Kamis, 20 Januari 2011

ADAB ISTIRAHAT / TIDUR , BERNILAI IBADAH DARI SUATU YANG MUBAH

Dalam Islam, setiap amalan, sekecil apapun, bisa bernilai ibadah. Beristirahat, misalnya. Ia tak sekedar rutinitas melepas lelah setelah seharian beraktivitas. Namun bisa menjadi pohon yang berbuah pahala. Bagaimana amalan yang nyata-nyata telah menjadi kebutuhan kita sehari-hari ini bisa bernilai ibadah? Simak bahasan berikut!
Hidup memang sebuah pengorbanan dan perjuangan. Berjuang dan berkorban adalah sesuatu yang melelahkan dan memberatkan, dan ketika lelah tentu butuh ketenangan dan istirahat. Namun tidak semua orang bisa dengan mudah mendapatkan ini semua. Ada yang hanya bisa beristirahat satu atau dua jam saja setiap harinya. Hidupnya dipenuhi dengan aktivitas dan kesibukan yang luar biasa. Sehingga, kesempatan beristirahat merupakan sebuah kenikmatan dan kasih sayang Allah subhanahu wata’ala yang mesti kita syukuri.
Namun di masa kini, manusia dihadapkan pada pola hidup yang menuhankan materi. Hidup di dunia seolah-olah hanya untuk mencari uang atau materi. Manusia diposisikan sebagai alat produksi yang senantiasa dituntut produktif. Dengan kata lain, segala aktivitas harus ada timbal baliknya secara materi. Pekerjaan adalah no. 1, sementara keharmonisan keluarga, interaksi sosial dengan masyarakat, adalah nomor kesekian. Walhasil, manusia pun tak ubahnya seperti robot. Ini jelas menyelisihi fitrah manusia. Allah subhanahu wata’ala menjelaskan di dalam Al-Qur`an:
وَخُلِقَ اْلإِنْسَانُ ضَعِيْفًا
“Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.” (An-Nisa`: 28)
As-Sa’di rahimahullah mengatakan: “(Allah subhanahu wata’ala menginginkan atas kalian keringanan) artinya kemudahan dalam segala perintah dan larangan-Nya atas kalian. Kemudian bila kalian menjumpai kesulitan dalam beragama maka Allah subhanahu wata’ala telah menghalalkan bagi kalian sesuatu yang kalian butuhkan seperti bangkai, darah dan selain keduanya bagi orang yang mudhthar[1], dan seperti bolehnya bagi orang yang merdeka menikahi budak wanita dengan syarat di atas. Hal ini sebagai bukti sempurnanya kasih sayang Allah subhanahu wata’ala, kebaikan yang mencakup ilmu dan hikmah-Nya atas kelemahan manusia (yaitu kelemahan) dari semua sisi. Lemah tubuh, lemah niat, lemah kehendak, lemah keinginan, lemah iman, dan lemah kesabaran. Berdasarkan semua ini sangat sesuai jika Allah subhanahu wata’ala meringankan atas mereka perkara yang dia tidak sanggup untuk melakukannya dan segala apa yang tidak sanggup dipenuhi oleh keimanannya, kesabaran, dan kekuatan dirinya.”
Dan karena kelemahan itu, Allah Maha Bijaksana di dalam menentukan waktu kehidupan bagi mereka. Allah subhanahu wata’ala menjadikan malam dan siang memiliki hikmah tersendiri. Dan adanya malam dan siang itu menunjukkan kasih sayang Allah subhanahu wata’ala terhadap hamba-hamba-Nya dan manakah dari hamba-Nya yang mau mensyukurinya?
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
فَالِقُ اْلإِصْبَاحِ وَجَعَلَ اللَّيْلَ سَكَنًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ حُسْبَانًا ذَلِكَ تَقْدِيْرُ الْعَزِيْزِ الْعَلِيْمِ
“Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah yang Maha perkasa lagi Maha Mengetahui.” (Al-An’am: 98)
هُوَالَّذِي جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ لِتَسْكُنُوا فِيْهِ وَالنَّهَارَ مُبْصِرًا إِنَّ فِيْ ذَلِكَ لآيَاتِ لِقَوْمِ يَسْمَعُوْنَ
“Dialah yang telah menjadikan malam bagi kalian supaya kalian beristirahat padanya dan (menjadikan) siang terang benderang (supaya kalian mencari karunia Allah subhanahu wata’ala). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah k) bagi orang-orang yang mendengar.” (Yunus: 67)
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ لِبَاسًا وَالنَّوْمَ سُبَاتًا وَجَعَلَ النَّهَارَ نُشُوْرًا
“Dialah yang menjadikan untuk kalian malam sebagai pakaian dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha.” (Al-Furqan: 47)
وَمِنْ رَحْمَتِهِ جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لِتَسْكُنُوا فِيْهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
“Dan karena rahmat-Nya Dia jadikan untuk kalian malam dan siang, supaya kalian beristirahat pada malam itu dan supaya kalian mencari sebahagian dari karunia-Nya (pada siang hari) dan agar kalian bersyukur kepada-Nya.” (Al-Qashash: 73)
Dan masih banyak lagi ayat yang semakna dengan di atas. Semuanya menunjukkan betapa besar kasih sayang Allah subhanahu wata’ala terhadap hamba-hamba-Nya dan bahwa Allah subhanahu wata’ala telah melimpahkan kepada mereka segala yang mereka butuhkan dalam pengabdian dan ibadah kepada Allah subhanahu wata’ala. Namun mengapa kebanyakan manusia ingkar kepada-Nya?
Dan kita semua berkeinginan agar tidur sebagai salah satu bentuk istirahat bukan hanya sebagai ketundukan kepada sunnatullah semata. Kita juga ingin agar tidur kita mendapatkan nilai ibadah tambahan dari sisi Allah subhanahu wata’ala. Allah subhanahu wata’ala melalui lisan Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan kepada kita beberapa adab di dalam tidur.
BERWUDHU’ SEBELUM TIDUR
Termasuk Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah berwudhu sebelum tidur. Hal ini bertujuan agar setiap muslim bermalam dalam keadaan suci, sehingga bila ajalnya datang menjemput diapun dalam keadaan suci. Dan sunnah ini menggambarkan bentuk kesiapan seorang muslim untuk memenuhi panggilan kematian dalam keadaan suci hatinya. Dan jelas bahwa kesucian hati lebih diutamakan daripada kesucian badan. Dan sunnah ini juga akan mengarahkan pada mimpi yang baik dan menjauhkan diri dari permainan setan yang akan menimpanya. (Lih. Fathul Bari, 11/125 dan Syarah Shahih Muslim, 9/32)
Tentang sunnah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan dalam sabda beliau:
عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ لِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوْئَكَ لِلصَّلاَةِ
Dari Al-Bara` bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu, berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadaku: ‘Apabila kamu mendatangi tempat tidurmu, maka berwudhulah kamu sebagaimana wudhumu untuk shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 6311 dan Muslim no. 2710)
Al-Imam Al-Bukhari di dalam Shahih beliau menulis sebuah bab: “Apabila Bermalam (Tidur) dalam Keadaan Suci”. Al-Hafizh Ibnu Hajar t mengatakan: “Sungguh terdapat hadits-hadits yang menjelaskan makna ini yang tidak memenuhi syarat Al-Bukhari dalam Shahih-nya, di antaranya hadits Mu’adz radhiyallahu ‘anhu:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَبِيْتُ عَلَى ذِكْرٍ طَاهِرًا فَيَتَعَارُُُّ مِنَ اللَّيْلِ فَيَسْأَلُ اللهَ خَيْرًا مِنَ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ
“Tidaklah seorang muslim tidur di malam hari dengan berdzikir dan dalam keadaan suci, kemudian dia terbangun dari tidurnya di malam hari kemudian dia meminta kepada Allah kebaikan dunia dan akhirat melainkan Allah akan memberikan itu kepadanya.”(HR. Abu Dawud di dalam Sunan beliau no. 5042 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitab Shahih Sunan Abu Dawud no 5042, Al-Misykat no. 1215 dan di dalam kitab At-Ta’liq Ar-Raghib 1/207-208, lih. Fathul Bari, 11/124)
Dan beliau mengatakan: “Perintah (untuk berwudhu di sini) adalah sunnah (bukan wajib).” Beliau mengatakan juga: “At-Tirmidzi mengatakan: ‘Tidak ada di dalam hadits-hadits penyebutan wudhu ketika tidur melainkan di dalam hadits ini’.” (lih. Fathul Bari, 11/125)
Al-Imam An-Nawawi mengatakan: “Di dalam hadits ini terdapat tiga sunnah yang penting, namun bukan wajib. Salah satu di antaranya adalah berwudhu ketika ingin tidur. Dan bila dia dalam keadaan berwudhu maka cukup baginya (dalam melaksanakan sunnah tersebut) karena yang dimaksud adalah (tidur) dalam keadaan suci.” (Syarah Shahih Muslim, 9/32)
Demikianlah sunnah yang tidak ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika hendak tidur, yang semestinya kita sebagai muslim memperhatikannya. Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu bercerita:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَقَضَى حَاجَتَهُ فَغَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ثُمَّ نَامَ
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terjaga di suatu malam lalu beliau menunaikan hajatnya dan kemudian membasuh wajah dan tangannya lalu tidur.” (HR. Al-Bukhari no. 6316 dan Abu Dawud no. 5043 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitab Shahih Sunan Abu Dawud no. 4217.)
MENGIBAS (MEMBERSIHKAN) TEMPAT TIDUR
Satu dari sekian sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah n berkaitan dengan adab tidur adalah mengibas tempat tidur. Ini dimaksudkan agar tidak terjadi sesuatu yang membahayakan diri seperti binatang berbisa, baik ular, kalajengking, dan sebagainya. Ini dilakukan tidak dengan tangan langsung, supaya terhindar dari sesuatu yang mengotori sekiranya terdapat najis atau kotoran. (Lih. Syarah Shahih Muslim, 9/38 dan Fathul Bari, 11/143). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا أَوَى أَحَدُكُمْ إِلَى فِرَاشِهِ فَلْيَنْفُضُ فِرَاشَهُ بِدَاخِلَةِ إِزَارِهِ فَإِنَّهُ لاَيَدْرِي مَا خَلَفَهُ عَلَيْهِ
“Apabila salah seorang dari kalian beranjak menuju tempat tidurnya maka hendaklah dia mengibas (membersihkan) tempat tidurnya karena dia tidak mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.” (HR. Al-Bukhari no. 6320 dan Muslim no. 2714)
فَإِنَّهُ لاَيَدْرِي مَا خَلَفَهُ عَلَيْهِ “Dia tidak mengetahui apa yang terjadi kemudian” artinya, kata Al-Imam At-Thibi: “Dia tidak mengetahui apa yang akan terjatuh di ranjangnya berupa tanah, kotoran, atau serangga bila dia meninggalkannya.” (Fathul Bari, 11/144)
Ibnu Baththal mengatakan: “Di dalam hadits ini terdapat adab yang besar dan telah disebutkan hikmahnya dalam hadits, yaitu dikhawatirkan sebagian serangga yang berbahaya bermalam di tempat tidurnya dan mengganggunya.
Al-Qurthubi mengatakan: “Diambil faedah dari hadits ini bahwa sepantasnya bagi orang yang akan tidur untuk mengibas tempat tidurnya karena dikhawatirkan terdapat sesuatu yang basah tersembunyi atau selainnya.”
Ibnul ‘Arabi mengatakan: “Di dalam hadits ini terdapat peringatan dan (anjuran) agar seseorang mengetahui sebab-sebab tertolaknya taqdir yang jelek. Dan hadits ini sama dengan hadits: “Ikatlah ontamu kemudian bertawakkal.” (lihat Fathul Bari, 11/144)
TIDUR DI ATAS LAMBUNG SEBELAH KANAN
Kesempurnaan Islam adalah sebuah keistimewaan yang diberikan kepada umat Rasulullah n dan menunjukkan keutamaan mereka atas umat-umat terdahulu. Sungguh merugi bila akal, perasaan, adat istiadat, ajaran nenek moyang dijadikan sebagai hakim atas kesempurnaannya.
Segala perintah, larangan dan bimbingan yang ada di dalamnya adalah demi kemaslahatan manusia. Akan tetapi berapa banyak dari mereka yang mau menerima bimbingan? Yang ingkar lebih banyak daripada yang beriman, dan yang menentang lebih banyak daripada yang taat, dan yang menolak lebih banyak dari yang menerima.
Hikmah yang terkandung dalam bimbingan Rasulullah n untuk tidur di atas lambung kanan adalah lebih cepat untuk terjaga (bangun), jantung bergantung ke arah sebelah kanan sehingga tidak menjadi berat bila ketika tidur.
Ibnul Jauzi berkata: “Cara seperti ini sebagaimana telah dijelaskan ilmuwan-ilmuwan kedokteran sangat berfaedah bagi badan. Mereka mengatakan: ‘Mereka mengawali sesaat tidur di atas lambung sebelah kanan, kemudian di atas lambung sebelah kiri karena tertidur. (Dengan cara) pertama akan menurunkan makanan, dan tidur di atas lambung kiri akan menghancurkannya dan dikarenakan hati (terkait dengan pekerjaan) lambung.” (Lih. Fathul Bari, 11/115)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شِقِّكَ اْلأَيْمَنِ
