtya yang senantiasa perkasa menebarkan milyun-milyun-milyun……. fotonnya ke jagat raya. Dan sepercik, -sebagian amat kecil-, dari foton-foton itu sampai ke bumi, menghidupi berjuta tanaman, tanaman menghidupi berjuta hewan, hewan dan tanaman menghidupi brjuta hewan lain maupun manusia. Sumber enegri semua kehidupan di bumi adalah energi matahari.

Adapun mentari dalam sya’ir di atas memiliki tafsiran kias yang lebih luas. Mentari diartikan sebagai Cahaya Wujud Mutlaq, sumber iluminasi semua wujud lain. Mengapa?
Perhatikan sebuah benda. Ia tak akan tampak ada tanpa adanya cahaya. Baik dari segi obyektif maupun subyektif. Dalam kegelapan mutlak, tiada akan tampak wujud apapun, lebih dalam lagi. Perhatikan sebuah benda. Ia adalah materi. Telah diketahui bahwa massa tiada lain adalah energi yang diam terkungkung dalam suatu struktur tertentu. Dengan kondisi tertentu ia dapat berubah menjadi energi. Energi dalam bentuk apa? Cahaya! Inilah yang terjadi pada bom maupun matahari. Jadi dalam relung-relung atomik sati-sari benda tiada lain adalah cahaya.

Karena itu dalam sya’ir ini cahaya digunakan untuk mengkiaskan sesuatu yang lebih umum lagi, yiatu ‘kebendaan’ suatu benda. Sebagaimana kita ketahui bahwa prinsip niscaya rasional dalam diri kita senantiasa menanyakan pada kita mengapa dunia ini ada, mengapa ini ada, mengapa itu ada? Segala sesuati yang maujud membutuhkan Sebab. Dan sebab itu-lah yang memberikan eksistensi padanya. maka dapat kita buat rantai-rantai pertanyaan kenapa ini ada, misalnya jawabnya karena x1 (sesuatu pertama) ada. Selanjutnya dapat kita tanya lagi, kenapa x1 ada (sesuatu kedua) ada, jawabnya karena x2, dan seterusnya. Maka tiada mungkin rantai ini tidak berawal, seandainya ia tidak berawal darimana semua mata-rantai lain memperoleh eksistensinya? Jadi pasti harus ada satu ujung sebab yang memiliki eksistensi mandiri, tidak tergantung kepada lain. sebab ini keberadaannya harus dan ketiadaannya mustahil.
Sebab pertama adalah Keberadaan Mutlaq (Al-Wujud Al-Muthlaq). Artinya jawaban dari pertanyaan apa itu sebab pertama, adalah sebab pertama adalah keberadaan itu sendiri. Karena jika sebab pertama itu sesuatu selain keberadaan maka ia harus memiliki sebab lain yang memberinya keberadaan. Dan karena ternyata iru masih memiliki sebab, maka ia bukan sebab pertama. Namun kalau ia tidak memiliki sebab lain, maka ia tidak mungkin memberikan sesuatu yang tidak ia miliki. Yakni keberadaan. Padahal, secara aprior, kita yakini bahwa kita dan hal-hal lain itu ada secara real. Artinya realitas membenarkan adanya keberadaan bukan subyektif atau imajinatif.

Sebab pertama itu tunggal. Kenapa? Seperti yang dijelaskan sebelumnya, sebab pertama adalah keberadaan itu sendiri. Atau wujud qua wujud. Misal ada dua ujung rantai sebab, dengan kata lain ada dua sebab pertama. Dan sebab pertama satu adalah keberadaan itu sendiri. Misal sebab pertama kedua adalah sesuatu selain sebab pertama satu. Maka ia adalah sesuat yang bukan keberadaan itu sendiri dan artinya ia bukan sebab pertama. Jadi jika ada dua ujung rantai sebab, kedua sebab pertama tersebut harus identik. Argumen ini dapat dikembangkan untuk berapapun ujung rantai sebab. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, jika ada banyak ujung rantai sebab, maka mereka semua harus identik. Artinya hanya ada satu sebab pertama. Satu yang tidak mempunyai kemungkinan sama sekali untuk dijumlahkan menjadi dua. Argumen ini berdasarkan suatu premis bahwa keberadaan mempunyai makna yang ekivalen pada semua yang maujud, pada Wujud Wajib maupun Wujud Mumkin. (Lihat Carutan Wahdatul-Wujud, Sayyidina Musa Husein Al-Bangili Al-Habsyi dan Syarhe-Mandzhumah, Mulla Hadi Sabzavary). Sebagai sebuah contoh argumen sederhana dari premis ini adalah bahwa ketiadaan A, ketiadaan B dan ketiadaan segala sesuatu memiliki maksa yang identik. Maka karena ketiadaan segala sesuatu memiliki makna yang identik, keberadaan A, keberadaan B, keberadaan segala sesuatu yang masing-masing merupakan negasi dari ketiadaan A, ketiadaan B, keberadaan segala sesuatu yang masing-masing merupakan negasi dari ketiadaan A, ketiadaan B, ketiadaan segala sesuatu memiliki makna yang identik. Dan sesuatu yang secara subyektif identik (satu) pasti secara obyektif satu adanya, sebagaimana bahwa satu bayangan pada cermin tidak mungkin dihasilkan oleh dua obyek di depan cermin.

Sebab pertama itu tidak terbagi. Tidak terbagi dalam arti logis. Artinya tidak mungkin tersusun atas sesuatu-sesuatu lain yang lebih kecil. Kenapa? Kalau ia terbuat dari sesuatu-sesuatu yang lain yang lebih kecil, maka sesuatu-sesuatu yang lain lebih kecil itu apa? Jika salah satu dari sesuatu-sesuatu yang lebih kecil itu adalah keberadaan mutlak maka yang lainnya adalah ketiadaan mutlak. Dan karena yang lain adalah ketiadaan mutlak berarti sesuatu-sesuatu yang lain itu tidak ada. Jadi hanya ada satu sesuatu yang tidak lain adalah keberadaan mutlak itu sendiri. Jika tidak ada diantara sesuatu-sesuatu itu yang merupakan keberadaan, maka darimana mereka memiliki keberadaannya? Tentu memerluka sebab. Lebih lanjut, jika sebabnya adalah gabungan diantara sesuatu-sesuatu tersebut yang telah kita sepakati sebagai sebab pertama, ini akan membuat satu rantai sebab tanpa ujung lagi, dan telah dibuktikan bahwa ini tidak mungkin. Kemungkinan lain adalah bahwa memang ada sebab selain dirinya yang memberikan keberadaan pada sesuatu-sesuatu ini, dan berarti sesuatu-sesuatu ini maupun gabungannya bukanlah merupakan sebab pertama.
Sebab pertama itu tidak bersifat material. Kenapa? Karena materi adalah sesuatu yag terbatas oleh ruang dan waktu. Jika sebab pertama itu materi, maka ia terbatas oleh ruang dan waktu. Ada dua keadaan yang mungkin di sini. Kemungkinan pertama adalah ruang dan waktu adalah sesuatu yang lebih luas dari sebab pertama. Maka ada bagian dari ruang dan waktu yang tidak termasuk sebab pertama. Maka ada bagian dari ruang dan waktu yang tidak termasuk sebab pertama. Karena sebab pertama adalah keberadaan itu sendiri maka sesuatu selain sebab pertama itu tidak ada. Kemungkinan kedua adalah bahwa sebab pertama tersbeut adalah ruang dan waktu itu sendiri. Kalau sebab pertama identik dengan ruang dan waktu, berarti ia terbagi, karena ruang dan waktu dapat dibagi menjadi bagian-bagian ruang dan bagianbagian waktu yang lebih kecil. Dan ini kontradiksi, karena keberadaan mutlak tidak terbagi.

Jadi dapat dibayangkan bahwa sumber segala yang maujud adalah Matahai Wujud Mutlaq yang memancarkan cahaya wujudnya, memberikan keberadaan dari segala sesuatu yang ada. Mentari ini bukanlah merupakan sesuatu yang material, ia tidak terikat ruang dan waktu, tapi meliputi itu semua, karena Ia lah yang memberikan keberadaan pada wujud-wujud mungkin selain diriNya. Sang Maha Surya perkasa yang ada di ufuk tertinggi langit dari segala sesuatu. Demikianlah maka terucap baris pertama dari sya’ir di atas.

“Langit dan Mentari”
Jadi yang dimaksud dengan kalimat ini adalah, bahwa saat kita melihat semua realitas maka di atas semua realitas tersebut, terda[at Langitnya. Langit dalam artian logis, artinya sesuatu yang memiliki derajat prioritas lebih tinggi dari realitas itu sendiri. Dan di atas langit ada langit, di atas Langit ada Langi, di atasnya lagi ada langit, ……., dan di puncak langi dari segala langit terdapat. Ia sebagai Mentari Wujud Mutlak, yang memberikan Cahaya Wujud kepada segala yang maujud. Semuanya tiada tanpa Ia. Semuanya tiada tanpa Ada. Semuanya tiada tanpa Ia. Sang Wujud Yang Mutlak. Jadi semuanyam baik segenap indera kita, mata kita, perasaan kita maupun semua hal yang ada di lua diri kita tiada tanpa Ia, Sang Wujud Mutlak. Oleh karena itu sebelum kita melihat berbagai fenomena, maka secara subyektif maupu obyektif kita “melihat” dulu “Al-Wujud Al-Muthlaq” yang memberikan keberadaan dan merupakan satu-satunya keberadaan bagi semua yang maujud. Hal itu seolah disyaratkan oleh ucapan “Butalah mereka yang tiada melihatNya di pelupuk matanya”, atau “Aku meliha Tuhanku dengan mata hatiku”, atau “Tiada Ia kecuali

Ia”. Ia mendahului seluruh kedipan mata yang melihat, telinga yang mendengarm hidung yang bernafas, hati yang berdetak, pembuluh darah yang berdegup malu, rasa yang mulai bergeletas. Ia menyertai mereka semua setiap saat dan setiap waktu dan di setiap hal yang tiada dapat dibatasi oleh waktu apapun dan ruang apapun.

2.  Syarah kalimat “siang berganti malam”
Adapun mengapa terjadi siang dan malam? Panas (“yang”) dan dingin (“im”)? Kebaikan dan keburukan? Tinggi dan rendah? Keindahan dan kejelekan? Nikmat dan sakit? Pahala dan dosa? Tua dan muda? Besar dan kecil? Terang dan gelap?
Kenapa terjadi Dualisme-Dualisme? Mengapa ada kutub-kutub? Dan lebih lanjut dari dualisme-dualisme ini muncul pula berbagai hal yang plural? Apakah hal-hal yang berkutub ganda ataupun halhal yang plural ini eksis secara objektif? Ataukah mereka hanya eksis secara subyektif?

Apakah benar terdapat kebaikan dan kejahatan? Kebenaran dan kesesatan?
Prinsip kausalitas menyatakan bahwa suatu Sebab tertentu akan menimbulkan akibat tertentu pula. Tidak mungkin suatu Sebab yang sama menghasilkan berbagai macam akibat. Maka tidak mungkin Sesuatu yang secara obyektif tidak terbagi menjadi Sebab bagi suatu akibat yang secara obyektif terbagi. Karena jika akibat yang ditimbulkannya secara obyektif terbagi pasti membutuhkan sebab lain yang menimbulkan “keduaan” atau “kepluralan” akibat obyektif. Jadi dalam hal Sebab Pertama, tidak mungkin ia menjadi Sebab dari akibat yang terbagi secara obyektif, karena Sebab Pertama tidak terbagi. Karena Semua adalah akibat dari rantai sebab yang berujung pada Sebab Pertama, maka tidak mungkin dua hal yang secara logis kontradiktif kedua-duanya eksis secara obyektif. Jika yang satu eksis secara obyektif maka yang lain pasti tidak eksis secara obyektif.