“Lalu tidurlah di atas lambungmu yang kanan.” (HR. Al-Bukhari no. 6311 dan Muslim no. 2710)
MELETAKKAN TANGAN DI BAWAH PIPI
Tata cara ini dijelaskan oleh Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhuma:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَخَذَ مَضْجَعَهُ مِنَ اللَّيْلِ وَضَعَ يَدَهُ تَحْتَ خَدِّهِ
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila beliau tidur di malam hari, beliau meletakkan tangan beliau di bawah pipi.” (HR. Al-Bukhari no. 6314)
BERDOA SEBELUM TIDUR
كَانَ إِذَا أَخَذَ مَضْجَعَهُ قَالَ: اللَّهُمَّ بِاسْمِكَ أَحْيَا وَبِاسْمِكَ أَمُوتُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila akan tidur beliau berdoa: ‘Ya Allah, dengan menyebut nama-Mu aku hidup dan dengan menyebut namamu aku mati (tidur).” (HR. Muslim (no. 2711) dan Ahmad (no.17862) dari shahabat Al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu)
Dari shahabat Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhuma dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari (no.1324) dengan lafadz yang berbeda dengan lafadz Al-Imam Muslim:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَخَذَ مَضْجَعَهُ وَضَعَ يَدَهُ تَحْتَ خَدِّهِ ثُمَّ يُقُوْلُ: اللَّهُمَّ بِاسْمِكَ أَمُوْتُ وَأَحْيَا
Dan yang semakna dengan hadits ini diriwayatkan dari shahabat Abu Dzar radhiyallhu ‘anhu, dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari (no. 6325).)
MEMBACA DZIKIR-DZIKIR TIDUR
Dzikir-dzikir tidur yang ada dan shahih riwayatnya dari Rasulullah n sangatlah banyak, dan buku-buku yang ditulis dalam masalah ini bertebaran di tengah kaum muslimin. Di antara dzikir-dzikir tersebut adalah:
a. Membaca ayat-ayat perlindungan (Al-Ikhlash, Al-Falaq, An-Nash) dan meniup telapak tangan lalu mengusapkannya ke seluruh anggota tubuh.
Hal ini berdasarkan hadits yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَانَ إِذَا أَخَذَ مَضْجَعَهُ نَفَثَ فِي يَدَيْهِ وَقَرَأَ بِالْمُعَوِّذَاتِ وَمَسَحَ بِهِمَا جَسَدَهُ
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila beliau akan tidur beliau meniup kedua tangan beliau dan membaca mu’awwidzat (ayat-ayat perlindungan) lalu mengusap dengan itu seluruh jasadnya.” (HR. Al-Bukhari no. 6319, Muslim, Abu Dawud no. 5057, Ibnu Majah, dan Ahmad no. 23708 dari shahabat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha)
Apa yang dimaksud dengan ayat-ayat perlindungan? Dan bagaimana tatacaranya yang dipraktekkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Telah dijelaskan dalam riwayat Abu Dawud (no. 5057) tentang yang dimaksud dengan doa perlindungan dan tatacaranya, yaitu:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللهُ عَنْهَا، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَوَى إِلَى فِرَاشِهِ كُلَّ لَيْلَةٍ جَمَعَ كَفَّيْهِ ثُمَّ نَفَثَ فِيْهِمَا وَقَرَأَ فِيْهِمَا {قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ} وَ{قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ} وَ{قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ} ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا مَا اسْتَطَاعَ مِنْ جَسَدِهِ يَبْدَأُ بِهِمَا عَلَى رَأْسِهِ وَوَجْهِهِ وَمَا أَقْبَلَ مِنْ جَسَدِهِ، يَفْعَلُ ذَلِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ
“Dari ‘Aisyah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apabila menuju tempat pembaringan pada setiap malam, beliau menghimpun kedua telapak tangan beliau kemudian meniupnya dan membaca Qul Huwallahu Ahad (sampai dengan selesai satu surah-admin) dan Qul A’udzubirabbil Falaq (sampai dengan selesai satu surah-admin) dan Qul A’udzubi Rabbi An-Nas (sampai dengan selesai satu surah-admin) kemudian dia mengusap seluruh tubuh beliau, dan beliau memulai dari kepala kemudian wajah dan bagian depan jasad dan beliau lakukan hal itu tiga kali.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Shahih Sunan Abu Dawud no. 4228)
b. Membaca takbir, tahmid dan tasbih 33 kali.
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah mengatakan:
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ: حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنِ الْحَكَمِ: سَمِعْتُ ابْنَ أَبِي لَيْلَى قَالَ: حَدَّثَنَا عَلِيٌّ أَنَّ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلاَمُ شَكَتْ مَا تَلْقَى مِنْ أَثَرِ الرَّحَا فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبْيٌ. فَانْطَلَقَتْ فَلَمْ تَجِدْهُ فَوَجَدَتْ عَائِشَةَ فَأَخْبَرَتْهَا. فَلَمَّا جَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ عَائِشَةُ بِمَجِيءِ فَاطِمَةَ، فَجَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْنَا وَقَدْ أَخَذْنَا مَضَاجِعَنَا فَذَهَبْتُ لأَقُوْمَ فَقَالَ: عَلَى مَكَانِكُمَا. فَقَعَدَ بَيْنَنَا حَتَّى وَجَدْتُ بَرْدَ قَدَمَيْهِ عَلَى صَدْرِي، وَقَالَ: أَلاَ أُعَلِّمُكُمَا خَيْرًا مِمَّا سَأَلْتُمَانِي؟ إِذَا أَخَذْتُمَا مَضَاجِعَكُمَا تُكَبِّرَا أَرْبَعًا وَثَلاَثِيْنَ وَتُسَبِّحَا ثَلاَثًا وَثَلاَثِيْنَ وَتَحْمَدَا ثَلاَثًا وَثَلاَثِيْنَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمَا مِنْ خَادِمٍ
Muhammad bin Basysyar telah bercerita kepadaku: Ghundar telah menceritakan kepada kami: Syu’bah telah menceritakan kepada kami dari Al-Hakam: Aku telah mendengar Ibnu Abi Laila berkata: “‘Ali telah menceritakan kepadaku bahwa Fathimah mengeluhkan apa yang beliau dapati (berupa bekas pada tangan beliau) karena menumbuk (tepung). Kemudian dibawakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seorang tawanan dan aku segera mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi aku tidak menjumpainya dan beliau menjumpai ‘Aisyah lalu Fathimah menceritakan (hajatnya) kepada ‘Aisyah. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang, ‘Aisyah memberitahukan tentang kedatangan Fathimah kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi kami sedangkan kami telah tidur. Lalu aku berusaha bangun, beliau berkata: “Tetaplah kalian di tempat kalian.” Lalu beliau duduk di antara kami, dan aku (kata Fathimah) merasakan dingin kedua kaki beliau yang diletakkannya di atas dadaku dan beliau bersabda: “Maukah aku ajarkan kepada kalian sesuatu yang lebih baik dari apa yang kalian minta kepadaku yaitu bila kalian akan tidur bertakbirlah 34 kali, bertasbih 33 kali, dan bertahmid 33 kali lebih baik bagi kalian dari pada memiliki pembantu (budak).”
c. Membaca doa di bawah ini:
عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَوَى إِلَى فِرَاشِهِ نَامَ عَلَى شِقِّهِ اْلأَيْمَنِ ثُمَّ قَالَ: اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ نَفْسِي إِلَيْكَ وَوَجَّهْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ لاَ مَلْجَأَ وَلاَ مَنْجَا مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ. وَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ قَالَهُنَّ ثُمَّ مَاتَ تَحْتَ لَيْلَتِهِ مَاتَ عَلَى الْفِطْرَةِ
Dari Al-Bara` bin ‘Azib, berkata: Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila beliau menuju tempat pembaringan, beliau tidur di atas lambung sebelah kanan kemudian berdoa: “Ya Allah, aku serahkan diriku kepada-Mu dan aku hadapkan wajahku kepada-Mu dan aku serahkan semua urusanku kepada-Mu dan aku bentangkan punggungku di hadapan-Mu dengan penuh harapan dan rasa takut dari-Mu. Tidak ada tempat berlindung dan (meminta) keselamatan melainkan kepada-Mu, aku beriman kepada kitab yang Engkau telah turunkan dan Nabi yang Engkau telah utus”, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa mengatakannya lalu dia meninggal pada malam itu maka dia meninggal di atas fitrah.” (HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 6315 dan Muslim no. 2710)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا أَوَى أَحَدُكُمْ إِلَى فِرَاشِهِ فَلْيَنْفُضْ فِرَاشَهُ بِدَاخِلَةِ إِزَارِهِ فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِي مَا خَلَفَهُ عَلَيْهِ، ثُمَّ يَقُولُ بِاسْمِكَ رَبِّ وَضَعْتُ جَنْبِي وَبِكَ أَرْفَعُهُ إِنْ أَمْسَكْتَ نَفْسِي فَارْحَمْهَا وَإِنْ أَرْسَلْتَهَا فَاحْفَظْهَا بِمَا تَحْفَظُ بِهِ عِبَادَكَ الصَّالِحِيْنَ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Apabila salah seorang dari kalian menuju tempat tidurnya, hendaklah dia mengibasnya dengan bagian dalam kainnya, karena dia tidak mengetahui apa yang akan terjadi kemudian. Lalu dia berdoa: ‘Dengan menyebut nama-Mu wahai Rabb, aku meletakkan lambungku dan karena-Mu pula aku mengangkatnya dan jika Engkau mencabut ruhku maka rahmatilah dia, dan jika Engkau melepaskannya (untuk hidup) maka jagalah dia sebagaimana Engkau menjaga hamba-hamba-Mu yang shalih’.” (HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 6320 dan Muslim no. 2714, lafadz ini adalah lafadz Al-Bukhari)
Suhail mengatakan: “Dahulu Abu Shalih memerintahkan kami apabila seseorang di antara kami hendak tidur agar berbaring di atas sisi kanannya, lalu mengucapkan:
اللَّهُمَّ رَبَّ السَّمَاوَاتِ وَرَبَّ اْلأَرْضِ وَرَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ رَبَّنَا وَرَبَّ كُلِّ شَيْءٍ، فَالِقَ الْحَبِّ وَالنَّوَى وَمُنْزِلَ التَّوْرَاةَ وَاْلإِنْجِيْلَ وَالْفُرْقَانَ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ كُلِّ شَيْءٍ أَنْتَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهِ، اللَّهُمَّ أَنْتَ اْلأَوَّلُ فَلَيْسَ قَبْلَكَ شَيْءٌ وَأَنْتَ اْلآخِرُ فَلَيْسَ بَعْدَكَ شَيْءٌ وَأَنْتَ الظَّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَيْءٌ وَأَنْتَ الْبَاطِنُ فَلَيْسَ دُوْنَكَ شَيْءٌ، اقْضِ عَنَّا الدَّيْنَ وَأَغْنِنَا مِنَ الْفَقْرِ
“Ya Allah Rabb sekalian langit dan bumi dan Rabb ‘Arsy yang agung Rabb kami dan Rabb segala sesuatu, Allah yang menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Yang menurunkan Taurat, Injil dan Al-Qur`an, Aku berlindung dari kejahatan segala sesuatu yang Engkaulah yang menguasai ubun-ubunnya. Ya Allah engkaulah Al-Awwal yang tiada sesuatu sebelum-Mu, dan engkaulah Al-Akhir yang tiada sesuatu setelah-Mu, Engkaulah Yang Zhahir Yang tiada sesuatu di atas-Mu dan engkau Al-Bathin, tiada yang lebih dekat dari-Mu sesuatupun, lunasilah hutang kami dan cukupilah kami dari kefakiran.” Dan Abu Shalih meriwayatkan ini dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Shahih, HR. Muslim no. 2713)
Wallahu a’lam.
Catatan Kaki:
[1] Orang yang sangat membutuhkan dan bila dia tidak melakukannya niscaya akan binasa, seperti orang yang bepergian sementara bekalnya habis di perjalanan dan dia dalam keadaan sangat lapar yang dapat mengancam jiwanya (jika dibiarkan). Maka agama memperbolehkan memakan segala apa yang didapatinya seperti bangkai, darah, babi, anjing dan sebagainya untuk memenuhi kebutuhannya di saat itu saja. Ibnu Atsir di dalam kitab An-Nihayah (3/83) menjelaskan: “Sesungguhnya dihalalkannya bangkai bagi orang yang mudhthar hanyalah sebatas memakan apa yang akan menutup laparnya di pagi atau malam dan tidak boleh menjadikannya bekal antara keduanya (mempersiapkan di pagi hari sampai malam, pent.)
Sumber:
  1. Jadikan Istirahatmu Bernilai di Sisi Allah. Penulis : Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah An-Nawawi. http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=323.
  2. Sumber: Al-Awwal dan Al-Akhir. Sumber Bacaan: – Shifatullah Al-Waridah fil Kitabi was Sunnah – Syarh Al-Wasithiyyah, karya Ibnu ‘Utsaimin – Syarh Al-Wasithiyyah, karya Muhammad Al-Harras – Syarh An-Nuniyyah, karya Muhammad Al-Harras – Thariqul Hijratain, karya Ibnul Qayyim, – dll.Penulis : Al-Ustadz Qomar ZA, Lc. http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=431.

KITAB FADHAIL AL-A’MAL

 
Membicarakan Fadha’il Al-A’mal, kitab yang ditulis Muhammad Zakaria Al-Kandahlawi, tentu tidak bisa dilepaskan dari pembahasan sebuah kelompok shufiyyah yang para pengikutnya kini semakin menjamur di berbagai negara, termasuk Indonesia. Kelompok inilah yang dikenal dengan nama Jamaah Tabligh. Adanya hubungan yang erat di antara keduanya karena Jamaah Tabligh menjadikan kitab ini sebagai salah satu sandaran dalam mengamalkan rutinitas harian mereka, baik dibaca di beberapa waktu sehabis shalat fardhu atau menjadikannya sebagai ta’lim akhir malam sebelum tidur, tergantung kesempatan yang diberikan masjid setempat. Atau tergantung waktu yang memungkinkan bagi mereka untuk melakukannya secara rutin. Hal ini menunjukkan demikian pentingnya peranan kitab ini dalam membentuk fikrah dan akidah seorang tablighi (pengikut Jamaah Tabligh –red). Sebab, apa yang mereka dengarkan tentunya akan diupayakan untuk diwujudkan menjadi suatu amalan dalam berislam.

Sehingga kami memandang perlu untuk menjelaskan kepada umat tentang kedudukan kitab ini berdasarkan timbangan As-Sunnah dan memperingatkan mereka dari berbagai kesalahan dan penyimpangan yang terdapat dalam pembahasannya. Secara umum, kitab ini banyak memuat hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang lemah, palsu, bahkan tidak ada asalnya, dan banyak penukilan perkataan kaum shufi yang jika seseorang meyakini hal tersebut, dapat menjerumuskannya kepada kesesatan dan penyimpangan. Wal ‘iyadzu billah.

Asy-Syaikh Hamud bin Abdullah At-Tuwaijiri rahimahullah berkata dalam kitabnya Al-Qaulul Baligh Fit Tahdzir Min Jama’ah At-Tabligh (hal. 11-12): “Kitab terpenting bagi orang yang menjadi tablighiyyin adalah kitab Tablighi Nishab (Fadhail Al-A’mal), yang ditulis salah seorang pemimpin mereka bernama Muhammad Zakaria Al-Kandahlawi. Dan mereka memiliki perhatian demikian besar terhadap kitab ini dan mengagungkannya sebagaimana Ahlus Sunnah mengagungkan kitab Shahih (Al-Bukhari dan Muslim), dan kitab-kitab hadits lainnya. Para tablighiyyin telah menjadikan kitab kecil ini sebagai sandaran dan referensi baik bagi orang India, maupun bangsa ‘ajam (non Arab) lainnya yang mengikuti ajaran mereka. Dalam kitab ini termuat berbagai kesyirikan, bid’ah khurafat, serta banyak sekali hadits-hadits palsu dan lemah. Maka hakekatnya, ini merupakan kitab jahat, sesat, dan fitnah. Kaum tablighiyyin telah menjadikannya sebagai referensi untuk menyebarkan bid’ah dan kesesatannya, melariskan serta menghiasinya di hadapan kaum muslimin awam, sehingga mereka lebih sesat jalannya dari hewan ternak.” (Al-Qaulul Baligh, hal. 11-12)
Adapun secara rinci, maka pembahasan kami bagi menjadi beberapa sub bahasan:

Pertama: Al-Kandahlawi dan Takhrij Haditsnya

Sebagaimana yang telah kita sebutkan bahwa kitab ini banyak memuat hadits-hadits lemah, mungkar, palsu, bahkan tidak ada asalnya. Terkadang sebagian riwayat tersebut diketahui penulisnya. Namun sangat disayangkan, takhrij hadits itu tidak diterjemahkan ke dalam bahasanya, di mana kitab ini ditulis dalam bahasa Urdu (salah satu bahasa resmi di Asia Selatan, red.), kemudian dibaca mayoritas kaum muslimin yang tidak mengerti bahasa Arab. Mereka pun menganggap baik kitab ini dan menyangka bahwa semuanya boleh dijadi-kan sebagai hujjah. Selanjutnya mereka membaca lalu menjadikannya sebagai keyakinan. Maka terjerumuslah mereka dalam penyimpangan dan kesesatan. Demikian pula ketika kitab ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan Malaysia, tidak diterjemahkan takhrij haditsnya. Ini menyebabkan para tablighi dan simpatisannya (di Indonesia terutama, karena kebanyakan mereka berbekal semangat belaka tanpa ilmu bahasa arab yang memadai-admin) membaca kitab tersebut tanpa membedakan antara hadits-hadits yang bisa diterima dan yang tertolak. Berikut ini akan kami sebutkan beberapa contoh tentang apa yang kami sebutkan:

1. Disebutkan dalam kitab Fadha`il Al-A’mal, bab Fadhilah Adz-Dzikr (Hal. 497, versi Bahasa Indonesia, terbitan Ash-Shaff, Yogyakarta, Sya’ban tahun 1421 H. Dalam cetakan tersebut terdapat kekurangan dalam penukilan lafadz Arabnya, maka disempurnakan oleh penulis dari referensi lainnya) hadits dari ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَمَّا أَذْنَبَ آدَمُ الذَّنْبَ الَّذِي أَذْنَبَهُ، رَفَعَ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ فَقَالَ: أَسْأَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ. فَقَالَ: تَبَارَكَ اسْمُكَ لَمَّا خَلَقْتَنِي رَفَعْتُ رَأْسِي إِلَى عَرْشِكَ فَإِذَا فِيْهِ مَكْتُوبٌ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ، فَعَلِمْتُ أَنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ أَعْظَمَ عِنْدَكَ قَدْرًا عَمَّنْ جَعَلْتَ اسْمَهُ مَعَ اسْمِكَ. فَأَوْحَى اللهُ إِلَيْهِ: يَا آدَمُ إِنَّهُ آخِرُ النَّبِيِّيْنَ مِنْ ذُرِّيَّتِكَ وَلَوْ لاَ هُوَ مَا خَلَقْتُكَ
Ketika Adam telah berbuat dosa, ia pun mengangkat kepalanya ke atas langit kemudian berdoa: “Aku meminta kepada-Mu berkat wasilah Muhammad, ampunilah dosaku.” Maka Allah berfirman kepadanya: “Siapakah Muhammad (yang engkau maksud)?” Maka Adam menjawab: “Maha berkah nama-Mu ketika engkau menciptakan aku, akupun mengangkat kepalaku melihat Arsy-Mu, dan ternyata di situ tertulis: Laa ilaaha illallah Muhammadun Rasulullah. Maka akupun mengetahui bahwa tidak seorang pun yang lebih agung kedudukannya di sisi-Mu dari orang yang telah engkau jadikan namanya bersama dengan nama-Mu.” Maka Allah berfirman kepadanya: “Wahai Adam, sesungguhnya dia adalah Nabi terakhir dari keturunanmu, kalaulah bukan karena dia, niscaya Aku tidak akan menciptakanmu.”

Hadits ini diterjemahkan begitu saja tanpa menerjemahkan takhrij hadits yang disebutkan Al-Kandahlawi. Dia berkata setelah itu: “Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Ash-Shaghir, Al-Hakim, Abu Nu’aim, Al-Baihaqi yang keduanya dalam kitab Ad-Dala`il, Ibnu ‘Asakir dalam Ad-Durr, dan dalam Majma’ Az-Zawa`id (disebutkan): Diriwayatkan Ath-Thabrani dalam Al-Ausath dan Ash-Shaghir, dan dalam (sanad)-nya ada yang tidak aku kenal. Aku berkata: Dan dikuatkan yang lainnya berupa hadits yang masyhur: “Kalau bukan karena engkau, aku tidak menciptakan jagad raya ini”, Al-Qari berkata dalam Al-Maudhu’at: “Hadits ini palsu.”

Cobalah pembaca perhatikan. Hadits ini pada hakekatnya telah diketahui oleh penulisnya sebagai hadits yang tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, bahkan tidak dikuatkan dengan adanya jalan (sanad) lain. Namun ucapan ini tidak diterjemahkan, sehingga para pembaca kitab ini menyangka bahwa hadits ini termasuk hadits yang bisa diamalkan. Rincian kedudukan hadits ini bisa dilihat dalam kitab Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah (1/25) dan kitab At-Tawassul mulai hal. 105, dst. Kedua kitab tersebut karya Al-’Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, di mana beliau menghukumi hadits tersebut sebagai hadits palsu.