Jadi jika Kebaikan Ada maka kejahatan tiada. Konsepsi subyektif kita akan ketidakadaan kebaikan dalam sesuatu itulah yang disebut kejahatan. Jadi kejahatan mungkin ada secara subyektif dalam artian negasi dari Kebaikan. Demikian pula dengan Tinggi dan rendah, Besar dan kecil, Panas dan dingin, Muthlaq dan relatif, Terang dan gelap.

Dengan adanya dualisme-dualisme dalam konsepsi subyektif kita, terdapat ruang-ruang pengertian, relung-relung pengertian “duadua”. Dan karenanya gabungan subyektif-subyektifitas ini bisa menghasilkan pluralitas. Jadi yang plural (al-katsrah) itu ada secara subyektif, dan tidak ada secara obyektif. Dengan kata lain ia hanya ada dalam alam imajinasi.

Ada sebuah perumpamaan yang amat mengesankan dalam Kuliah YM Ytc. ‘Allamah Sayyid Musa bin Husein Al-Habsyi Al-Bangili, – seorang Ahli Hikmah Besar dari Bangil-, dalam kuliah beliau tentang Wahdatul Wujud di kelompok studi Topika, Bandung yang beranggotakan para aktifis Tarekat ‘Ubudiyyah. Beliau mengumpamakan fikiran manusia sebagai prisma, dan Wujud sebagai cahaya putih. Ketika cahaya putih mengenai prisma, prisma akan menguraikannya menjadi cahaya multi-warna (polikhromatis). Prisma-lah yang memberikan nuansa merah, ungu, hijaui, biru, kuning, dan berjuta warna-warna antara yang tak terhitung jumlahnya pada cahaya putih tersebut. Demikian pula Wujud Fikiran dan pemahaman manusia-lah yang “memberikan” berbagai nuansa pada Wujud Tunggal Maha Mutlak. Tiap pemahaman manusia tentang Wujud adalah selarik cahaya hasil uraian prisma “fikirannya”, sehingga dikatakan bahwa “Maha Suci Ia dari semua apa yang mereka sifatkan”.

Siang berganti malam, menunjukkan adanya gerak dan perubahan. Gerak adalah perpindahan keadaan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain. Gerak tidak mungkin terjadi jika pada suatu Ruang yang memang hanya mengandung Satu Titik Mutlak. Karena berarti tidak akan terjadi perubahan apapun. Karena itu minimal harus terdapat dua titik agar terjadi gerak dan itulah makna Siang berganti malam. Siang berganti malam menunjukkan bahwa minimal harus ada satu dualisme agar terjadi gerak. Dari ini menunjukkan bahwa gerak sebagai gerak, -motion as motion-, hanya eksis secara subyektif. Sari dari segenap alam adalah gerak, alam tanpa gerak dan perubahan tidak mempunyai makna. Dalam pengertian yang sederhana, dalam fikiran kita, ada Tuhan sebagai Sang Maha Sebab dan ada alam, yaitu segala sesuatu yang bukan Tuhan. Karena dalam fikiran kita telah ada minimal dua hal yaitu Tuhan dan bukan Tuhan maka dapat terjadi gerak, dan itulah sari dari penciptaan itu sendiri. Namun perlu digaris-bawahi bahwa ruang-ruang dualisme (keduaan) maupun pluralisme (kejamakan) di mana dapat terjadi gerak tersebut, hanya memiliki eksistensi subyektif. Sehingga keduaan dan kejamakan yang “ada” dalam berbagai perubahan hanya ada dalam imajinasi. Dengan kata lain seluruh alam ini hanya “ada dan jamak” dalam imajinasi. Dan sesungguhnya Semua ini “Ada dan Tunggal” secara obyektif.

Maha Suci Ia yang menciptakan Siang dan malam sebagai tanda, Yang menciptakan semua selain Ia dalam imajinasi, Yang membiaskan berbagai peristiwa dalam prisma-prisma pemahaman hamba-Nya. Maha Suci Ia Yang senantiasa menegaskan bahwa tiada selain Ia, tiadalah semua yang tiada. Cahaya Wujud Yang Maha Tunggal memancar dan “dalam” imajinasi seolah tampak keberadaan “ketiadaan”. Pancaran inilah sumber alam dan semua yang ada. Tapi, sekali lagi, Tiada selain Wujud Tunggal ini, Tiada apapun selain Dia. Dia dan tiada apapun selain Dia! Dia!

3.  Syarah kalimat “kulit dan jauhari”
Adapun “kulit” adalah sesuatu yang langsung terlihat. Dan jauhari adalah sesuatu yang ada di balik “kulit”. Dilihat dengan mata, sebuah jambu memiliki kulit jambu. Jika di balik kulit jambu ini tidak terdapat zat jambu maka tidaklah dikatakan bahwa sesuatu itu jambu. Tapi jika terdapat sebuah jambu yang telah mengelupas kulitnya maka ia tetap disebut jambu. Itulah jauhar jambu.

Sesuatu di kenali tidak dengan kulitnya tapi dengan jauharnya. Penampakan luar yang terlihat tidaklah menunjikkan sesuatu tersebut. Dengan kata lain “ada” sesuatu yang menunjukkan “kesesuatuan” dari sesuatu. Inilah yang kita sebut jauhari dari sesuatu.
Jika kita memandang sesuatu sebagai sesuatu tersebut, maka jauharnyalah yang penting bukan kulitnya. Sebagaimana jika kita memakan buah pisang, buanglah kulitnya dan makanlah zat pisang yang ada di dalamnya. Karena itu hal-hal yang bersifat “luar” ataupun lebih tegas lagi bersifat “inderawai” tidaklah penting selama hal itu tidak mempunyai relasi dengan “kesesuatuaan” dari sesuatu yang sedang kita perhatikan. Jika anda melihat sesuatu rudal janganlah melihat dari segi “bentuknya secara estetis indah atau tidak”, “catnya berwana apa”, tapi pandanglah dari segi “keefektifan penembakan, pengejaran sasaran dan peledakan” yang berhubungan langsung dari “kesesuatuaan” suatu rudal.

Dan adalah suatu pertanyaan maha penting sebagai berikut. Pandanglah Segala Sesuatu sebagai Sesuatu. “Apakah Jauhari dari Segala Sesuatu ini?”. Atau dengan kata lain. “Apakah hakikat dari Segala Sesuatu ini?”.

4.  Syarah kalimat “citra buhulan Terang”
Citra artinya bayangan atau imajinasi sesungguhnya imajinasi tiada lain adalah satu jenis bayangan yang dihasilkan oleh cermin fikiran. Segala sesuatu yang tampak selain Ia adalah citra. Adalah bayangan. Hanya eksis secara subyektif. Semua kulit-kulit yang kita lihat selain Ia adalah citra, adalah khayalan. Kumitir sebagai “kumitir” dengan keapaan atau batasan-batasannya sebagai “kumitir” yang Anda lihat saat ini adalah khayalan. Artinya dilihat dari Obyektifitas yang Maha Obyektif “kumitir” adalah suatu khayalan atau citra yang subyektif. Dan bukan berarti bahwa secara “obyektif praktis”, “kumitir” tidak ada. Karena sebenarnya alam “obyektif-praktis’ yang kita rasakan sehari-hari ini suatu alam subyektif yang memiliki “derajat obyektifitas” tertentu.

Pandang Segala Sesuatu sebagai Sesuatu, maka hakikatnya bukan lain adalah Wujud Maha Gemilang Yang Maha Mutlak. Kenapa? Telah dibuktikan bahwa Hanya Ia yang Ada secara Obyektif, dan selain Ia tiada secara Obyektif. Jika hakikat, dari segala sesuatu bukanlah Keberadaan itu sendiri (wujud qua wujud atau wujudun bima huwa wujudun), maka dari mana Segala Sesuatu tersebut memiliki keberadaan? Dan jika Segala Sesuatu tersebut tidak memiliki keberadaan maka ia tidak ada dan ini tidak mungkin.

Jadi segala sesuatu yang tampak di mata ataupun tersirat di hati ataupun terdengar di telinga ataupun terasa di pembuluh dara, ataupun segala sesuatu yang ada di alam obyektif-praktis ini tiada lain hanyalah Citra buhulan Terang. Citra buhulan pancaran Cahaya Wujud Mutlak yang terpancara dari Wujud Tunggal ke alam ketiadaan mutlak (Al-;adam Al-muthlaw, -atau nothingness). Cahaya tersebut terpancar dalam imajinasi, memunculkan berbagai “keberadaan” wujud-wujud yang mungkin, dan berbagai wujud-wujud yang mungkin tersebut lebih lanjut menjadi cermin dan prisma yang membiaskan –Cahaya tersebut menjadi Lautan Gemilang Cahaya. Di antara Cahaya-Cahaya tersebut jika terbuhul (terikat) dengan suatu struktur-struktur tertentu muncullah citracitra. Citra-Citra muncul seperti buih yang muncul di lautan. Citra-Citra adalah buih-buih dalam lautan Wujud Cerlang Gemilang.

Jadi jauhar dari Segala Sesuatu adalah Dzat Tuhan Yang Maha Agung, -Sang Wujud Mutlak Yang Maha Tunggal Yang Tiada Terbagi oleh berbagai penyifatan-, Tapi tidak ada satu bagian apapun yang tampak oleh indera maupun fikiran kita dari alam ini yang dapat diidentikkan dengan Tuhan. Segala Sesuatu adalah Tuhan, tapi tidak ada sesuatu apapun yang masih mungkin dicerap oleh indera maupun fikiran kita yang identik dengan Tuhan. Inilah yang mungkin sering disebutkan dengan istilah “Huwa/Laa Huwa,- Dia dan tidak Dia-“. Segala Sesuatu adalah Ia, tapi tidak ada sesuatu apapun yang ada dalam kejamakan ataupun keduaan ini yang identik dengan Ia. Tidak suatu konsepsi subyektif siapapun yang mampu mencerap pengertian yang sempurna tentang Ia, Wujud Yang Maha Sempurna dalam KeTunggalan dan KeTakterbagiannya. Mungkin inilah yang dimaksudkan dengan kalimat “Ma arrafnaka bihaqqi ma’rifatik, -Tidak-lah kami kenali diriMu dengan pengenalan yang sebenarnya-“ atau dengan kalimat “Duhai Yang senantiasa kurindukan tanpa pernah kubayangkan”.

Jadi kesimpulannya? Seluruh apapun yang dituliskan dalam makalah ini tentang Ia pasti tidak bisa menggambarkanNya sebagaimana adaNya! dan apa artinya, anggap saja seluruh isi makalah ini adalah hiburan lepasa senja yang tidak mengandung Kebenaran sama sekali! Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Guruku tct, Maulana Rumi, “Sesungguhnya para filosof itu berdiri di atas kaki kayu”. Bagaimana mungkin “melihatnya” dengan cara apapun kecuali dengan “PenglihatanNya” ? “Yaa man laa ya’lamu ma huwa wa laa KAIFA huwa wa laa aina huwa wa laa HAITSU huwa illa huwa”. Dan kepadaNyalah aku berlindung dari keburukan segenap kebodohan kami, dan Semoga keberkahan Sholawat kepada Nabi dan Ahlul Baitnya yang suci senantiasa bagi kita semua.