2. Disebutkan pula dalam kitab tersebut, pada bab yang sama (Hadits no. 32, hal. 503), hadits dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu menemui Nabi shallallahu ‘alaihi awasallam dalam keadaan bersedih. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi awasallam bertanya kepadanya, “Mengapa aku melihatmu bersedih?” Ia menjawab, “Wahai Rasulullah, semalam aku berada di sisi anak pamanku, si fulan yang telah meninggal dunia.” Maka Rasul bertanya, “Apakah engkau mentalqinnya dengan Laa ilaaha illallah?” Ia menjawab, “Telah kulakukan, wahai Rasulullah.” Beliau bertanya, “Ia mengucapkannya?” Ia menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Telah wajib baginya surga.” Abu Bakar bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika orang yang masih hidup mengucapkan kalimat itu?” Beliau bersabda, “Kalimat itu merontokkan dosa-dosa mereka. Kalimat itu merontokkan dosa-dosa mereka.”
Hadits ini pun disebutkan tanpa diterjemahkan takhrijnya, padahal Al-Kandahlawi mengomentari hadits tersebut dengan mengatakan: “Diriwayatkan Abu Ya’la, dalam sanadnya terdapat Za`idah bin Abi Raqqad, ditsiqahkan (dianggap terpercaya, red.) oleh Al-Qawariri, namun dilemahkan Al-Imam Al-Bukhari dan yang lainnya. Demikian yang terdapat dalam Majma’ Az-Zawa`id.”(Fadhilah Dzikr, hal 504.)

Perkataan ini tertulis dalam bahasa Arab, sehingga tidak pernah dibaca para pembacanya. Ditambahkan disini bahwa Al-Imam Al-Bukhari tidak hanya melemahkannya, bahkan menghukuminya: munkarul hadits. Dan bila Al-Imam Al-Bukhari menghukumi seorang rawi dengan hukum ini, maka maksudnya adalah tidak dihalalkan mengambil riwayat dari perawi tersebut, sebagaimana yang telah diriwayatkan Ibnul Qaththan bahwa Al-Imam Al-Bukhari berkata: “Semua yang aku tetapkan sebagai munkarul hadits maka tidak halal mengambil riwayat darinya.” (Mizanul I’tidal, 1/119, tarjamah Aban bin Jabalah Al-Kufi)

3. Disebutkan pula pada bab yang sama (Hal. 507, hadits ke-35) hadits Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa mengucapkan:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ أَحَدًا صَمَدًا لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
maka Allah akan menuliskan baginya 2.000.000 kebaikan.”
Hadits ini diterjemahkan pula maknanya tanpa menerjemahkan komentarnya yang mengatakan: “Diriwayatkan At-Thabrani, demikian dalam At-Targhib dan Majma’ Az-Zawa`id. Dalam sanadnya terdapat seorang rawi bernama Faid Abul Warqa, ia ditinggalkan haditsnya (matruk).”
Dan hal yang seperti ini (yakni penyebutan hadits tanpa takhrij yang telah ditulis oleh penulisnya sendiri yaitu Muhammad Zakaria Al-Kandahlawi-admin) sangat banyak kita dapatkan dalam kitab ini (yaitu terutama kitab terjemahannya di Indonesia dan Malaysia -admin).

Kedua: Hadits Lemah, Palsu dan bahkan Tidak Ada Asalnya

Di samping poin pertama yang kami sebutkan, di dalam kitab ini pun banyak sekali termuat hadits-hadits yang lemah, palsu, bahkan tidak ada asalnya dalam kitab-kitab sunnah, tanpa ada komentar sedikit pun. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang umatnya untuk meriwayatkan satu ucapan kemudian menisbahkannya kepada beliau tanpa ada penelitian tentang kebenaran riwayat tersebut, atau menukilkan pendapat para ulama yang dijadikan sebagai sandaran dalam menghukumi suatu riwayat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya dalam neraka.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan lainnya, diriwayatkan lebih dari seratus shahabat shallallahu ‘alaihi wasallam)
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukuplah seseorang dianggap berdusta dengan mengatakan segala yang didengarnya.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahih-nya)
Disebutkan oleh Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah ketika beliau menyebutkan beberapa hal yang menjadi kritikan atas Jamaah Tabligh: “Membacakan hadits-hadits yang lemah, palsu, dan tidak ada asalnya. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Hindarilah banyak memberitakan hadits dariku. Maka barangsiapa yang menisbahkan kepadaku, maka hendaklah mengucap-kan kebenaran atau kejujuran. Barangsiapa mengada-ada sesuatu atasku yang aku tidak ucapkan, maka hendaklah dia persiapkan tempat duduknya dalam neraka’. (HR. Al-Imam Ahmad, dari hadits Abu Qatadah) (Al-Makhraj minal Fitnah, hal. 96)

Dan berikut ini akan kami sebutkan pula beberapa contoh tentang hal ini:
1. Disebutkan dalam bab Fadhilah Shalat, hal. 288, hadits yang berbunyi: “Shalat akan membuat mulut setan menjadi hitam dan akan mematahkan punggungnya.” (Jami’us Shaghir)
Dalam kitab Al-Jami’ush Shagir berbunyi demikian, yang artinya: “Shalat itu menghitamkan wajah setan, dan sedekah itu akan mematahkan punggungnya.” Hadits ini merupakan hadits yang sangat lemah. Karena dalam sanadnya terdapat seorang rawi bernama Abdullah bin Muhammad bin Wahb Al-Hafizh. Ad-Daruquthni berkata tentangnya: “Matruk (ditinggalkan haditsnya).” Dan ada perawi lain bernama Zafir bin Sulaiman. Adz-Dzahabi berkata tentang dia: “Lemah sekali.” Dan hadits ini sangat dilemahkan oleh Al-Albani dalam Dha’if Al-Jami’ Ash-Shagir, no. 3560.

2. Disebutkan dalam bab Fadhilah Adz-Dzikr hal. 432, ia berkata: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda: “Berpikir sesaat lebih baik daripada beribadah enam puluh tahun.”
Padahal hadits ini adalah hadits palsu, sebagaimana telah diterangkan Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah, 1/173. Adapun riwayat yang shahih, dengan lafadz:
لَقِيَامُ رَجُلٍ فِي سَبِيْلِ اللهِ سَاعَةً أَفْضَلُ مِنْ عِبَادَةٍ سِتِّيْنَ سَنَةً
“Berdirinya seseorang di jalan Allah sesaat lebih afdhal dari beribadah selama enam puluh tahun.” Hadits ini dishahihkan Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 4/1901.
3. Demikian pula yang disebutkan dalam bab Fadhilah Al-Qur`an, hal. 644, bahwa barangsiapa mengkhatamkan Al-Qur`an di siang hari, maka malaikat akan mendoakannya hingga malam hari, dan barangsiapa yang menamatkannya di awal malam, maka para malaikat mendoakan-nya hingga pagi hari.

Padahal hadits inipun lemah, sebagaimana telah diterangkan Al-’Allamah Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah, 10/4591.

Ketiga: Membawa Pemahaman Kaum Shufiyyah
Kitab ini banyak sekali menukil afkar (pemikiran) kaum Shufiyyah yang dapat menjerumuskan kaum muslimin ke dalam berbagai penyimpangan yakni kerusakan aqidah, sikap ekstrim dalam beribadah, dan semisalnya. Oleh karenanya, sangatlah wajar jika kitab ini menjadi buku pegangan seorang tablighi, dikarenakan Jamaah Tabligh merupakan kelompok yang dibangun di atas empat tarekat shufiyyah: Naqsyabandiyyah, Jusytiyyah, Sahrawardiyyah, dan Qadiriyyah. (Al-Qaulul Baligh Fit Tahdzir min Jama’ah At-Tabligh, Hamud At-Tuwaijiri, hal. 11)

Berikut ini, akan kami nukilkan pula beberapa perkataan yang dinukilkan dari kaum Shufiyyah:
1. Disebutkan pada bab Fadhilah Shalat, hal. 316-317, Al-Kandahlawi berkata: Asy-Syaikh Abdul Wahid rah. a (demikian tertulis, maksudnya mungkin radhiallahu anhu, padahal tidak ada yang menjamin bahwa Allah meridhai seseorang kecuali yang sampaikan oleh Allah dan Rasul-Nya yaitu para shahabat radhiyallahu ‘anhum. Adapun selain mereka cukup didoakan rahimahullah atau hafizhahullah-red), seorang sufi yang masyhur, mengatakan bahwa pada suatu hari beliau didatangi rasa kantuk yang luar biasa, sehingga beliau tertidur sebelum menyelesaikan dzikir malam itu. Di dalam mimpinya beliau melihat seorang gadis berpakaian sutera hijau yang amat cantik sementara seluruh tubuh hingga kakinya sibuk berdzikir. Gadis tersebut bertanya kepada beliau, adakah keinginan beliau untuk memilikinya? Dia mencintai beliau, kemudian dibacanya beberapa bait syair. Setelah bangun dari tidurnya, beliau bersumpah bahwa beliau tidak akan tidur pada malam hari. Diriwayatkan bahwa selama 40 tahun beliau shalat shubuh dengan wudhu shalat ‘Isya.
Dalam kisah ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

Pertama: Bahwa Allah subhanahu wata’ala telah melarang kita untuk berbuat ghuluw (berlebih-lebihan) dalam beribadah, dan memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya sesuai dengan kemampuan. Sehingga, agama ini menghendaki agar seorang muslim mengerjakan ibadah tersebut dalam keadaan nasyath (giat), sehingga mampu mengerjakan ibadah tersebut dalam keadaan khusyu’ dan sesempurna mungkin. Dan apabila ia dalam keadaan mengantuk, maka dianjurkan baginya beristirahat hingga rasa kantuk tersebut hilang.
Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memasuki masjid, ternyata ada sebuah tali yang terbentang di antara dua tiang, lalu beliau bertanya, “Tali apa ini?” Mereka menjawab, “Tali ini milik Zainab [1], jika ia lesu (berdiri untuk shalat), diapun bergantung dengannya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Lepaskan (tali) itu. Hendaklah salah seorang kalian shalat di saat giatnya. Jika ia lesu, maka hendaklah ia tidur.”
Demikian pula yang diriwayatkan dari hadits Aisyah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ يُصَلِّي فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبَ عَنْهُ النَّوْمُ، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا صَلَّى وَهُوَ نَاعِسٌ لاَ يَدْرِي لَعَلَّهُ يَذْهَبُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبُّ نَفْسَهُ
“Jika salah seorang kalian dalam keadaan mengantuk, sementara dia shalat. Maka hendaklah ia tidur sampai hilang rasa kantuknya. Karena sesungguhnya jika salah seorang kalian shalat dalam keadaan mengantuk, dia tidak mengetahui. Jangan sampai dia hendak beristighfar lalu tanpa sadar ia mencerca dirinya sendiri.” (Muttafaq ‘Alaihi)
Kedua: Bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan di antara petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam melaksanakan shalat malam adalah apa yang beliau sebutkan dalam haditsnya, yang diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللهِ صِيَامُ دَاوُدَ وَكَانَ يَصُوْمُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا، وَأَحَبُّ الصَّلاَةِ إِلَى اللهِ صَلاَةُ دَاوُدَ كَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُوْمُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ
“Puasa yang paling dicintai Allah adalah puasa Dawud ‘alaihissalam. Beliau berpuasa sehari dan berbuka sehari. Dan shalat yang paling dicintai Allah adalah shalat Dawud ‘alaihissalam, beliau tidur di pertengahan malam, bangun di sepertiga malam, dan tidur seperenam malam.” (Muttafaqun ‘alaihi)
2. Disebutkan pula dalam kitab ini, hal. 484 dari Syaikh Waliullah yang berkata dalam kitab Qaulul Jamil: “Ayah saya telah berkata bahwa ketika saya baru belajar suluk, dalam satu nafas dianjurkan supaya membaca Laa ilaaha illallah sebanyak dua ratus kali,” Syaikh Abu Yazid Qurtubhi berkata: “Saya mendengar bahwa barang-siapa membaca kalimat Laa ilaaha illallah sebanyak 70.000 kali, ia akan terbebas dari api neraka. Setelah mendengar hal itu, saya membaca untuk istri saya sesuai dengan nishab (nishab artinya bahagian -red) tersebut. Tidak lupa, saya juga membaca untuk nishab diri saya sendiri. Di dekat saya, tinggal seorang pemuda yang terkenal sebagai ahli kasyaf (adalah seseorang yang mampu melihat segala hal ghaib, karena hijab telah diangkat darinya. 

Begitulah anggapan mereka, namun hakekatnya semua itu adalah bohong belaka -red). Dia juga kasyaf tentang surga dan neraka. Namun saya agak meragukan kebenarannya. Pada suatu ketika, pemuda tersebut ikut makan bersama kami. Tiba-tiba ia berkata dan meminta kepada saya sambil berteriak, katanya: “Ibu saya masuk neraka, dan telah saya saksikan keadaannya.” Karena melihat kegelisahan pemuda tersebut, saya berpikir untuk membacakan baginya satu nishab bacaan saya untuk menyelamatkan ibunya, di samping juga untuk mengetahui kebenaran mengenai kasyaf-nya. Maka, saya membacanya sebanyak 70.000 kali sebagai nishab yang saya baca untuk diri saya itu, guna saya hadiahkan kepada ibunya. Saya meyakini dalam hati bahwa ibunya pasti selamat. Tidak ada yang mendengar niat saya ini kecuali Allah k. Setelah beberapa waktu, pemuda tersebut berteriak, “Wahai paman, wahai paman, ibu saya telah bebas dari api neraka.” Dari pengalaman itu, saya memperoleh dua manfaat: Pertama, saya menjadi yakin tentang keutamaan membaca Laa ilaaha illallah sebanyak 70.000 kali, karena sudah terbukti kebenarannya. Kedua, saya menjadi yakin bahwa pemuda tersebut benar-benar seorang ahli kasyaf.”

Cobalah perhatikan kisah ini. Jika seorang muslim membaca dan meyakini cerita khurafat ini, maka dia akan terjatuh ke dalam berbagai penyimpangan, di antaranya:

Pertama: Menetapkan wirid tertentu dengan bilangan yang telah ditetapkan, lalu menyebutkan keutamaannya, yang semuanya tidak bersumber dari pembawa syariat: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan ini jelas merupakan bid’ah yang jahat dan menyesatkan. (silahkan baca kembali Majalah Asy-Syari’ah Vol. I/No. 07/1425 H/2004, Bid’ahnya Dzikir Berjamaah)

Kedua: Apa yang disebut sebagai ahli kasyaf adalah dusta belaka. Karena tidak seorang pun yang dapat mengetahui nasib seseorang di akhirat, apakah dia pasti masuk ke dalam surga ataukah neraka, kecuali yang dikabarkan Allah subhanahu wata’ala kepada hamba yang dikehendaki-Nya dari kalangan para rasul-Nya. Firman-Nya:
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلىَ غَيْبِهِ أَحَدًا. إِلاَّ مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُوْلٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا
“(Dialah) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (Al-Jin: 26-27)
Dan penukilan-penukilan yang seperti ini banyak sekali terdapat dalam kitab Fadha`il Al-A’mal, karya Muhammad Zakaria tersebut. Sehingga, hendaklah kaum muslimin berhati-hati dari kitab ini, dan mencari kitab-kitab yang jauh lebih selamat, yang bisa mengantarkan seseorang untuk mengamalkan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti kitab Shahih Al-Bukhari pada kitab Ar-Raqa‘iq, Al-Adab, dan yang semisalnya. Demikian pula Shahih Muslim pada kitab Ad-Dzikr dan Al-Bir Wash-Shilah Wal-Adab, dan kitab-kitab sunnah yang lainnya. Atau seperti Riyadhus Shalihin, karya Al-Imam An-Nawawi, Al-Kalim Ath-Thayyib, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (yang keduanya telah ditakhrij dan ditahqiq hadits-haditsnya oleh Al-’Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah), dan masih banyak lagi kitab-kitab sunnah yang jauh lebih baik dan selamat dari berbagai penyimpangan.

Wallahu a’lam.

_________________
[1] Terjadi silang pendapat tentang Zaenab yang dimaksud dalam hadits ini. Ada yang mengatakan Zaenab bintu Jahsy, salah seorang Ummul Mukminin. Ada pula yang mengatakan Hamnah bintu Jahsy, yang memiliki nama lain Zaenab. Karena semua anak perempuan Jahsy dipanggil dengan nama Zainab. (Dalil Al-Falihin, 1/287)

Sumber: 
Kitab Fadha`il Al-A’mal dalam Timbangan As-Sunnah. Penulis : Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi. http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=326.

PERBEDAAN ANGAN-ANGAN DAN HARAPAN

Ketika seseorang mengharapkan sesuatu, dia harus mengetahui bahwa harapannya itu akan berkonsekuensi pada tiga hal:

1. Mencintai apa yang ia harapkan.
2. Ia merasa khawatir tidak mendapatkan apa yang ia harapkan.
3. Ia berusaha untuk mendapatkan apa yang diharapkan dengan segala kemampuannya.

Harapan yang tidak disertai satupun dari tiga hal di atas maka itu hanya angan-angan belaka. Harapan dan angan-angan adalah dua perkara yang berbeda. Setiap orang yang mengharapkan sesuatu maka pada dirinya akan muncul perasaan takut kehilangan apa yang ia harapkan, akan berusaha menempuh jalan untuk mendapatkan apa yang ia harapkan. Bila takut kehilangan apa yang ia harapkan maka ia akan segera berupaya agar tidak terluputkan dari apa yang ia harapkan.
Dalam Jami’ At-Tirmidzi disebutkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ خَافَ أَدْلَجَ، وَمَنْ أَدْلَجَ بَلَغَ الْمَنْزِلَ، أَلاَ إِنَّ سِلْعَةَ اللهِ غَالِيَةٌ، أَلاَ إِنَّ سِلْعَةَ اللهِ الْجَنَّةُ
“Barangsiapa khawatir disergap musuh di waktu sahur, dia akan menghindarkan diri sejak awal malam. Barangsiapa yang berusaha menyelamatkan dirinya sejak awal, ia akan sampai kepada tempat tinggalnya. Ketahuilah, sesungguhnya barang dagangan Allah itu mahal. Ketahuilah, barang dagangan Allah itu adalah surga.”
Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi harapan kepada orang-orang yang mengerjakan amal shalih, demikian pula Ia memberi rasa takut kepada mereka. Maka ketahuilah bahwa harapan dan rasa takut yang bermanfaat adalah yang disertai amal shalih. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِيْنَ هُمْ مِنْ خَشْيَةِ رَبِّهِمْ مُشْفِقُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ بِآيَاتِ رَبِّهِمْ يُؤْمِنُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ بِرَبِّهِمْ لاَ يُشْرِكُوْنَ. وَالَّذِيْنَ يُؤْتُوْنَ مَا آتَوْا وَقُلُوْبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُوْنَ. أُولَئِكَ يُسَارِعُوْنَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (adzab) Rabb mereka. Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Rabb mereka. Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Rabb mereka (sesuatu apapun). Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka. Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (Al-Mukminun: 57-61)
Al-Imam At-Tirmidzi dalam Jami’-nya menyebutkan hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai ayat ini. Aku berkata: “Apakah mereka adalah orang yang meminum minuman keras, berzina, dan mencuri?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
لاَ يَا بِنْتَ الصِّدِّيْقِ، وَلَكِنَّهُمُ الَّذِيْنَ يَصُوْمُوْنَ وَيُصَلُّوْنَ وَيَتَصَدَّقُوْنَ، وَيَخَافُوْنَ أَنْ لاَ تُتَقَبَّلَ مِنْهُمْ، أُولَئِكَ يُسَارِعُوْنَ فِي الْخَيْرَاتِ
“Tidak wahai putri Ash-Shiddiq. Mereka adalah orang-orang yang berpuasa, shalat, bersedekah. Namun mereka khawatir kalau amalan yang mereka lakukan itu tidak diterima oleh Allah. Mereka itu orang yang sebenarnya berlomba-lomba berbuat amal kebaikan.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan sifat orang-orang yang bahagia dengan ihsan (berbuat baik) yang disertai khauf (khawatir). Sebaliknya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan sifat orang-orang yang sengsara dengan berbuat keburukan yang disertai perasaan aman.

Sumber: 
Perbedaan Angan-angan dan Harapan. Penulis : Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Diambil dari Ad-Da`u wad Dawa` karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah hal. 46, diterjemahkan oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Jabbar. http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=450.

PERBEDAAN ANGAN-ANGAN DAN HARAPAN

Ketika seseorang mengharapkan sesuatu, dia harus mengetahui bahwa harapannya itu akan berkonsekuensi pada tiga hal:

1. Mencintai apa yang ia harapkan.
2. Ia merasa khawatir tidak mendapatkan apa yang ia harapkan.
3. Ia berusaha untuk mendapatkan apa yang diharapkan dengan segala kemampuannya.

Harapan yang tidak disertai satupun dari tiga hal di atas maka itu hanya angan-angan belaka. Harapan dan angan-angan adalah dua perkara yang berbeda. Setiap orang yang mengharapkan sesuatu maka pada dirinya akan muncul perasaan takut kehilangan apa yang ia harapkan, akan berusaha menempuh jalan untuk mendapatkan apa yang ia harapkan. Bila takut kehilangan apa yang ia harapkan maka ia akan segera berupaya agar tidak terluputkan dari apa yang ia harapkan.
Dalam Jami’ At-Tirmidzi disebutkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ خَافَ أَدْلَجَ، وَمَنْ أَدْلَجَ بَلَغَ الْمَنْزِلَ، أَلاَ إِنَّ سِلْعَةَ اللهِ غَالِيَةٌ، أَلاَ إِنَّ سِلْعَةَ اللهِ الْجَنَّةُ
“Barangsiapa khawatir disergap musuh di waktu sahur, dia akan menghindarkan diri sejak awal malam. Barangsiapa yang berusaha menyelamatkan dirinya sejak awal, ia akan sampai kepada tempat tinggalnya. Ketahuilah, sesungguhnya barang dagangan Allah itu mahal. Ketahuilah, barang dagangan Allah itu adalah surga.”
Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi harapan kepada orang-orang yang mengerjakan amal shalih, demikian pula Ia memberi rasa takut kepada mereka. Maka ketahuilah bahwa harapan dan rasa takut yang bermanfaat adalah yang disertai amal shalih. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِيْنَ هُمْ مِنْ خَشْيَةِ رَبِّهِمْ مُشْفِقُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ بِآيَاتِ رَبِّهِمْ يُؤْمِنُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ بِرَبِّهِمْ لاَ يُشْرِكُوْنَ. وَالَّذِيْنَ يُؤْتُوْنَ مَا آتَوْا وَقُلُوْبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُوْنَ. أُولَئِكَ يُسَارِعُوْنَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (adzab) Rabb mereka. Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Rabb mereka. Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Rabb mereka (sesuatu apapun). Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka. Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (Al-Mukminun: 57-61)
Al-Imam At-Tirmidzi dalam Jami’-nya menyebutkan hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai ayat ini. Aku berkata: “Apakah mereka adalah orang yang meminum minuman keras, berzina, dan mencuri?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
لاَ يَا بِنْتَ الصِّدِّيْقِ، وَلَكِنَّهُمُ الَّذِيْنَ يَصُوْمُوْنَ وَيُصَلُّوْنَ وَيَتَصَدَّقُوْنَ، وَيَخَافُوْنَ أَنْ لاَ تُتَقَبَّلَ مِنْهُمْ، أُولَئِكَ يُسَارِعُوْنَ فِي الْخَيْرَاتِ
“Tidak wahai putri Ash-Shiddiq. Mereka adalah orang-orang yang berpuasa, shalat, bersedekah. Namun mereka khawatir kalau amalan yang mereka lakukan itu tidak diterima oleh Allah. Mereka itu orang yang sebenarnya berlomba-lomba berbuat amal kebaikan.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan sifat orang-orang yang bahagia dengan ihsan (berbuat baik) yang disertai khauf (khawatir). Sebaliknya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan sifat orang-orang yang sengsara dengan berbuat keburukan yang disertai perasaan aman.