Arti Sunyata dalam Nagarjunas Philosophy



Pendahuluan

Dalam esai ini saya akan membahas makna dan impor sunyata (kekosongan) seperti yang disajikan oleh K. Venkata Ramanan dalam Filsafat Nagarjuna. [114] Ramanan penjelasan lengkap tentang filsafat Madhyamika Buddhisme Mahayana terutama didasarkan pada Nagarjuna's komentar pada Prajnaparamita -sutra. Komentar ini, yang Maha-Prajnaparamita-sastra, hilang dalam aslinya Sanskerta dan bertahan hanya dalam bahasa Cina dan Tibet terjemahan.

Nagarjuna, yang dianggap sebagai filsuf Buddha terbesar yang pernah, didirikan Madhyamika filsafat, filosofi Jalan Tengah. Di jantung Jalan Tengah adalah konsep sunyata, mungkin Nagarjuna tunggal paling penting kontribusi pemikiran Buddha. Seluruh filsafat, pada kenyataannya, dapat dipandang sebagai aspek yang berbeda dari sunyata. Seperti kata Ramanan bukunya, "seluruh karya dapat dikatakan merupakan suatu usaha untuk berbaring telanjang makna yang berbeda dari pusat, konsep yang paling dasar, sunyata." [115] Jadi, saya akan berusaha untuk membawa ke cahaya makna dan impor sunyata melalui ringkasan berikut Nagarjuna's Philosophy. Untuk tujuan kejelasan saya telah membagi uraian berikut ini menjadi tiga bagian: kebodohan, kritik, dan pengetahuan.

Ignorance

Dimotivasi oleh belas kasih, orang bijak mengajarkan sunyata sebagai obat untuk penderitaan. Menurut Madhyamika, akar dari semua penderitaan terletak pada ketidaktahuan menempel, salah kesalahan relatif untuk mutlak, yang terkondisi untuk terkondisikan. Kami mengambil pemisahan membayangkan sebagai nyata, seharusnya pembagian seperti yang diberikan. Berdasarkan kesadaran diri, kita memiliki kesadaran akan terkondisikan terkondisi kita tercermin dalam alam, rasa yang nyata. Tetapi di bawah ketidaktahuan kita tidak membedakan antara terkondisikan dan dikondisikan, menyebabkan kita untuk membingungkan mereka dan mengambil relatif sebagai absolut. "Kesalahan mutlak salah tempat, azab dari determinate sebagai akhir itu sendiri, adalah akar-kesalahan." [116] Sunyata adalah antitesis untuk kesalahan ini, obat penawar untuk penderitaan.

Contoh yang paling penting kesalahan ini salah tempat kemutlakan adalah berkenaan dengan diri kita sendiri: "Intelek, karena operasi kebodohan, salah transfer indra unconditionedness yang menjadi sifat utama kepada dirinya sendiri dalam alam duniawi." [117 ] Dengan demikian, keberadaan inheren adalah salah diterapkan pada pikiran-tubuh kompleks; kita ambil kita tentu, dikondisikan keberadaannya sebagai tanpa syarat dan self-ada. Dengan cara ini muncul palsu ada rasa "aku" dan keyakinan dalam jiwa yang kekal sebagai entitas tertentu. Kesalahan ini "membuat individu tidak berhubungan dengan organik, tentu saja dinamika kehidupan pribadi dan menghilangkan yang terakhir dari semua makna." [118] Karena dengan mutlak positing dari "Aku" ada yang diperlukan "bukan-aku" untuk menentang itu . Para individu kemudian selamanya dibagi dari dan dalam konflik dengan dunia. Karena pemisahan ini diambil sebagai mutlak, hubungan mereka dapat dibayangkan dan tidak ada harapan untuk rekonsiliasi: kita terikat dengan kehidupan terus-menerus konflik dan frustrasi.

Mengikuti pola kesalahan ini yang menimbulkan rasa palsu "Aku," intelek kemudian berpendapat kekukuhan atas setiap benda yang ditemukan. Ini membedakan objek dan menciptakan nama-nama yang berbeda bagi mereka, kemudian mengambil perbedaan nyata telah diciptakan sebagai nyata diberikan. "Untuk merebut determinate benar-benar untuk membiarkan diri untuk disesatkan oleh nama-nama itu adalah membayangkan bahwa nama-nama yang berbeda berarti esensi yang terpisah, ini adalah untuk mengubah perbedaan relatif ke divisi absolut." [119] Sebagai hasilnya, tidak hanya individu konflik dengan orang di dunia, tetapi dunia kini dalam konflik dengan dirinya sendiri. Bagian, dipahami sebagai entitas independen, yang terisolasi dari satu sama lain dan kesatuan organik yang berhubungan dengan mereka dalam harmoni yang hilang.

Untuk melengkapi musim gugur, intelek kesalahan sendiri relatif pandangan dan sistem konseptual terbatas dan mutlak, meletakkan itu berperang dengan dirinya sendiri. Untuk pernyataan dogmatis dari satu sudut pandang perlu mengecualikan pandangan lain: yang pertama sebagai benar dibagi dari yang lain sebagai palsu dan hasil konflik. Selain itu, setiap melihat, diambil sebagai eksklusif benar, akhirnya berakhir pada kontradiksi-diri. Menempel ekstrem, seseorang yang dapat menyebabkan kontradiksi dan jalan buntu. Kemudian kita baik ayunan dari ekstrim ke ekstrim atau menolak seluruh perusahaan dari berpikir sama sekali, menundukkan diri kita kepada pengasingan diri di gurun filosofis. Tetapi dalam kedua kasus kita menyebabkan penderitaan kita dengan akar yang sama-kesalahan.

Kesalahan mutlak salah tempat yang merupakan akar dari semua kebodohan dan penderitaan mengambil dua bentuk umum: kesalahan yang berkaitan dengan kebenaran duniawi dan berkenaan dengan kebenaran hakiki. Kesalahan yang berkaitan dengan kebenaran biasa, seperti yang telah kita bahas, untuk mengambil dikondisikan sebagai terkondisikan, bersandar kepada yang fragmentaris selengkap. Hal ini mengakibatkan kesalahan (antara lain) dogmatis palsu pandangan dan kesadaran diri. Sunyata, sebagai obat untuk kesalahan ini sehubungan dengan hal-hal duniawi, mengajarkan relativitas segala sesuatu, yang timbul tergantung dari determinate entitas. Seperti biasa kebenaran, sunyata berarti bahwa segala sesuatu adalah kosong dari eksistensi yang inheren.

Tapi kalau ada orang yang mengambil pemahaman tentang hal-hal sebagai kekosongan mutlak itu sendiri, ini lagi akan menempel: menempel sunyata. Ini adalah kesalahan kesalahan yang tidak berkenaan dengan sifat biasa, tetapi hal-hal berkenaan dengan hakikat terdalam mereka. Ini adalah untuk mengambil conditionedness dari dikondisikan seperti itu sendiri tanpa syarat. Tapi "ini berarti pembagian yang mutlak antara dikondisikan dan terkondisikan, yang terbagi dan tak terbagi, tetap dan kekal, dan dalam hal ini terbagi tidak akan menjadi benar-benar tak terbagi, karena akan dibagi dari yang terbelah." [120] Jadi, salah satu yang mengajarkan sunyata sunyata: dalam kebenaran hakiki bahkan sunyata adalah kosong dari kemutlakan. Pada akhirnya, bahkan pembagian antara dikondisikan dan terkondisikan adalah tidak mutlak. Oleh karena itu kita tidak selamanya terikat conditionedness kita karena kita, sebagai entitas terkondisi, sudah ada (di alam akhir kita) yang terkondisikan kenyataan. Singkatnya, ada akhir ketidaktahuan dan penderitaan.

Kritik

Filsafat Madhyamika dikandung dalam belas kasihan, untuk tujuan mendasar adalah untuk membebaskan individu dari ketidaktahuan dan penderitaan. Melalui kritik satu membedakan antara yang nyata dan yang nyata, membatalkan kebingungan relatif dengan yang mutlak, dan berakhir ketidaktahuan dan penderitaan melalui pengakuan sunyata sebagai kebenaran. Arti sebenarnya adalah dasar untuk pembatalan ini. Sama seperti arti yang sebenarnya mengarah ke kebodohan bila disalahgunakan, arti yang sebenarnya mengarah kepada pengetahuan ketika dipandu oleh kritik dalam terang sunyata. Tanpa arti pembebasan yang sebenarnya tidak akan mungkin - tetapi kemudian tidak akan ketidaktahuan. Jadi kebodohan menyiratkan kemungkinan untuk pembebasan. "Yang benar bahwa manusia tidak hanya terbatas pada tingkat tentu, tetapi dalam dirinya kemungkinan naik di atasnya, bahwa ia adalah titik pertemuan... Yang terkondisi dan tanpa syarat, adalah impor dasar rasa sebenarnya dalam dirinya. "[121]

Kritik terdiri dari asumsi pertama sebagai perbedaan mutlak dan klaim atas mana pandangan ekstrem tertentu didasarkan. Dari dasar ini satu menarik kesimpulan logis yang diperlukan yang ternyata tidak benar karena kesalahan dari awal kesalahan. "Yang satu cara yang diadopsi Nagarjuna sering muncul adalah tentang diri-kontradiksi dan absurditas yang eksklusif pemegang dilihat akan memimpin dirinya sendiri dengan alasan mereka sendiri." [122] Dengan cara ini, satu dipimpin oleh kekuatan semata-mata logis kebenaran untuk menyerahkan kebodohan klaim yang eksklusif. Oleh mengulangi penerapan metode ini, relatif tidak lagi keliru untuk mutlak dan sunya-sifat sejati dari semua eksistensi determinate terungkap. "Ini adalah misi dari Madhyamika untuk mengungkapkan bahwa pengertian tentang ultimacy dan keterpisahan unsur-unsur dasar ini tidak hanya tidak memiliki tanah tetapi jelas bertentangan dengan hakikat sesuatu." [123] Sunyata, sebagai kekosongan, berarti bahwa dunia konvensional tidak, seperti yang kita mewah untuk berpikir, terdiri dari bahan dasarnya ada; dalam kebenaran, entitas ini tidak memiliki eksistensi inheren - mereka kosong.

Penting untuk menunjukkan bahwa apa yang ditolak oleh kritik seperti itu bukanlah dunia yang terkondisi itu sendiri tetapi melekat pada kita sebagai mutlak, ketidaktahuan kita. Jadi, bukan pandangan atau entitas determinate yang seperti itu ditolak oleh sunyata melainkan menempel kami kepada mereka, kami salah pengertian berkenaan dengan mereka. Sunyata tidak menyangkal AC, dunia relatif, hanya menyangkal salah kita sebagai mutlak. "Kata-kata, konsep, ada dalam diri mereka murni; apa yang membuat perbedaan adalah cara di mana kita menggunakannya." [124] Lebih jauh lagi, dunia yang terkondisi tidak nol ketika alam sunya benar diwujudkan. Hanya ketidaktahuan kita hancur.