Sumber: 
Perbedaan Angan-angan dan Harapan. Penulis : Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Diambil dari Ad-Da`u wad Dawa` karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah hal. 46, diterjemahkan oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Jabbar. http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=450.

SHALAT MALAM / TAHAJUD / TARAWIH DAN WITIR

Risalah dibawah ini merupakan kompilasi permasalah seputar shalat malam dan shalat tarawih dari berbaagai artikel dan rujukan utama dari risalah Tuntunan Qiyamul Lail dan Sholat Tarawih yang disusun Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sanusi Al-Atsary hafizhahullah (download disini). Adapun pembahasan yang sangat panjang disini meliputi:
  • Definisi Qiyamul Lail dan sholat Tarawih
  • Fadhilah dan Keutamaan Qiyamul Lail dan Sholat Tarwih
  • Syari’at Sholat Tarawih Secara Berjama’ah dan Keutamaannya
  • Sholat Qiyamul Lail Berjama’ah di Masjid hanya untuk Sholat Tarawih
  • Hukum Sholat Tarawih
  • Hukum Sholat Witir
  • Waktu Sholat Lail dan Sholat Tarawih
  • Waktu Yang Afdhol (Paling Utama) Dalam Pelaksanaan Qiyam
  • Jumlah Raka’at Sholat Tarawih
  • Jumlah Raka’at Sholat Witir
  • Beberapa Kaifiyat Pelaksanaan Witir Dan Tarawih
  • Bacaan Dalam Sholat Tarawih Dan Witir
  • Beberapa Hukum Dan Masalah Berkaitan Dengan Pembahasan

DEFINISI QIYAMUL LAIL DAN SHALAT TARAWIH
Secara umum sholat di malam hari setelah sholat ‘Isya sampai subuh disebut Qiyamul Lail. Di dalam Al-Qur`an Al-Karim, Allah Subhanahu berfirman :
“Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Qur’an itu dengan perlahan-lahan.” (QS. Al-Muzzammil : 1-4)
Dan sholat di malam hari juga disebut sholat Tahajjud. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :
“Dan pada sebahagian malam hari bertahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.”. (QS. Al-Isra` : 79)
Tahajjud secara bahasa adalah bermakna membuang tidur. Berkata Imam Ath-Thobary :“Tahajjud adalah begadang setelah tidur” kemudian beliau membawakan beberapa nukilan dari ulama Salaf tentang hal tersebut.
Adapun sholat Tarawih, definisinya adalah Qiyamul Lail secara berjama’ah di malam Ramadhan (Syarh Shahih Muslim, 6/39 dan Fathul Bari, 4/294). Menurut keterangan Al-Hafizh Ibnu Hajar dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dinamakan Tarawih –yang dia merupakan kata jamak dari تَرْوِيْحَةٌ yang bermakna ditebalkan, yang berarti waktu sesaat untuk istirahat.(Lisanul ‘Arab, 2/462 dan Fathul Bari, 4/294) – dikarenakan pada awal kali pelaksanaannya orang-orang memperpanjang berdiri, rukuk dan sujud, apabila telah selesai empat raka’at dengan dua kali salam maka mereka beristirahat kemudian sholat empat raka’at dengan dua kali salam lalu beristirahat kemudian sholat tiga raka’at sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
ما كان يزيد في رمضان ولا في غيره على إحدى عشرة ركعة، يصلي أربعا فلا تسل عن حسنهن وطولهن، ثم يصلي أربعا فلا تسل عن حسنهن وطولهن، ثم يصلي ثلاثا
“Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidaklah menambah pada (bulan) Ramadhan dan tidak pula pada selain Ramadhan lebih dari 11 raka’at. Beliau sholat 4 (raka’at) jangan kamu tanya tentang baiknya dan panjangnya, kemudian beliau sholat 4 (raka’at) jangan kamu tanya tentang baiknya dan panjangnya kemudian beliau sholat 3 (raka’at)”.
Dan perlu diketahui bahwa penamaan sholat lail di malam Ramadhan dengan nama Tarawih adalah penamaan yang sudah lama dan di kenal dikalangan para Ulama tanpa ada yang mengingkari. Perhatikan bagaimana Imam Al-Bukhary (Wafat tahun 256 H) dalam Shohih-nya menulis kitab khusus dengan judul Kitab Sholat At-Tarawih dan demikian pula Muhammad bin Nashr Al-Marwazy (Wafat tahun 294 H) dalam Mukhtashor Qiyamul Lail. Demikian pula disebut oleh para Ulama lainnya, abad demi abad tanpa ada yang mengingkarinya.
Karena itu alangkah sedikit pemahaman agama sebahagian orang di zaman ini yang mengingkari penamaan sholat lail di malam Ramadhan dengan nama sholat Tarawih, dan lebih menakjubkan lagi, ada sebahagian orang tanpa rasa malu menganggap bahwa sholat Tarawih adalah bid’ah. Nas`alullaha As-Salamata Wal ‘Afiyah.
Baca : Fathul Bari 3/3, 4/250, Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah karya Syaikh Ibnu Baz 11/317-318, Asy-Syarh Al-Mumti’ 4/12-13 dan Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Syaikh Ibnu ‘Utsaimin 14/210.
FADILAH / KEUTAMAAN QIYAMUL LAIL DAN SHALAT TARAWIH
Secara umum Qiyamul lail adalah perkara yang sangat dianjurkan dalam syari’at Islam. Berikut ini beberapa dalil selain dari beberapa ayat yang telah disebutkan di atas :
1. Ciri orang yang bertakwa dan beriman kepada Allah ta’ala
Allah Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman terhadap ayat-ayat Kami, adalah orang-orang yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat (Kami), mereka menyungkur sujud dan bertasbih serta memuji Tuhannya, sedang mereka tidak menyombongkan diri. Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdo`a kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. As-Sajadah : 15-16)
Dan Allah Jalla Tsana`uhu menjelaskan diantara sifat hamba-Nya :
وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا
“Dan orang-orang yang menghabiskan waktu malamnya dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka.” (QS. Al-Furqan : 64)
Dan Allah berfirman :
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ * آَخِذِينَ مَا آَتَاهُمْ رَبُّهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ * كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ * وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ *
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik; Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (QS. Adz-Dzariyat : 15-17)
Dalam hadits ‘Amr bin ‘Abasah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Sedekat-dekat keberadaan Allah terhadap seorang hamba adalah para pertengahan malam terakhir. Maka kalau engkau mampu termasuk dari orang mengingat Allah pada saat itu maka hendaknya engkau termasuk (darinya)” (HR. At-Tirmidzy 5/569/3578, An-Nasa`i 1/279, Ibnu Khuzaimah 1/182/1147, Al-Hakim 1/453, Al-Baihaqy 3/4 dan dishohihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ Ash-Shohih 2/171)
2. Sholat yang paling utama setelah shalat fardhu
Dan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
…أفضل الصلاة بعد الفريضة صلاة الليل
“Seutama-utama puasa setelah (puasa) Ramadhan adalah (puasa) Bulan Allah Muharram dan seutama-utama sholat setelah (sholat) fardhu adalah sholat lail.”
3. sholat lail termasuk penyebab seseorang terhindar dari fitnah,
Sebagaimana dalam hadits Ummu Salamah riwayat Al-Bukhary :
“Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam terbangun pada suatu malam lalu beliau bersabda : “Subhanallah, apa yang diturunkan malam ini berupa fitnah dan apa yang dibuka dari berbagai
perbendaharaan, bangunkanlah (para perempuan) pemilik kamar karena kadang (perempuan) berpakaian di dunia tetapi telanjang di akhirat”.”
4. Ciri orang yang bersyukur dan mendapat rahmat Allah
Dan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata :
“Sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam melakukan Qiyamul lail sampai pecah-pecah kedua kaki beliau maka saya bertanya : “Mengapa engkau melakukan ini wahai Rasulullah padahal Allah telah mengampuni apa telah berlalu dari dosamu dan apa yang akan datang?” maka beliau menjawab : “Tidakkah saya cinta untuk menjadi hamba yang bersyukur”.”
Dan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Allah merahmati seorang lelaki yang terbangun di malam hari lalu sholat dan membangunkan istrinya, kalau dia enggan maka ia memercikkan air ke wajahnya. Allah merahmati seorang perempuan bangun di malam hari lalu sholat dan membangunkan suaminya, kalau dia enggan maka ia memercikkan air ke wajahnya.” (HR. Abu Daud no. 1308, 1450, An-Nasa`i 3/205, Ibnu Majah no. 1336, Ibnu Khuzaimah 2/183/1148, Ibnu Hibban 6/306/2567 -Al-Ihsan-, Al-Hakim 1/453 dan Al-Baihaqy 2/501. Dan dishohihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ Ash-Shohih 2/172)
5. Keutamaan Qiyamul Lail di malam Ramadhan
Dan khusus tentang sholat lail di malam Ramadhan, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam telah menjelaskan keutamaannya dalam sabdanya :
من قام رضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
“Siapa yang Qiyam Ramadhan (berdiri sholat di malam Ramadhan) dengan keimanan dan mengharap pahala maka telah diampuni apa yang telah lalu dari dosanya” (HR. Al-Bukhary dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.)
Berkata Imam An-Nawawy dalam Syarah Muslim 6/38 : “Yang dimaksud dengan Qiyam Ramadhan adalah sholat Tarawih”. Bahkan Al-Kirmany menukil kesepakatan bahwa yang dimaksud dengan Qiyam Ramadhan dalam hadits di atas adalah sholat Tarawih. Namun nukilan kesepakatan dari Al-Kirmany dianggap aneh oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar karena kapan Qiyamul lail dilakukan di malam Ramadhan dengan berjama’ah (Tarawih) atau tanpa berjama’ah maka telah tercapai apa yang diinginkan. Demikian makna keterangan beliau dalam Fathul Bari 4/251.
Ketika Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menafsirkan qiyamu Ramadhan dengan shalat tarawih (hadits di atas-admin) maka Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah memperjelas kembali tentang hal tersebut: “Maksudnya bahwa qiyamu Ramadhan dapat diperoleh dengan melaksanakan shalat tarawih dan bukanlah yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan hanya diperoleh dengan melaksanakan shalat tarawih saja (dan meniadakan amalan lainnya).” (Fathul Bari, 4/295)
Dan dalam hadits ‘Amr bin Murrah Al-Juhany radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata :
“Datang kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam seorang lelaki dari Qudho’ah lalu berkata : “Wahai Rasulullah, bagaimana menurut engkau andaikata saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah dan engkau rasul Allah, saya sholat lima waktu, saya puasa bulan (Ramadhan), saya melakukan Qiyam Ramadhan dan saya mengeluarkan zakat?. Maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : “Siapa yang meninggal di atas hal ini maka ia termasuk dari para shiddiqin dan orang-orang yang mati syahid”.” (HR. Al-Bazzar, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no. 989. Berkata Syaikh Al-Albany dalam Qiyam Ramadhan hal. 18 : “Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam Ash-Shohih mereka berdua dan juga diriwayatkan oleh selain keduanya dengan sanad yang shohih”.)
Dan tentang malam Lailatul Qadri, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Siapa yang berdiri (sholat) malam lailatul qadri dengan keimanan dan mengharap pahala maka telah diampuni apa yang telah lalu dari dosanya” (HR. Al-Bukhary dan Muslim dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu.)
SYARI’AT SHALAT TARAWIH SECARA BERJAMA’AH DAN KEUTAMAANNYA
Ada beberapa hadits yang menunjukkan akan disyari’atkannya pelaksanaan sholat Tarawih secara berjama’ah. Di antara hadits-hadits itu adalah sebagai berikut :
Dari Abu Dzar Al-Ghifary radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata :
“Kami berpuasa Ramadhan bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan beliau tidak berdiri (sholat lail) bersama kami sedikitpun dari bulan itu kecuali setelah tersisa 7 hari. (yakni malam ke-23) Kemudian beliau berdiri (mengimami) kami sampai berlalu 1/3 malam. Dan ketika malam ke-6 (dari malam yang tersisa, yakni malam ke-24-pent.) beliau tidak berdiri (mengimami) kami. Kemudian saat malam ke-5 (dari malam yang tersisa, yakni malam ke-25-pent.) beliau berdiri (mengimami) kami sampai berlalu 1/2 malam. Maka berkata : “Wahai Rasulullah, andaikata engkau menjadikan nafilah untuk kami Qiyam malam ini,” maka beliau bersabda :
إن الرجل إذا صلى مع الإمام حتى ينصرف حسب له قيام ليلة
“Sesungguhnya seorang lelaki apabila ia sholat bersama imam sampai selesai maka terhitung baginya Qiyam satu malam”.
Dan ketika malam ke-4 (dari malam yang tersisa, yakni malam ke-26-pent.) beliau tidak berdiri (mengimami) kami. Dan saat malam ke-3 (dari malam yang tersisa, yakni malam ke-27-pent.) beliau mengumpulkan keluarnya, para istrinya dan manusia lalu beliau berdiri (mengimami) kami sampai kami khawatir ketinggalan Al-Falah. Saya –rawi dari Abu Dzar- bertanya : “Apakah Al-Falah itu?” (Abu Dzar menjawab : “Waktu sahur”. Kemudian beliau tidak berdiri lagi (mengimami) kami pada sisa bulan (yakni malam ke-28 dan ke-29, red).” (HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nasa`i, Ibnu Majah dan lain-lainnya. Dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Irwa`ul Gholil 2/193/447, Shahih Sunan Abi Dawud 1/380, dan dalam Shalatut Tarawih hal. 16-17, Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ Ash-Shohih 2/175.)
Berkenaan dengan hadits di atas, Al-Imam Ibnu Qudamah mengatakan: “Dan hadits ini (yakni keutamaan shalat berjama’ah sehingga dicatat baginya shalat satu malam-red) adalah khusus pada qiyamu Ramadhan (tarawih).” (Al-Mughni, 2/606)
Al-Mubarkfuri rahimahullah mengatakan : Dalam hadits ini menunjukkan pastinya pensyari’atan shalat tarawih secara berjama’ah di masjid. (Tuhfatul Ahwadzi III/437)
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah mengatakan : ” … hadits ini sangat jelas menunjukkan keutamaan shalat qiyam Ramadhan (Tarawih) bersama imam (yakni secara berjama’ah) …”
Dan Abu Tholhah Nu’aim bin Ziyad, beliau berkata : Saya mendengar Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma di mimbar Himsh, beliau berkata :
“Kami berdiri (sholat) bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam di bulan Ramadhan pada malam 23 sampai sepertiga malam pertama, kemudian kami berdiri (sholat) bersama beliau pada malam 25 sampai seperdua malam, kemudian kami berdiri (sholat) bersama beliau pada malam 27 sampai kami menyangka tidak mendapati Al-Falah yang mereka namakan untuk waktu sahur” (HR. Ibnu Abi Syaibah 2/394, Ahmad 4/272, An-Nasa`i 3/203, Ibnu Khuzaimah 3/336/2204 dan Al-Hakim 1/607. Dan dihasankan oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ Ash-Shohih 2/174.)
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata :
“Sesungguhnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam keluar di kegelapan malam lalu beliau sholat di masjid maka sekelompok orang sholat mengikuti sholat beliau. Kemudian manusia di pagi harinya membicarakan tentang hal tersebut maka berkumpullah lebih banyak dari mereka, maka keluarlah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam pada malam kedua lalu merekapun sholat mengikuti sholat beliau. Di waktu paginya manusia membicarakan hal tersebut sehingga menjadi banyaklah yang hadir di masjid pada malam ketiga, lalu beliau keluar dan mereka sholat mengikuti sholat beliau. Begitu malam yang keempat masjid tidak mampu menampung penduduknya. Akan tetapi Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidak keluar kepada mereka sampai sekelompok orang dari mereka berteriak : “Sholat” namun Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidak keluar kepada mereka sampai beliau keluar untuk sholat subuh. Tatkala beliau menyelesaikan (sholat) subuh, beliau menghadap kepada manusia kemudian beliau tasyahhud lalu berkata : “Amma Ba’du, sesungguhnya keadaan kalian malam ini tidak luput dari pemantauanku, akan tetapi aku khawatir akan diwajibkannya atas kalian sholat lail kemudian kalianpun tidak sanggup terhadapnya’.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim dan lafazh hadits bagi Imam Muslim)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini terkandung bolehnya shalat nafilah (sunnah) secara berjamaah akan tetapi yang utama adalah shalat sendiri-sendiri kecuali pada shalat-shalat sunnah yang khusus seperti shalat ‘Ied dan shalat gerhana serta shalat istisqa’, dan demikian pula shalat tarawih menurut jumhur ulama.” (Syarh Shahih Muslim, 6/284 dan lihat pula Al-Majmu’, 3/499;528) Dan juga karena shalat tarawih termasuk dari syi’ar Islam yang tampak maka serupa dengan shalat ‘Ied. (Syarh Shahih Muslim, 6/282)
Dari hadits ini diketahui mengapa sholat Tarawih di bulan Ramadhan tidak dilakukan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam terus menerus yaitu karena kekhawatiran beliau sholat tersebut diwajibkan atas umatnya sehingga memberatkan mereka. Namun kekhawatiran ini telah lenyap setelah wafatnya beliau dan agama telah sempurna (Al-‘Aun, 4/248 dan Al-Iqtidha’, 1/594-595). Karena itu sunnah ini dihidupkan oleh ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary dari ‘Abdurrahman bin ‘Abd Al-Qary, beliau berkata :