Sebagai contoh dari penerapan metode kritis, mari kita perhatikan hakikat sebenarnya dari diri sendiri. Kesalahan pertama kami, dikatakan, "adalah imajinasi eksklusivitas mutlak dalam kaitannya dengan 'aku,' yaitu entitas yang merupakan objek dari gagasan tentang 'I.' "[125] Sekarang jika saya secara inheren ada, maka ada pembagian antara yang mutlak yang adalah 'aku' dan yang 'bukan-aku." Maka tidak ada ketergantungan dari satu pada yang lain. Masing-masing independen dan self-ada. Tapi tanpa saling ketergantungan bagaimana 'aku' akan dengan cara apapun berhubungan dengan 'bukan-aku,' bagaimana aku bisa tahu atau sadar akan dunia sama sekali? Jika aku ada dasarnya, saya benar-benar terisolasi dan dibagi dari dunia tanpa kemungkinan mengalami atau mempengaruhi itu. Ini jelas tidak masuk akal.

Dengan mengungkapkan kontradiksi-kontradiksi yang timbul dengan cara ini relatif mengambil diri sebagai benar-benar ada, dengan demikian kita mengungkapkan sunya-alam, relatif dan dikondisikan alam, dari diri sendiri. Kami telah lalu tiba di kebenaran yang berkaitan dengan dunia konvensional: bahwa segala sesuatu (dalam hal ini, diri) adalah kosong dari eksistensi yang inheren. Namun, setelah menyangkal keberadaan yang melekat diri, misalkan kita sekarang berpegang teguh pada penyangkalan ini sebagai mutlak itu sendiri. Dengan kata lain, kita menyatakan non-eksistensi inheren, kita membuat kekosongan atau relativitas itu sendiri yang absolut. Sekarang dalam hal ini mutlak ada pembagian antara relatif dan mutlak, yang terbagi dan tak terbagi. Tapi kemudian terbagi tidak benar-benar tak terbagi untuk itu dibagi dari dibagi. Kontradiksi ini memaksa kita untuk menyerah berpegangan pada kita conditionedness dari dikondisikan sebagai mutlak itu sendiri.

Pada titik ini kritik datang dengan demikian kita mengakui bahwa kekosongan, sunyata, bukan kebenaran hakiki. Sementara ini conditionedness dan relativitas diri adalah hakikat di dunia konvensional, itu bukan sifat yang terakhir. Pada akhirnya, diri bahkan kosong dari conditionedness dan relativitas: itu akhirnya kosong dari kekosongan (sunyata-sunyata, seperti yang disebut). Dan sejak conditionedness dari dikondisikan pada akhirnya terkondisi, karena perbedaan antara AC dan tanpa syarat itu sendiri terkondisi, yang dikondisikan pada akhirnya identik dengan realitas tanpa syarat.

Karena kritik telah mengungkapkan kontradiksi dalam berpegangan pada kedua inheren inheren keberadaan dan non-eksistensi, pada akhirnya kita tidak dapat benar-benar menegaskan atau benar-benar menyangkal keberadaan diri. Kami yang tersisa dengan Jalan Tengah, yang lewat di antara ekstrem. "Ini adalah rasa tak pernah salah 'aku,' yang datang dengan kesadaran diri matang di mana tidak ada yang menempel pada diri determinate baik sebagai determinate mutlak dan karenanya sama sekali berbeda dari yang tak terbagi atau sebagai sendiri merupakan substansi independen kekal." [126] Metode kritik dengan demikian fungsi untuk membatalkan semua klaim eksklusif terhadap keberadaan atau kebenaran, apakah berkenaan dengan sifat biasa hal (mengambil keberadaannya sebagai dikondisikan tanpa syarat) atau sehubungan dengan sifat utama mereka (mengambil conditionedness dari yang terkondisi sebagai sendiri tanpa syarat).

Pengetahuan

"Pemahaman yang merupakan fase consummating menghargai kritik adalah sifat yang unik dan nilai setiap sudut pandang tertentu, namun tidak terbatas pada salah satu sudut pandang." [127] Orang bijak demikian dikatakan memiliki pemahaman tentang naik di atas kebenaran yang eksklusif dan menempel. "melampaui semua keputusan-keputusan itu namun tidak eksklusif dari apa-apa tentu, dan karena itu sendiri tak dapat disangkal." [128] Untuk yang bijaksana, khususnya pandangan dan sistem konseptual tidak ekstrem, tetapi alternatif. Jadi Madhyamika sendiri bahkan tidak dapat diajukan sebagai kebenaran mutlak, eksklusif dari orang lain. Sebagai ajaran non-menempel, Jalan Tengah itu sendiri relatif terhadap kebodohan yang menempel. Sunyata masuk akal hanya dalam kontras dengan kesalahan kemutlakan salah tempat. Tak terbantahkan, kebenaran hakiki Dharma adalah tak terkatakan.

Karena kenyataannya tidak terbagi pada akhirnya tidak dibagi dari dibagi, karena sifat utama yang terkondisi itu sendiri yang tanpa syarat, yang bijaksana tidak meninggalkan dunia, menempel ke nirwana seolah-olah itu selain samsara. Mereka perlu kasih sayang adalah konsekuensi dari kebijaksanaan mereka. Sebaliknya, jika kita mencari pembebasan dan kebenaran khusus untuk diri kita sendiri, maka motivasi egois itu sendiri, sebagai bentuk kebodohan, akan mencegah pencapaian kita kebenaran tertinggi. Oleh karena itu, Bodhisattva sumpah dari awal untuk mencapai nirwana demi membantu rilis orang lain dari penderitaan mereka. Belas kasih dan kebijaksanaan tidak bisa dipisahkan dari aspek-aspek pemahaman tertinggi kebenaran.

Kesimpulan

Dengan cara ringkasan, kita dapat membingkai filsafat Jalan Tengah dalam konteks Empat Kebenaran Mulia.

Kebenaran Mulia Pertama: ada penderitaan, dunia tidak kekal. Dalam istilah kita, kebenaran ini mengungkapkan kebenaran yang biasa bahwa segala sesuatu yang kosong dari eksistensi yang inheren, mereka dikondisikan dan relatif. Karena kita melekat kepada mereka seolah-olah mereka tetap dan substansial, penderitaan adalah konsekuensi yang tak terhindarkan.

Kebenaran Mulia Kedua: ada penyebab penderitaan. Penyebab penderitaan adalah melekat relatif sebagai absolut, yang terkondisi sebagai beban pengaruh, yang bersifat ilusi sebagai substansial. Kebodohan kekosongan sejati atau sunya-hakikat segala sesuatu, kebingungan yang nyata dan tidak nyata, adalah akar kesalahan yang mengarah ke semua penderitaan.

Kebenaran Mulia Ketiga: ada mengakhiri penderitaan. Karena bahkan kekosongan kosong, karena relativitas dan conditionedness sendiri tidak mutlak, penderitaan bukanlah akhir. Sementara sifat duniawi yang terkondisi adalah conditionedness, namun dalam alam yang terakhir, yang terkondisi itu sendiri yang tak terbagi, terkondisikan kenyataan. Sementara realitas melampaui perbedaan-perbedaan yang terus dalam dunia tentu, namun realitas tidak seluruhnya terpisah dari tentu, tapi adalah sifat nyata determinate itu sendiri. Itu karena kita sudah menjadi identik dengan realitas tanpa syarat bahwa kita dapat mengenali kebenaran ini dan menjadi terbebaskan dari imajinasi yang kita sebaliknya, dan dengan demikian mengakhiri penderitaan kami.

Kebenaran Mulia Keempat: ada jalur yang mengarah pada akhir dari penderitaan. Jalan Tengah adalah cara non-eksklusif yang menghancurkan kebodohan menempel relatif sebagai absolut. Melalui metode kritik, pandangan ekstrem ditunjukkan mengarah pada kontradiksi-kontradiksi yang mengungkapkan kebenaran sunyata berkenaan dengan segala sesuatu. Pada akhirnya, bahkan sunyata atau relativitas itu sendiri ditolak sebagai mutlak, tanpa syarat terucapkan mengungkapkan kenyataan yang merupakan sifat tertinggi dari diri kita sendiri dan segala sesuatu.
Glossary
Mutlak. Mutlak adalah sesuatu yang bebas dari segala kualifikasi dan perbedaan. Ini adalah sifat tak terlukiskan akhir dari segala sesuatu. Karena bebas dari perbedaan antara yang mengetahui dan diketahui, untuk mengetahui Mutlak adalah menjadi Mutlak, dan untuk mengabaikan Mutlak bukan untuk menjadi Absolut.
AC. Yang terkondisi adalah dunia hal-hal yang ada kondisional dan dependently, dan dengan demikian dalam kaitannya dengan hal-hal lain. Lihat Relatif.
Dunia konvensional. Perbedaan yang menjadi ciri dunia relatif hanya konvensi. Jadi dunia relatif juga disebut dunia konvensional. Lihat Relatif.
Determinate. Dunia ditentukan hal. Lihat Relatif.
Kekosongan. Lihat Sunyata.
Kebodohan. Dalam konteks filsafat Buddhis, ketidaktahuan adalah mengabaikan hakikat hal. Alih-alih menjadi ketiadaan pengetahuan, kebodohan adalah mengabaikan pengetahuan yang sudah kita miliki. Ketidaktahuan adalah kesalahan asli mengambil sesuatu untuk menjadi lain dari apa yang mereka dan kemudian bertindak berdasarkan asumsi palsu ini. Secara khusus, ini adalah keliru menaruh kesalahan absolut: mengambil sesuatu di dunia relatif, yang pada dasarnya tidak kekal dan tergantung, untuk memiliki sifat-sifat mutlak ketetapan dan kemerdekaan.
Tdk. Itu yang bebas dari tekad. Lihat Mutlak.
Inherent Keberadaan. Kami mengambil sesuatu yang memiliki eksistensi yang melekat ketika kita menganggap itu sebagai permanen dan independen yang ada. Biasanya ini adalah anggapan diam-diam atau tidak sadar. Sebagai contoh, kita takut mati karena kita menganggap bahwa diri secara inheren ada di tempat pertama. Ketika itu diakui bahwa tidak ada diri yang ada secara inheren, maka rasa takut akan kematian lenyap, karena apa yang pernah ada tidak dapat dihancurkan.
Pembebasan. Ketika kita mengambil dunia relatif menjadi mutlak dan lengkap kepada dirinya sendiri, kita berada dalam ikatan ilusi dan menanggung akibatnya. Pengakuan Mutlak yang benar harus dibebaskan dari perbudakan ini mutlak palsu. Lihat Mutlak.
Kemutlakan salah tempat. Kami salah menaruhkan mutlak ketika kita menganggap sesuatu di dunia relatif memiliki sifat-sifat yang mutlak. Lihat Ignorance.
Kebenaran duniawi. Ini adalah kebenaran yang mengajarkan sifat relatif segala sesuatu. Segala sesuatu tidak kekal, tentu, dan dikondisikan. Jadi mereka harus kosong dari permanen, tak jelas, keberadaan bentuk tanpa syarat. Kebenaran yang biasa diajarkan untuk memperbaiki kesalahan kemutlakan salah tempat, yang membawa hal-hal yang relatif memiliki sifat mutlak.
Relatif. Relatif adalah dunia hubungan dan perbedaan itu adalah pengalaman kami yang biasa. Dunia relatif dicirikan oleh pembagian mendasar antara pengamat dan yang diamati. Dalam kontras radikal non-relatif atau absolut.
Sunyata. Kata Sansekerta ini biasanya diterjemahkan sebagai "kekosongan." Ketidaktahuan yang mengarah pada penderitaan berasal dari kesalahan dengan secara tidak sadar mengambil hal-hal (seperti ego) untuk memiliki eksistensi inheren. Untuk memperbaiki kesalahan ini, Buddha mengajarkan bahwa segala sesuatu adalah kosong dari eksistensi yang inheren. Ajaran sunyata dengan demikian menyangkal salah kita pengertian tentang fenomena, dan bukan fenomena itu sendiri. Sebagai contoh, kekosongan atau ego diri adalah tidak adanya permanen diri dan mandiri yang ada terkait dengan fenomena dari pikiran-tubuh tertentu yang rumit, dan tidak menyangkal pikiran-tubuh yang kompleks atau bahkan pengertian konvensional "diri" terkait untuk itu untuk tujuan praktis.
Ultimate Kebenaran. Ini adalah kebenaran yang mengajarkan hakikat terdalam dari segala sesuatu. Dalam kebenaran biasa, dikatakan bahwa segala sesuatu adalah kosong dari eksistensi yang inheren, bahwa mereka memiliki tentu, AC, dan alam tidak kekal. Kebenaran hakiki mengakui bahwa ini adalah kebenaran itu sendiri biasa tentu, terkondisi, dan dengan demikian tidak mutlak. Dengan kata lain, jika segala sesuatu adalah relatif, maka pernyataan bahwa segala sesuatu adalah relatif itu sendiri relatif. Atau, lebih ringkas, yang conditionedness dari yang terkondisi itu sendiri terkondisi. Akibatnya, dunia relatif dan mutlak tidak dapat dibedakan. Untuk kemudian mereka akan berhubungan satu sama lain sebagai berlawanan. Tapi Mutlak kemudian akan relatif terhadap dunia relatif. Ini omong kosong karena Mutlak adalah dengan definisi bebas dari semua hubungan dan tekad. Jadi kebenaran hakiki memiliki konsekuensi bahwa seluruh dunia ini pada akhirnya relatif identik dengan Mutlak, yang benar-benar tidak ada pemisahan antara dunia relatif dan mutlak. Tapi setiap kali kami terlibat dalam konvensi dunia relatif, kebenaran yang biasa berlaku, karena dengan definisi yang sangat dunia relatif dicirikan oleh ketidakkekalan dan kekosongan dari keberadaan yang inheren. Kebenaran yang biasa mengajar kita untuk menjadi bebas dari ilusi dunia yang relatif itu sendiri adalah nyata, sedangkan kebenaran hakiki mengajarkan kepada kita bahwa itu nyata setelah semua, tetapi bukan dalam arti eksklusif di mana kita awalnya harus membawanya.

Tanpa Syarat. Yang tanpa syarat adalah sesuatu yang bebas dari segala kondisi dan larangan. Lihat Mutlak.

© Thomas J. McFarlane 1995
www.integralscience.org

MENGKOSONGKAN PIKIRAN



Banyak teman-teman menyampaikan apa-apa yang dibaca dan didengarnya mengenai hal-hal yang berhubungan dengan meditasi, yaitu mengenai penolakan pengalaman, dan sebaliknya menganjurkan mengosongkan pikiran. Meditasi adalah mengosongkan pikiran. Tetapi perlu diperjelas lagi bahwa kita tidak mengosongkan pikiran begitu saja. Hal itu merupakan point yang kita tidak setuju sama sekali. Dalam meditasi angka, mengosongkan pikiran untuk membiarkannya menjadi kosong tidaklah benar. Dan pikiran tidak akan pernah bisa dikosongkan. Ia harus berisi. Ia harus berisi oleh hal-hal duniawi, atau ia harus kita isi penuh dengan hal-hal spiritual.

Itulah keberadaan sang pikiran. Ia tidak pernah kosong. Oleh karena itu, usaha untuk mengosongkan pikiran adalah sebuah usaha sia-sia belaka. Jika dalam medang kita mengosongkan pikiran, maka itu artinya kita mengosongkan diri dari kesibukan luar. Sebaliknya kita mengaktifkan diri dalam kesibukan di dalam. Itulah yang kita lakukan. Meditasi berarti sibuk ke dalam. Meditasi berarti melihat ke dalam. Meditasi berarti lelap ke dalam sang diri. Pikiran tidak akan pernah bisa dikosongkan. begitu anda masuk kedalam sang diri, maka anda akan melihat alam makrokosmos. Dengan demikian, maka anda akan memasuki ruang yang maha luas yang tiada terbatas. Suatu ruang yang tidak bisa anda jangkau dengan mengelilinginya menggunakan pesawat berkecepatan tinggi dalam waktu ratusan penjelmaan. Ruang yang dipenuhi oleh berbagai rahasia-rahasia, yang merupakan rahasia dari segala rahasia. Itulah yang anda akan lihat dan alami dengan memalingkan perhatian anda ke dalam diri. Semua itulah yang akan anda saksikan. Semua pemandangan "divine" seperti itu akan memberikan sentuhan tenaga spiritual kepada anda. Sebab semua itu bukanlah pemandangan dunia, melainkan pemandangan alam lain. Alam kasat mata. Alam yang dipenuhi oleh getaran spiritual.

Dengan meditasi angka, orang akan mudah mendapatkan kekuatan-kekuatan spiritual seperti itu. Angka yang telah terprogram akan mampu "menyedot" divine power, atau tenaga spiritual yang sangat bermanfaat demi penyempurnaan diri lahir batin. Orang jangan gagal men-siddhikan angkanya. Orang jangan bosan mematangkan angka pilihannya. Sebab keberhasilan mematangkan angka pilihan akan sangat membantu orang dalam mencapai berbagai hal-hal yang sangat indah. Yaitu hal spiritual.

Dengan demikian kita dibimbing secara pasti menuju alam kedamaian, alam cinta kasih, alam dimana tidak ada perseteruan, alam dimana kita tidak lagi dibatasi oleh pembatasan-pembatasan material.

Jadi, dalam mengembangkan meditasi angka, ada dua hal yang sangat penting untuk diberikan perhatian selain proses pematangan angka pilihan, yaitu:

1. mengosongkan pikiran
2. mengaktifkan pikiran

Kepentingan pertama tidak boleh dilupakan oleh pe-medang, baik mereka yang baru mulai memasuki praktek medang, maupun mereka yang sudah lama mempraktekkan medang. Yaitu yang bersangkutan harus men-siddhi-kan (mematangkan) angka pilihannya tanpa pertimbangan lain dalam bentuk apa pun.

"Aku harus mem-program angka pilihanku". Dengungkanlah kalimat itu senantiasa di dalam relung batin kita masing-masing. "aku harus men-siddhi-kan angka pilihanku." Getarkanlah tuntutan seperti itu di dalam telinga batin kita setiap saat. Hal ini akan sangat membantu orang untuk menegakkan diri di dalam spiritual. Ia akan sangat membantu orang untuk mematangkan diri, untuk memperkuat dasar diri. Dasar bangunan spiritual yang hendak kita bentuk. Orang harus memastikan diri dan menjadikannya sebagai tekad maha mulia bahwa, "Aku harus berhasil mematangkan angka pilihanku dalam penjelmaan kali ini."

Seorang pe-medang yang baik, tidak akan melalaikan tujuan mulia yang maha mendasar itu. Ia tidak akan terpancing untuk menyibukkan diri di dalam tujuan-tujuan sampingan, atau tujuan yang seharusnya ia belum pikirkan, sebelum ia memastikan diri untuk mematangkan angka pilihannya. Setelah ia memastikan diri untuk menekuni meditasi angka lebih jauh, maka dua hal diatas harus ia perhatikan. Yaitu mengosongkan dan sekaligus mengaktifkan pikiran.

Dengan matinya sang pintu pertama dari kesemrawutan pikiran, maka orang akan terputuskan dari sambungan dunia maya. Dengan demikian, artinya ia telah menempatkan dirinya untuk SIAP bermeditasi angka. Dan juga dengan pilihan itu, ia telah memastikan dirinya bahwa ia serius di dalam bermeditasi. Ia tidak bermain-main dengan meditasinya. Ia tidak sekedar menghias dirinya dengan hiasan meditasi, sehingga orang-orang menjadi terpukau oleh hiasan meditasi yang sedang ngetrend di masyarakat, hingga orang lain akan memujinya sebagai orang masa kini, atau sebagai orang yang patut diteladani. Ia tidak akan perdulikan semua itu. Ia hanya menginginkan bahwa jika ia mematikan HP, maka itu berarti memutuskan hubungan dengan dunia luar untuk sementara waktu, sementara ia memasuki alam meditasi.

Dengan berbekal gebuan-gebuan hiruk-pikuknya kesan-kesan dunia maya di dalam pikiran, maka tidaklah mungkin bagi seseorang untuk mengembangkan meditasi, tidak mungkin seseorang berhasil memasuki alam meditasi angka, karena meditasi angka mengharuskan seseorang untuk TUTUP KONTAK dengan dunia maya, sementara ia melakukan medang, entah lima menit atau 40 menit, atau lebih.

Jika ia sedang melakukan meditasi angka lima menit, maka ia harus jujur memberikan keseluruhan dirinya kepada meditasi angka selama lima menit tersebut. Kalau ia memilih bermeditasi 40 menit, maka dengan sengaja dan penuh kejujuran ia harus memberikan waktunya selama 40 menit untuk medang. Ia harus melakukan dengan jujur serta bertanggung jawab kepada dirinya. Paling tidak ia harus jujur seperti itu, sebab meditasi angka bukanlah suatu permainan.

Barangkali bagi mereka yang sekedar datang ingin "melihat" medang, tentu saja tidak apa-apa. Tetapi bagi mereka yang telah memastikan diri dengan tekad : "Ya aku harus mensukseskan diriku dalam medang", maka ia memang harus serius dan jujur pada dirinya. Keseriusan dan kejujuran di sini tidak dituntut untuk dilihat oleh orang lain. Karena keseriusan dan kejujuran di sini sama sekali bukan untuk orang lain, melainkan ditujukan untuk diri sendiri. Hanya itu yang akan mampu menyelamatkan pilihan meditasinya. Karena jika tidak, maka ia akan sibuk dalam meditasi-meditasian. Ada perbedaan yang sangat signifikan dari kata MEDITASI dengan MEDITASI-MEDITASIAN. Dan kata itu kita tidak usah bahas di sini, mengingat ia sudah sangat jelas perbedaannya.

Jadi, tahapan mengosongkan pikiran dalam meditasi angka sangat diperlukan. Anda harus melepaskan diri dari kesibukan memikirkan dunia, lupakan hutang, lupakan kekasih anda, lupakan handphone anda, lupakan urusan-urusan kantor anda, serta lupakan segala urusan-urusan duniawi lainnya yang anda pandang penting. Just forget it. lupakan dengan pasti selama anda melakukan meditasi angka. Jadi kejujuran adalah, saat dimana anda melupakan dunia selama bermeditasi angka. Hanya itu. Sebab, tanpa mengosongkan pikiran dari gebuan-gebuan duniawi, maka anda tidak akan mungkin berhasil bermeditasi angka. Ingatlah sebuah teori, dimana hanya ketika anda telah mengosongkan gelas yang diisi penuh oleh air busuk, maka anda akan bisa mengisi gelas itu dengan isi lain, dengan air bersih, dengan susu murni, atau dengan amerta.

MENCAPAI DERAJAT INSAN KAMIL (06 Tamat)



Akibatnya hasilnya kosong melompong. Karena hanya mengandalkan pikirnya. Ini berarti belum mendapat tata cara hidup yang benar hakiki yang seperti ini adalah idman yang sia-sia. Bertapanya sampai kurus kering, karena sedemikian rupa caranya menggapai kematian. Akhirnya meninggalnya tanpa ketentuan yang benar. Karena terlalu serius.adapun cara yang benar adalah tapa itu hanya sebagai ragi atau pemantap pendapat. Sedangkan ilmu itu sebagai pendukung. Tapa tanpa ilmu tidak akan berhasil. Bila ilmu tanpa tapa, rasanya hambar tidak akan memberi hasil. Berhasil atau tidaknya tergantung pada penerapannya. Dicegah hambatannya yang besar, sabar dan tawakal. Bukankah banyak agamawan palsu. Ajarannya stengah-setengah. Kepada sahabatnya merasa pintar sendiri. Yang tersimpan dihati, segera dilontarkan segala uneg-unegnya. Disampaikan kepada gurunya. Penyampaiannya hanya berdasarkan pikiran belaka.

Dahulunya belum mendapatkan pelajaran. Sampai tobatnya tidak merasa enak kalau menyanggah. Lalu ikut-ikutan mendengarkan. Dengan menamakan rohaniwan yang terbesar. Dianggapnya sudah pasti pendapatnya benar. Pendapatnya atau ilmunya adalah wahyunya itu anugrah yang khusus diberikan pribadi. Akhirnya sahabatnya diaku sebagai anak. Ditekan-tekankan tuntutan besar berupa ikatan batin. Oleh guru bila sudah akan mejang atau menyampaikan ajaran, duduk merasa sering berdekatan. Sehingga sahabat dikuasai oleh guru, dan sang guru menjadi sahabat batin. Luansnya tanggapan bahwa segalanya merupakan merupakan wahyu Allah. Kebaikannya, keduannya antara guru dan sahabat saling memahami. Kalau seorang diantara mereka dianggap sebagai orang yang berilmu. Harus ditaati segala apapun yang diucapkan itu. Misalnya berjalan juga harus disembah biasanya bertempat di pucuk-pucuk gunung.

Pengaruh ajarannya sangat mengundang perhatian menemui perguruannya. Bila ada yang berguru atau menghadap, nasihatnya macam-macam dan banyak sekali. Seperti gong besar yang dipukul. Bukankah ajarannya yang dibeber tidak bermutu atau berbobot. Akibatnya rugilah mereka yang berguru? Janganlah seperti itu orang hidup. Anggaplah ragamu sebagai wayang. Digerakkan ditempatnya. Terangnya blencong itu ibarat panggung kehidupanmu. Lampunya bulan purnama, layar ibarat alam jagad raya yang sepi kosong. Yang selalu menunggu-nunggu buah pikir atau kreasi manusia. Batang pisang ibarat bumi tempat bermukim manusia. Hidupnya ditunjang oleh yang nanggap. Penanggapnya ada di dalam rumah, istana. Tidak diganggu oleh siapun. Boleh berbuat menurut kehendaknya. Hyang Permana dalangnya. Wayang pelakunya. Adakalanya digerakkan ke utara oleh sutradara. Bila semuanya digerakkan berjalan. Semua ada di tangan dalang. Dialognya menyampaikan pesan juga. Bila bercakap lisannya itu menyampaikan berbagai nasihat, menurut kehendaknya. Penonton dibuat terpesona, diarahkan melekat pada dalang. Adapun yang nanggap itu selamanya tidak akan tahu. Karena ia tanpa bentuk dan ia berada di dalam puri atau rumah atau istana. Ia tanpa warna itulah dia Hyang Sukma. Cara Hyang Permana mendalang, mempercakapkan tanpa dirimu. Tanpa membedakan sesama titah. Di samping itu, bukankah dia tidak terlibat sebagai pelaku? Misalnya berada dalam tubuhmu? Atau ibarat minyak di dalam susu? Atau api dalam kayu?.

Berhasrat sekali karena belum diberi petunjuk sehingga menggelar doa di kayu, dakon dan gesekan. Dengan beralatkan sesama batang pohon. Gesekan itu disebabkan oleh angin. Hangusnya kayu, keluarlah kukunya. Tak lama kemudian apinya. Api dan asapnya keluar dari kayu itu. Bermula dari ingat pada saat awal mulanya. Semua yang tergelar ini berasal dari tiada. Manusia diciptakan lebih dari makhluk yang lain. Bukankah itu yang disebut rahasia atau rahsa? Manusia itu tidak paling mulia daripada ciptaan yang lain. Maka dari itu janganlah mudah terpengaruh oleh buah pikirmu yang bulat. Bulat atas segala gerak dan kehendak. Adapun isi jagad itu jangan mengira hanya manusia saja, tapi berisi segala macam titah. Hanya saja manusia itu satu. Penguasanya satu. Yang menghidupi jagad seisinya. Demikianlah tekad yang sempurna. Hei Syekh Malaya segeralah menyudahi! Kembalilah kau ke pulau Jawa! Bukankah sebenarnya kau mencari dirimu juga?.

Syekh Malaya bergegas. Bersembah dan berkata dengan berbelas kasih untuk memenuhinya, yang disebut Kalingga Murda,”Hamba setia dan taat”. Kanjeng Nabi Khidir lalu musnah dan lenyap. Syekh malaya tampak berdoa di samudera. Tapi tidak tersentuh air.

Syekh Malaya sangat berjanji dalam hati atas peringatan atau ajaran sang guru yang sempurna. Bukankah ia masih sangat ingat? Hasrat hati yang telah memiliki atau mengetahui ilmu kawekas. Isinya jagad telah terkuasai dalam hati, merasa mantap dan disimpan dalam ingatan. Sehingga serba mengetahui dan tak akan keliru lagi. Diresapi dalam jiwa dan dijunjung sampai mati. Ia telah lulus dari sumber aroma kasturi yang sebenarnya. Sehingga sifat panasnya hati lenyap.

Sesudah itu Syekh Malaya kondur (pulang). Hatinya sudah tidak goyah lagi karena segala ajaran itu tampak jelas dalam hati. Ia tidak salah lagi melihat dirinya siapa sebenarnya. Penjelmaan jiwanya menyatu  dalam satu wujud. Walau secara lahiriah dirahasiakan. Norma atau prilaku tat cara jiwa kesatria, berhasil dikuasai. Bukankah ia sudah menggunakan mata batinnya yang tajam atau peka? Ibarat hewan dengan bebannya! Sudah tak ada atau terjadi, kematian dalam kehidupan. Setelah bagaimana ia menerima ajaran gurunya. Sama sekali tidak diragukan lagi. Seluruh ajaran gurunya sudah tamat dan di kuasai dengan tersimpan dalam hati, serta diimankan dengan cermat. Mematuhi semua ajaran guru. Perbuatan, pikiran dan rasa bukankah diuji dalam hati yang suci dan bening? Benar-benar terasa sebagai anugrah Tuhan.

Sesungguhnya sang guru benar-benar sudah hilang raganya, sudah tidak ada. Akan tetapi selalu terbayang dalam hatinya. Dan sudah ditetapkan sebagai kekasihnya. Adapun segala ketercelaan hati sudah lenyap. Rasanya tenanglah dunia  dan akhirat. Karena kebersihan dan kesucian jiwa sudah diketemukan. Sukma suci dalam segala tingkah lakunya itu memahami sepaham-pahamnya.

Bukankah sudah memahami lewat petunjuk? Sehingga tidak takut akan kematian yang sering timbul dalam buah pikiran? Ia sudah mengharapkan bahwa raganya akan ikhlas kalau kematian yang mulia. Yang diridhai oleh Tuhan atau Sang Hyang Widi. Namun sebenarnya tidak ada tanggapan perasaan. Yaitu rasa seperti itu. Tiadanya pandang atau wawasan seperti itu. Bukankah sudah lenyap semuanya. Tinggal jiwa suci yang terpuji mulia? Mulia seperti zaman dahulu atau awalnya. Tidak meragukan kematian yang sebenarnya. Yang menjemput maut setiap saat. Tidak merasakan akan kematiannya. Toh yang rusak itu nafsu dan badan, jiwa hidup abadi dan aman sejahtera. Senang, mulia dan merdeka, semuanya itu sudah diterapkan dalam hati. Sehingga berpegang pada kuasa-Nya. Sudah mengetahui akan makna kematian yang sebenarnya, ia tidak merasa takut kapanpun maut menjemput. Yang sempurna ialah sudah aman, sejahtera, mulia, itulah makna yang sempurna. Yaitu tidak meninggalkan hak-Nya. Ketujuh alam sudah lenyap. Bukankah lenyapnya alam ini sudah jelas? Kini yang lain ibarat kau sajalah!

Penguasa alam bukankah sudah kita ketahui? Yang bernama Abirawa yang artinya beerkuasa dan berkehendak. Adapun alam yang keenam artinya ialah yang telah lenyap : timur, barat, utara, selatan, atas, bawah serta kayu dan batu dan diri sendiri. Bila kita telah mati yang ada hanya kosong dan sepi. Yang terdengar hanya deru angin, debur air dan kobaran api di alam dahana. Matahari, bulan, bukankah termasuk alam juga? Dua puluh tiga alam yang serba nafsu itu, semuanya habis belaka. Walaupun bukankah sama dahulunya?.

Syekh Malay sudah memahami hal itu semua? Kalau itu semua adalah alam serba nafsu. Dan alam yang sebenar-benarnya sudah jelas yaitu penguasa alam semua. Sedang penyelarasnya hanyalah alam anbiyak ini. Alam anbiyak itu baunya harum dan mewangi. Tapi bukan pribadi majazi. Yang hakiki yang menyelaraskan alam. Menjadi terang dan mulia semua.

Dan alam berarti itu ialah tempat jiwa suci, terang, bersih. Itulah alam malakut. Artinya ialah sudah tiba menjelang alam kemuliaan. Ibarat ruangan, sekat sebagai pemisah. Adapun alam anbiyak ialah alam mulia yang masih akan digapai. Sifat hidup itulah kehidupannya. Tentang mana mirah mana intan. Sudah jelas nilai dari Kumala Adi. Yaitu sebagus-bagusnya warna dari intan itu sendiri. Lenyapnya bukankah sama dengan lainnya? Itulah alam anbiya.*********

GURU SUCI TANAH JAWA (01)



SUNAN Kalijaga mendapat gelar agung sebagai guru suci Tanah Jawi. Kocap kacarita, Raden Mas Sahid putra kanjeg Adipati Tuban, sudah menjadi alim ulama yang cerdik dan pandai. Bahkan beliu sudah dapat merasakan mati di dalam hidup. Tingkatan pendakian tauhid yang sangat tinggi, dan patut diacungi jempol. Namun beliu belum puas dengan apa yang sudah didapat. Dia mempunyai himatulaliyyah atau cita-cita yang tinggi yaitu bertujuan inging memperoleh petunjuk diri seseorang yang sudah menemukan hakikat kehidupan, yang nantinya dapat mengantarkanya agar mendapat petunjuk yang dipagang para Nabi Wali atau Imam Hidayah.

Tekadnya semakin membaja, menyebabkan beliu melakukan perjalanan hidup yang tidak mempedulikan dampak atau akibat apapun yang akan terjadi, nafsunya menuntut ilmu semakin membara tak perduli samudra api menghadang. Bukankah Rasulullah pernah bersabda, “Tuntutlah ilmu biarpun harus menyeberang samudra api!”.

Ling lang ling lung, Raden Mas Sahid hatinya bimbang dan pikirannya bingung. Siapa yang tidak bingung! Segala ilmu yang diketahui dan dipahami diamalkan dengan penuh pengabdian kepada Allah, namun beliu merasa selalu tergoda oleh nafsunya, dan merasa tidak mampu mengatasinya. Berbagai usaha ditempuh agar akhir hidupnya nanti, mampu mengatasi nafsunya, jangan sampai terlanjur terlantur, hanya puas makan dan tidur. Namun tetap saja dirinya merasa hatinya kalah perang dengan nafsunya. Akhirnya beliu pasrah kepada Allah tempat berserah diri.

Ling lang ling lung, Raden Mas Sahid memohon kepada Allah Tuhan Yang Terpilih, semoga dibukakan oleh Tuhan Pembuat Nyawa, agar istiqomah hatinya, selaras dengan kehendak hatinya, jalan menuju sembah dan puji. Dan tiada putus-putusnya dia berdoa, biarpun terselip kekhawatiran dosa dan kekhilafan yang pernah dilakukannya semasa muda, mungkin tak termaafkan oleh Gusti Allah. Sekian lama beliu berdoa, namun tak ada tanda-tanda terkabulnya doa. Akhirnya beliu mawas diri. Mengapa petunjuk yang ditunggu-tunggu belum juga datang? Apakah caranya beribadah dan bersyukur yang salah? Apakah yang dilakukan selama ini acak-acakan tanpa dasar ilmu yaqin?

Ling lang ling lung, akhirnya Raden Mas Sahid diam tak mau berdoa lagi. Beliu menyendiri dan menjauhi urusan duniawi (uzlah). Buak dari laku ini, dirasanya masih saja ada gejolak batin, saling bertengkar dua sura dalam batingnya sendiri, bisikan Malaikat dan bisikan Syaitan. Pertentangan suaranya tidak lantang sebagaimana layaknya orang bertengkar, tetapi pertengkaran hebat itu tidak kunjung berhenti! Bukankah bisikan baik dan buruk saling merebut kemenangan? Apa sih yang diperebutkan? Padahal tidak ada yang diperebutkan! Perang batin ini, kalau diibaratkan seperti perebutan Kerajaan Ngastina oleh Kurawa dan Pandawa yang masih termasuk keluarga sendiri atau darah daging sendiri!

Ling lang ling lung, Raden Mas Sahid menyadari laku uzlah yang dijalankannya tak menghasilkan petunjuk yang diharapkan. Akhirnya tanpa malu-malu, karena didesak oleh hasrat mengetahui petunjuk, beliu berusaha bertapa berlapar-lapar, kalau ada teman datang, ikut makan dengan rakusnya, kalau temannya pergi tidak makan seumur hidupnya, sebab tidak ada yang dimakan. Ling lang ling lung, menuruti kesenangan memperindah diri, selalu meminta upah. Ling lang ling lung, Raden Mas Sahid meminta upah dari laku bertapa berlapar-lapar ternyata tiada hasil. Beliu akhirnya menyadari kebodohannya dan tersemyun sendiri. Mengapa sampai teganya Dia menagih tak henti-hentinya kepada Allah, padahal tanpa piutang? Gusti Allah yang ditagih wajar kalau diam saja, memang kenyataanya tidak berhutang! Biarpun yang menagih datang dan pergi, semua itu tidak ada bedanya, dan Allah Yang Maha Karya berhak tidak melunasi karena tidak pernah berhutang kepada Raden Mas Sahid. Akhirnya beliu memutuskan diri untuk berguru dengan Kanjeng Sunan Bonang, barangkali dengan itu, beliu dapat petunjuk iman hidayah.

Mulailah Raden Mas Sahid berguru kepada seseorang yang tinggi ilmunya yang bersunyi diri di Desa Bonang yang bergelar Kanjeng Sunan Bonang. Beliu mohon kepada Kanjeng Sunan Bonang untuk ditunjukkan hakikat kehidupan. Syekh Malaya disaat mulai berguru kepada Kanjeng Sunan Bonang diperintah bertapa menunggu pohon gurda dan dilarang meninggalkan tempat.

Ling lang ling lung, Syekh Malaya dapat dikatakan orang hebat, karena keinginanya yang kuat serta tekad batinnya, tak dapat dibandingkan dengan yang lainnya. Maklumlah beliu berdarah luhur, putra Kanjeng Adipati Tuban Wilwatikta II bernama Raden Mas Sahid, waktu tua bergelar Sunan Kalijaga. Rupanya sudah terlebih dahulu mendapat anugrah Kasih Sayang Gusti Allah Pencipta Nyawa yang sudah menjadi kemulian Tuhan Yang terpilih, timbul dari kasih Sayang Allah. Syekh Malaya berguru  menuntut ilmu sudah cukup lama, namun merasa belum dapat manfaat yang nyata, rasanya Cuma penderitaan yang didapat, sebab disuruh memperbanyak bertapa, oleh Kanjeng Sunan Bonang, diperintah “menunggui pohon gurda” yang berada ditengah hutan belantara dan tidak boleh meninggalkan tempat, sudah dilaksanakan selama setahun.

Laku tapa yang kedua, disuruh  “ngaluwat” yaitu ditanam di tengah hutan di dalam goa Sorowiti Panceng Tuban. Setelah setahun mulut gua yang mulanya ditutup dengan batu-batu, kemudia dibongkar oleh Kanjeng Sunan Bonang. Kemudian laku tapa yang ketiga, yaitu “tarak brata di tepi sungai” selama setahun, dan tidak boleh tidur ataupun makan, lalu ditinggal ke Mekah oleh Kanjeng Sunan Bonang.

Nyatanya sudah genap setahun, Syekh Malaya ditengok, ditemui masih tarak brata saja, Kanjeng Sunan bonang bersabda, “wahai siswaku sudahilah tarak bratamu, kamu mulai sekarang sudah menjadi Wali dan bergelar Sunan Kalijaga. Kamu diangkat sebagai wali Sembilan penutup maksudnya melengkapi Wali Sanga atau Wali Sembilan yang saat itu jumlah kurang satu wali. Tugasmu ikut menyiarkan agama Islam dan perbaikilah ketidakaturan yang ada. Agama itu tata krama, kesopanan untuk Kemuliaan Tuhan Yang Maha Mengetahui. Kau harus berpegang pada syariat Islam, serta segala ketentuan iman hidayah. Hidayah itu dari Gusti Allah Yang Maha Agung, yang sangat besar kanugrahan-Nya menumbuhkan kekuatan luar biasa dan keberanian, serta meliputi segala kebutuhan perang, yang demian itu tidak lain adalah anugrah yang besar, paling utama dari segala yang utama (keutamaan). Keutamaan ibarat bayi, siapapun ingn memelihara, yang mencukupi bayi, menguasai pula terhadap dirimu, tapi kamu tak punya hak menentukan, karena kau ini juga yang menentukan Gusti Allah Yang Maha Agung, karena itu mantapkanlah hatimu dalam pasrah diri pada-Nya”.

MERASAKAN HIDAYAH IMAN (02)


Syekh Malaya berkata lemah lembut kepada Kanjeng Sunan Bonang, “sugguh hamba sangat bermatur nuwun, semua nasihat akan kami junjung tinggi, tapi hamba memohon pada guru, mohon agar sekalian dijelaskan, tentang maksud sebenarnya dari sukma luhur atau ruh yang berderajat tinggi, yang sering disebut iman hidayah. Hamba harus mantap berserah diri kepada Gusti Allah, bagaimanakah cara melaksanakan dengan sebenar-benarnya? Hamba mohon penjelasan yang sejelas-jelasnya. Kalau hanya sekedar ucapan semata hamba pun mampu mengucapkannya. Hamba takut kalau menemui kesalahan dalam berserah diri, karena menjadikan hamba ibarat asap belaka, tanpa guna menjalankan semua yang kukerjakan.

Kanjeng Sunan Bonang menjawab lembut, “Syekh Malaya benar ucapanmu, pada saat bertapa kau bertemu denganku, yang dimaksud berserah diri ialah selalu ingat perilaku atau pekerjaan, seperti ketika awal mula diciptakan, bukankah itu sama halnya seperti asap? Itu tadi seperti hidayah wening atau petunjuk yang jernih, serupa dengan iman hidayah, apakah itu nampak dengan sebenarnya? Namun ketahuilah semua tidak dapat diduga sebelum mempunyai kepandaian untuk meraihnya, kejelasan tentang hidayah, hanya keterangan yang saya percayai, karena keterangan itu berasal dari sabda Gusti Allah”.

Berkata Kanjeng Sunan Kalijaga, “ Kanjeng Rama Guru yang bijaksana, hamba mohon dijelaskan, apakah maksudnya, ada nama tanpa sifat, ada sifat tanpa nama? Saya mohon petunjuk, tinggal itu yang saya tanyakan yang terakhir kali ini saja”. Kanjeng Sunan Bonang bersabda lemah lembut, “Kalai kamu ingin keterangan yang jelas tuntas, matikanlah dirimu sendiri, belajarlah kamu tentang mati, selagi kau masih hidup. Caranya bersepi dirilah kamu ke hutan rimba, dan jangan sampai ketahuan manusia”.

Sudah habis segala penjelasan yang disampaikan Kanjeng Sunan Bonang segera meninggalkan tempat, dari hadapan Sunan Kalijaga, timur laut arah langkah yang dituju. Kira-kira baru beberapa langkah berlalu, Syekh Malaya ikut meninggalkan tempat itu, masuk kehutan belantara.

Raden Mas Sahid menjalankan laku kidang, berbaur dengan kidang menjangan, segala gerak laku kidang ditirunya, kecuali bila ingin tidur, ia mengikuti cara tidur berbalik, tidak seperti tidurnya kidang. Kalau pergi mencari makan mengikuti seperti caranya anak kidang. Bila ada manusia yang mengetahui, para kidang berlari tunggal langgang, Sunan Kalijaga juga ikut berlari kencang jangan sampai ketahuan manusia. Larinya dengan merangkak, seperti larinya kidang, pontang panting jangan sampai ketinggalan, mengikuti sepak terjang kidang.

Nyata sudah cukup setahun, Syekh Malaya menjalani laku kidang, bahkan melebihi yang telah ditetapkan, ketika itu Kanjeng Sunan Bonang, bermaksud sholat ke Mekah, dlam sekejap mata sudah sampai, setelah sholat segera datang kembali. Kanjeng Sunan Bonang menuju hutan untuk memberi tahu Syekh Malaya bahwa laku kidangnya telah selesai. Sesampai di dalam hutan ia melihat kidang sama berlari, sedang anaknya sempoyongan mengikuti. Sunan Bonang ingat dalam hati, kalau Wali Syekh Malaya berlaku seperti anak kidang, segera ia mendekati gerombolan kidang, barangkali di sana ditemukan Syekh Malaya.

Syekh Malaya yang kebutulan sedang berlaku meniru kidang tahu akan didekati gurunya. Beliu ingat pesan gurunya, bahwa dirinya tidak boleh diketahui manusia, gurunya juga manusia maka ia harus menghidari jangan sampai didekati manusia biarpun oleh gurunya, larinya tunggang langgang, tanpa memperhitungkan jurang tebing, ditubruk tidak tertangkap, dijaring dan diberi jerat, kalau kena jerat dapat lolos, kalau kena jaring dapat melompat.

Marahlah sang guru Kanjeng Sunan Bonang, bersumpah dalam hatinya, “Wali wadat pun aku tak peduli, memanaskan hati kau kidang, bagiku memegang angin yang lebih lembut saja tidak penar lolos, yang kasar akan lebih mudah ditangkap mustahil akan gagal! Kalau tidak berhasil sekali ini, lebih baik aku tidak usah menjadi manusia, lebih pantas kalau jadi binatang saja!”.

Kanjeng Sunan Bonang bergerak dengan penuh amarah. Beliu berusaha menciptakan nasi tiga kepal atau genggam. Dalam sekejap tangannya telah siap nasi 3 genggam, sgera ia mundur ancang-ancang siap mengejar Kidang Syekh Malaya untuk melemparkanya. Kanjeng Sunan Bonang segera menerobos ke dalam hutan yang lebih lebat dan sulit dilewati, setelah benar-benar menemukan yang sedang laku kidang, tengah berlari. Segera dilemparnya dengan nasi satu kepal, tepat mengenai punggungnya.
Syekh Malaya agak lambat larinya terkena lemparan nasi sekepal. Lalu lemparan yang kedua, mengenai lambungnya, jatuh terduduk Syekh Malaya kemudian dilempar lagi, nasi satu kepal, Syekh Malaya ingat dan sadar kemudia berbakti pada Kanjeng Sunan Bonang.

Syekh Malaya berlutut hormat mencium kaki Kanjeng Sunan Bonang. Berkata sang guru Kangjeng Sunan Bonang “Anakku ketahuilah olehmu, bila kau ingin mendapat kepandaian, yang bersifat hidayatullah, naiklah haji, menuju Mekah dengan hati tulus suci dan ikhlas. Ambillah air zam-zam ke Mekah, itu adalah air yang suci, serta sekaligus mengaharapkan berkah syafaat, Kanjeng Nabi Muhammad yang menjadi suri tauladan manusia”. Syekh Malaya berbakti, mencium kaki gurunya dan mohon diri untuk melaksanakan tugas yaitu segera menuju Mekah. Kanjeng Sunan Bonang lebih dahulu melangkahkan kaki menuju desa Bonang Tuban yang sepi.

PERGI HAJI KE MEKAH (03)



Syekh Malaya menerobos hutan, naik gunung, turun jurang, tetebingan di dakinya memutar, melintasi jurang dan tanjakan. Tanpa terasa perjalanannya telah sampai di tepi pantai. Hatinya bingung, kesulitan menempuh jalan selanjutnya karena terhalang oleh samudera luas, sejauh memandang tampak air semata. Dia diam tercenung lama sekali di tepi samodera memutar otak mencari jalan yang sebaiknya ditempuh.

Kocap kacarita tersebutlah seorang manusia, yang bernama Sang Mahyuningrat, mengetahui kedatangan seorang yang tengah bingung yaitu Syekh Malaya. Sang Mahyuningrat tahu segala perjalanan yang dialami oleh Syekh Malaya dengan sejuta keprihatinan karena ingin meraih iman hidayah. Berbagai cara telah ditempuh, juga melalui penghayatan kejiwaan dan berusaha mengungkap berbagai rahasia yang tersembunyi, namun mustahil dapat menemukan hidayah, kecuali kalau mendapatkan kanugrahan Allah yang haq.

Syekh Malaya ternyata sudah terjun merenangi samudra luas, dan tidak mempedulikan nasib jiwanya sendiri. Semakin lama Syekh Malaya sudah hampir sampai tengah samudra, mengikuti jalan untuk mencapai hakikat yang tertinggi dari Allah, tidak sampai lama, sampailah di tengah samudra. Beliu kehabisan tenaga untuk merenangi samudra menuju Mekah. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada ia berusaha mempertahankan diri jangan sampai tenggelam di dasar laut. Yang tampak kini. Syekh Malaya timbul-tenggelam di permukaan laut berjuang menyelamatkan nyawanya.

Ternyata disaat Syekh Malaya dalam keadaan yang kritis itu berjuang antara hidup dan mati, tiba-tiba penglihatannya melihat seseorang yang sedang berjalan di atas air dengan tenangnya, yang tidak dari mana datangnya. Seketika itu pula, tahu-tahu Syekh Malaya sudah dapat duduk tenang diatas air.

Orang yang mendekati Syekh Malaya tidak lain adalah Kanjeng nabi Khidir yang menyapa Syekh Malaya dengan lemah lembut, “Syekh Malaya apakah tujuanmu mendatangi tempat ini? Apakah yang kau harapkan? Ketahuilah di sini tidak ada apa-apa! Tidak ada yang ditemubuktikan, apalagi untuk dimakan dan berpakaian pun tidak ada. Yang ada hanyalah daun kering yang tertiup yang jatuh di depanku, itu yang saya makan, kalau tidak ada tentu tidak makan. Senangkah kamu melihat kenyataan semua itu?”.

Sunan Kalijaga heran mengetahui penjelasan ini. Kanjeng Nabi Khidir berkata lagi kepada Sunan Kalijaga, “Cucuku, di sini ini banyak bahayanya, kalau tidak mati-matian berani bertaruh nyawa, tentu tidak mungkin sampai di sini. Di tempat ini segalanya tidak ada yang dapat diharapkan hasilnya. Mengandalkan pikiranmu saja belum apa-apa, biarpun kamu tidak takut mati. Kutegaskan sekali lagi, di sini kau tidak mungking mendapat apa yang kau maksudkan!”.

Syekh Malaya bingung tidak tahu apa yang harus diperbuat, dia menjawab pertanyaan Kanjeng Nabi Khidir, bahwa dia tidak mengetahui akan langkah yang sebaiknya perlu ditempuh setelah ini. Tidak tahu apa yang akan dilakukannya kemudian! “Syekh Malaya pasrah diri kepada Kanjeng Nabi Khidir , katanya terasa memilukan”. Sang guru Kanjeng Nabi Khidir menebak, “Apakah kamu juga sangat mengharapkan hidayatullah Allah?”.
Akhirnya Kanjeng Nabi Khidir menjelaskan, “ikutilah petunjukku sekarang ini!” “Kamu telah berusaha menjalankan petunjuk gurumu kanjeng Sunan Bonang yang menyuruhmu menuju kota Mekah, dengan keperluan naik haji. Maka ketahuilah olehmu, makna tugas itu yaitu : sungguh sulit menjalankan lika-liku kehidupan ini”. “Jangan pergi kalau belum tahu yang kau tuju dan jangan makan kalau belum tahu rasanya yang dimakan, jangan berpakaian kalau belum tahu kegunaan berpakaian. Lebih jelasnya tanyalah sesama manusia sekaligus dengan persamaannya, kalau sudah jelas amalkanlah!”.

“Demikianlah seharusnya hidup itu, ibarat ada orang dari gunung, akan membeli emas, oleh tukang emas biarpun diberi kuningan tetap dianggap emas mulia. Demikianlah pula dengan orang berbakti, bila belum yakin benar, pada siapakah yang harus disembah?” Syekh Malaya  ketika mendengar itu, spontan duduk berlutut mohon belas kasihan, setelah mendapati kenyataan Kanjeng Nabi Khidir betul-betul serba tahu yang tersimpan di hatinya. Dengan duduk bersila dia berkata, “Yang kami dengar akan kami laksanakan apa pun jadinya nanti. “Syekh Malaya meminta kasih sayang, memohon keterangan yang jelas’, siapakah nama tuan? Mengapa di sini sendirian? Sang Mahyuningrat menjawab, “sesungguhnya saya ini Kanjeng Nabi Khidir”.

Syekh Malaya berkata, “saya menghaturkan hormat sedalam-dalamnya kepada tuan junjunganku dan mohon petunjuk serta perlu dikasihani, saya juga tidak tahu benar tidaknya pengabdianku ini. Tidak lebih bedanya dengan hewan di hutan, itupun masih tidak seberapa, bila mau menyelidiki kesucian diriku ini. Dapat dikatakan lebih bodoh dan dungu serta tercela ibarat keris tanpa kerangka dan ibarat bacaan tanpa isi tersirat”.

Maka berkata dengan manisnya Sang Kanjeng Nabi Khidir kepada Sunan Kalijaga. “Jika kamu berkehendak naik haji ke Mekah, kamu harus tahu tujuan yang sebenarnya menuju ke Mekah itu. Ketahuilah mekah itu hanya tapak tilas saja! Yaitu bekas tempat tinggal Nabi Ibrahim zaman dahulu. Beliulah yang membangun Ka’bah Masjidil Haram serta yang menghiasi Ka’bah itu dengan benda yang berupa batu hitam (Hajar Aswad) yang tergantung didinding Ka’bah tanpa digantungkan. Apakah Ka’bah itu yang hendak kamu sembah? Kalau itu yang menjadi niatmu, berarti kamu sama halnya menyembah berhala atau bangunan yang dibuat dari batu. Perbuatanmu itu tidak jauh berbeda dengan yang diperbuat oleh orang kafir, karena hanya sekedar menduga-duga saja wujud Allah yang disembah, dengan senantiasa menghadap kepada berhalanya. Oleh karenanya itu, biarpun kamu sudah naik haji, bila belum tahu tujuanya yang sebenernya dari ibadah haji tentu kamu akan rugi besar. Maka dari itu, ketahuilah bahwa Ka’bah yang sedang kau tuju itu, bukannya yang terbuat dari tanah atau kayu apalagi batu, tetapi Ka’bah yang hendak kau kunjungi itu sebenarnya Ka’bahtullah (Ka’bah Allah). Demikian itu sesunggunya iman hidayah yang harus kamu yakinkan dalam hati”.

Kanjeng Nabi Khidir memerintah, “Syekh Malaya segeralah kemari secepatnya! Masuk ke dalam tubuhku!” Syekh Malaya terhenyak hatinya tak dapat dicegah lagi, keluarlah tawanya, bahkan sampai mengeluarkan air mata seraya berkata halu. “Melalui jalan manakah harus masuk ke dalam tubuhmu, padahal saya tinggi besar melebihi tubuhmu, kira-kira cukupkah? Melalui jalan manakah usaha saya untuk masuk? Padahal nampak olehku buntu semua?.

Kanjeng Nabi Khidir berkata dengan lemah lembut. “Besarmana kamu dengan bumi, semua ini beserta isinya, hutan rimba dan samudera serta gunung tidak bakal penuh bila dimasukkan kedalam tubuhku, jangan khawatir bila tak cukup masuklah di dalam tubuhku ini. Syekh Malaya setelah mendengarnya semakin takut sekali dan bersedia melaksanakan tugas memasuki badan Kanjeng Nabi Khidir, namun bingung tak tahu cara melaksanakannya. Menolehlah Kanjeng Nabi Khidir, ini jalan di telingaku ini”.