“Saya keluar bersama ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu menuju ke masjid pada suatu malam di Ramadhan, ternyata manusia terbagi-bagi berpisah-pisah, seseorang sholat sendirian dan seseorang sholat dimana sekelompok orang (mengikuti) sholatnya. Maka ‘Umar berkata : “Saya berpandangan andaikata saya kumpulkan mereka pada satu qori` maka itu lebih tepat.” Lalu beliau ber’azam lalu beliau kumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab. Kemudian saya keluar bersama beliau pada malam lain dan manusia sedang sholat (mengikuti) sholat qori’ mereka maka ‘Umar berkata : “Sebaik-baik bid’ah adalah ini dan yang tidur darinya lebih baik dari yang menegakkannya” yang beliau inginkan adalah orang yang sholat pada akhir malam sementara manusia menegakkannya di awal malam”
Ucapan ‘Umar radhiyallahu ‘anhu “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”, beliau maksud bid’ah secara bahasa karena beliau yang pertama kali menghidupkan sunnah ini setelah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam memberikan dasar tuntunannya pada masa hidupnya. Wallahu A’lam.
Dalam salah satu fatwanya, Al-Lajnah  Ad-Da`imah juga menegaskan : ” … namun shalat tarawih bersama imam di masjid lebih utama, karena mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya … ” (fatwa no. 7617. ditandatangani oleh Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Asy-Syaikh ‘Abdurrazzaq ‘Afifi, dan Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud).
Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhutsil ‘Ilmiyah wal Ifta` menegaskan dalam salah satu fatwanya : “Shalat Tarawih pada bulan Ramadhan bersama satu orang imam (yakni berjam’ah) merupakan sunnah yang telah dituntunkan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam … dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa shalat Tarawih dulu dikerjakan secara berjama’ah pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian masa Khalifah ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, dan praktek kaum muslimin terus berlangsung demikian hingga hari ini.” (lihat fatwa no. 4167. ditandatangani oleh : Asy-Syaikh  ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Asy-Syaikh ‘Abdurrazzaq ‘Afifi, Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayyan, dan Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud).
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjawab : “Shalat Tarawih berjama’ah di masjid adalah sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah para khulafa`ur rasyidin, serta para shahabat beliau yang mulia. Di atas cara ini pulalah praktek amaliah kaum muslimin dulu dan sekarang. Tarawih berjama’ah lebih utama daripada shalat di rumah. Karena shalat tathawwu’ (nafilah) yang disyari’atkan berjama’ah dalam pelaksanaannya, seperti shalat Tarawih dan shalat Kusuf (Gerhana) lebih utama dilaksanakan di masjid dalam rangka meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dalam rangka menampakkan sunnah ini. Barangsiapa yang mengingkarinya maka dia telah salah dalam pengingkarannya tersebut. Dia wajib untuk dinasehati dan dijelaskan kesalahannya, serta wajib atasnya untuk belajar terlebih dahulu sebelum berbicara.” (Al-Muntaqa min Fatawa Al-Fauzan no. 206)
Al-Imam Abu Dawud rahimahullah mengatakan, ‘Saya mendengar Al-Imam Ahmad ditanya, “Mana yang lebih engkau suka seseorang shalat (Tarawih) berjama’ah dalam bulan Ramadhan, ataukah dia shalat sendiri?” Maka beliau (Al-Imam Ahmad) menjawab : “Aku lebih suka dia shalat berjama’ah“ Al-Imam Ahmad juga berkata : “Aku lebih suka seseorang shalat (Tarawih) berjama’ah bersama imam dan shalat witir juga berjama’ah bersama imam. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
« من قام مع الإمام حتى ينصرف كتب له قيام ليلة »
“Barangsiapa yang shalat (malam) bersama imam (yakni berjama’ah) hingga selesai, maka ditulis baginya pahala shalat semalam penuh.”
Kemudian Al-Imam Abu Dawud berkata, ‘Ada yang bertanya kepada Al-Imam Ahmad dan aku mendengarnya, “Apakah seseorang mengakhirkan shalat Tarawih hingga akhir malam?” Maka Al-Imam Ahmad menjawab : “Tidak, sunnah kaum muslimin (yakni Tarawih berjama’ah) lebih aku suka.” (lihat Al-Masa`il hal. 62)
Mana yang paling Afdhal Shalat berjama’ah atau sholat sendiri
Dan tentang masalah ini terdapat dua pendapat:
1. Yang utama adalah dilaksanakan sendiri-sendiri.
Pendapat ini adalah pendapat Al-Imam Malik dan Abu Yusuf serta sebagian pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i. Hal ini sebutkan pula oleh Al-Imam An-Nawawi (Syarh Shahih Muslim, 6/282). Dalilnya berdasarkan hadits dari shahabat Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Wahai manusia, shalatlah di rumah kalian! Sesungguhnya shalat yang paling utama adalah shalatnya seseorang yang dikerjakan di rumahnya kecuali shalat yang diwajibkan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dengan hadits inilah mereka mengambil dasar akan keutamaan shalat tarawih yang dilaksanakan di rumah dengan sendiri-sendiri dan tidak dikerjakan secara berjamaah. (Nashbur Rayah, 2/156 dan Syarh Shahih Muslim, 6/282). Hadits ini juga menjadi dalil umum bagi keutamaan shalat sunnah apabila dikerjakan dirumah, kecuali shalat sunnah yang dikhususkan untuk berjama’ah semisal shalat gerhana serta shalat istisqa’.
Baca : Syarah Muslim 6/38-39, Al-Majmu’ 2/526, 528, Thorhut Tatsrib 3/94-97, Al-Mughny 2/605, Al-Istidzkar 2/71-73, Fathul Bari 4/252 dan Nailul Author 3/54.
2. Yang utama adalah dilaksanakan secara berjamaah.
Ini adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan sebagian besar sahabatnya, juga pendapat Abu Hanifah dan Al-Imam Ahmad (Masaailul Imami Ahmad, hal. 90) dan disebutkan pula oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (2/605) dan Al-Mirdawi dalam Al-Inshaf (2/181) serta sebagian pengikut Al-Imam Malik dan lainnya, sebagaimana yang telah disebutkan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim (6/282).
Dan Ibnu Abi Syaibah menukil pelaksanaan secara berjama’ah dari ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Suwaid bin Ghafalah, Zadzan, Abul Bakhtary dan lain-lainnya. Alasannya karena ini adalah sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang dihidupkan oleh ‘Umar dan para shohabat radhiyallahu ‘anhum dan sudah menjadi symbol agama yang nampak seperti sholat ‘Ied. Bahkan Ath-Thohawy berlebihan sehingga mengatakan bahwa sholat Tarawih secara berjama’ah adalah wajib kifayah.
Pendapat ini merupakan pendapat jumhur ulama (Al-Fath, 4/297) dan pendapat ini pula yang dipegang Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, beliau berkata: “Disyariatkan shalat berjamaah pada qiyam bulan Ramadhan, bahkan dia (shalat tarawih dengan berjamaah) lebih utama daripada (dilaksanakan) sendirian…” (Qiyamu Ramadhan, hal.19-20).
Pendapat yang lebih kuat Insya-Allah adalah pendapat kedua yang menyatakan bahwa lebih utama shalat berjama’ah di masjid karena keutamaanya seperti shalat malam sendirian semalam suntuk, dan juga sebagaimana penjelasan panjang lebar sebagaimana di atas yang menunjukkan pensyariatan shalat tarawih berjama’ah dan keutamaannya dibandingkan shalat sendiri.
Adapun untuk perempuan yang afdhol adalah shalat dirumah sebagaimana shalatnya dirumah lebih baik daripada shalat dimasjid (lihat pembahasannya disini) meskipun shalat tersebut merupakan shalat wajib, apatah lagi sholat sunnah dan ini adalah keutamaan dan kemuliaan yang diberikan Allah kepada wanita secara khusus. Adapun bila seorang wanita ingin pergi ke masjid hendaklah meminta izin kepada suami dan memperhatikan adab-adab keluar rumah.
SHOLAT QIYAMUL LAIL BERJAMA’AH HANYA UNTUK SHALAT TARAWIH
Dan perlu diketahui bahwa syari’at sholat Tarawih ini hanya dilakukan di bulan Ramadhan berdasarkan keterangan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam hadits riwayat Al-Bukhary dan Muslim bahwa pelaksanaan Tarawih secara berjama’ah ini dilakukan oleh beliau di bulan Ramadhan.
Bertolak dari sini, nampaklah kesalahan sebahagian orang yang sering melakukan pelaksanaan Qiyamul Lail secara berjama’ah di luar Ramadhan. Memang Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam kadang melakukan Qiyamul Lail secara berjama’ah di rumahnya bersama Ibnu ‘Abbas dan juga pernah bersama Ibnu Mas’ud dan pernah bersama Hudzaifah. Namun beliau tidak melakukan hal tersebut terus menerus dan tidak pula beliau melakukannya di masjid, karena itu siapa yang melakukan Qiyamul Lail secara berjama’ah di luar Ramadhan secara terus menerus atau secara berjama’ah di masjid maka tidak diragukan lagi bahwa hal tersebut tersebut termasuk dari perkara bid’ah yang tercela. Baca keterangan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Asy-Syarh Al-Mumti’ 4/82-83.
HUKUM SHOLAT TARAWIH
Berkata Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’ 3/526: “Dan sholat Tarawih adalah sunnah menurut kesepakatan para ‘ulama.” Lihat juga Syarah Muslim 6/38.
Dan berkata Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid 1/209 : “Dan (para ulama) sepakat bahwa Qiyam bulan Ramadhan sangat dianjurkan lebih dari seluruh bulan.”
Berkata Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 2/601 : “Ia adalah sunnah muakkadah dan awal kali yang menyunnahkannya adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.”
Dan Al-Mardawy dalam Al-Inshof 2/180 juga memberi pernyataan sama dalam madzhab Hanbaliyah namun beliau menyebutkan bahwa Ibnu ‘Aqil menghikayatkan dari Abu Bakr Al-Hanbaly akan wajibnya.
Tidaklah diragukan bahwa sholat Tarawih adalah sunnah muakkadah berdasarkan dalil-dalil yang telah disebut di atas.
Baca juga : Al-Istidzkar 2/63-64, Syarhus Sunnah 4/118-119 dan Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah 7/194.
HUKUM SHOLAT WITIR
Menurut jumhur ulama sholat witir hukumnya adalah sunnah muakkadah. Ini pendapat Imam Malik, Asy-Syafi’iy, Ahmad, Ishaq dan lain-lainnya. Di sisi lain Abu Hanifah berpendapat bahwa sholat witir hukumnya wajib. Mereka berdalilkan dengan beberapa dalil, diantaranya hadits Buraidah radhiyallahu ‘anhu riwayat Abu Daud dan lain-lainnya, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Witir adalah haq, siapa yang tidak witir maka bukanlah dari kami, witir adalah haq, siapa yang tidak witir maka bukanlah dari kami, witir adalah haq, siapa yang tidak witir maka bukanlah dari kami.” (Dihasankan oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ Ash-Shohih 2/159)
Tarjih: Yang benar dalam masalah ini bahwa sholat witir tidak wajib. Hal ini berdasarkan hadits Tholhah bin ‘Ubaidullah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, ketika Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menyebutkan kewajiban sholat lima waktu maka beliau di tanya, “Apakah ada kewajiban lain atasku” beliau menjawab :
“Tidak, kecuali hanya sekedar sholat tathawwu’ (sholat sunnah).”
Dan juga akan diterangkan tentang sholat witirnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam di atas hewan tunggangannya padahal dimaklumi bahwa sholat wajib tidaklah dilakukan di atas hewan tunggangan.
Dan masih ada dalil-dalil lain yang menunjukkan tidak wajibnya.
Baca : Al-Istidzkar 2/80, Al-Majmu’ 3/514-517, Al-Mughny 2/591-594, Al-Fatawa 23/88, Syarah Ibnu Rajab 6/210-212 dan Nailul Author 3/34.
WAKTU SHOLAT LAIL DAN SHOLAT TARAWIH
Waktu pelaksanaanya adalah setelah Isya’ hingga terbit fajar, adapun rincian penetapan awal waktu dan akhir waktu sebagai berikut:
1. Awal Waktu
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 23/119-220 : “Sunnah dalam sholat Tarawih dilaksanakan setelah sholat ‘Isya sebagaimana yang telah disepakati oleh Salaf dan para Imam … dan tidaklah para Imam melakukan sholat (Tarawih) kecuali setelah ‘Isya di masa Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan dimasa para Khulafa` Ar-Rasyidin dan di atas hal ini para Imam kaum muslimin…”
Dan berkata Ibnul Mundzir : “Ahlul ‘Ilmi telah sepakat bahwa (waktu) antara sholat ‘Isya sampai terbitnya fajar adalah waktu untuk witir.” Maka ukuran awal waktu pelaksanaan Qiyam adalah setelah sholat ‘Isya, apakah sholat ‘Isyanya di awal waktu, pertengahan atau akhir waktunya. Demikian pula -menurut keterangan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan selainnya- boleh dilaksanakan oleh seorang yang musafir bila ia telah menjamak taqdim waktu ‘Isya dengan waktu maghrib.
Hal ini berdasarkan hadits Abu Bashrah radhiyallahu ‘anhu riwayat Ahmad dan selainnya, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللهَ زَادَكُمْ صَلاَةً وَهِيَ الْوِتْرُ فَصَلُّوْهَا فِيْمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ
“Sesungguhnya Allah telah menambahkan bagi kalian suatu sholat yaitu witir, maka laksanakanlah sholat itu antara sholat ‘Isya sampai Subuh.” (HR. Ahmad, Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “(Hadits) ini sanadnya shahih”. Ash-Shohihah 1/221 no. 108)
Dan dalam hadits Kharijah bin Hudzafah radhiyallahu ‘anhu riwayat Abu Daud, At-Tarmidzy, Ibnu Majah dan lain-lainnya, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah menganugerahi kalian suatu sholat yang lebih baik bagi kalian dari onta merah, yaitu sholat witir. (Allah) telah menjadikannya untuk kalian antara ‘Isya sampai terbitnya fajar”. (Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 423 dengan seluruh jalan-jalannya. Baca juga Fathul Bari karya Ibnu Rajab 6/235)
Ada satu sisi pendapat lemah dikalangan pengikut madzhab Syafi’iyyah dan juga fatwa sebahagian dari orang-orang belakangan dari kalangan Hanbaliyah menyatakan bolehnya melakukan witir sebelum pelaksanaan ‘Isya. Tentunya itu adalah pendapat yang sangat lemah, bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Siapa yang melakukannya sebelum ‘Isya maka ia telah menempuh jalan para pengikut bid’ah yang menyelisihi sunnah”.
Namun para ulama berselisih pendapat tentang orang yang sholat witir sebelum Isya dalam keadaan lupa atau ia menyangka telah melaksanakan sholat ‘Isya, apakah witirnya diulang kembali atau tidak?.
Ada dua pendapat di kalangan para ulama tentang masalah ini :
a. Pendapat pertama :Diulangi kembali. Ini adalah pendapat jumhur ulama seperti Al-Auza’iy, Malik, Asy-Syafi’iy, Ahmad, Abu Yusuf, Muhammad dan lain-lainnya.
b. Pendapat kedua : Tidak diulangi. Ini pendapat Sufyan Ats-Tsaury dan Abu Hanifah.
Dan tidak diragukan lagi bahwa yang kuat adalah pendapat pertama berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan.
2. Akhir Waktu (Waktu Terakhir) Dari Sholat Lail (Tarawih)
Para ulama sepakat bahwa seluruh malam sampai terbitnya fajar adalah waktu pelaksanaan witir. Namun ada perselisihan pada batasan akhir waktu witir, ada beberapa pendapat dikalangan para ulama :
a. Akhir waktunya sampai terbit fajar. Ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair, Makhul, ‘Atho`, An-Nakha’iy, Ats-Tsaury, Abu Hanifah dan riwayat yang paling masyhur dari Asy-Syafi’iy dan Ahmad. Dan diriwayatkan pula dari ‘Umar, Ibnu ‘Umar, Abu Musa dan Abu Darda` radhiyallahu anhum.
b. Akhir waktunya sepanjang belum sholat subuh. Ini adalah pendapat Al-Qosim bin Muhammad, Malik, Asy-Syafi’iy -dalam madzhabnya yang terdahulu- dan salah satu riwayat dari Ahmad. Dan juga merupakan pendapat Ishaq bin Rahawaih, Abu Tsaur dan lain-lainnya. Dan diriwayatkan pula dari ‘Ali, Ibnu Mas’ud, ‘Ubadah bin Shomit, Hudzaifah dan lain-lainnya.
Tarjih: Yang kuat adalah pendapat pertama, karena dua hadits yang telah berlalu penyebutannya di atas sangatlah tegas menunjukkan bahwa akhir waktunya adalah sampai terbitnya fajar subuh. Dan juga dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma riwayat Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam ketika ditanya tentang kaifiyat sholat lail beliau bersabda :
“(Sholat malam) dua dua, apabila engkau khawatir (masuk) waktu subuh maka sholatlah satu raka’at dan jadikan akhir sholatmu witir”
Adapun untuk pendapat kedua, Ibnu Rajab menyebutkan beberapa dalil yang menjadi landasan mereka dan beliau terangkan kelemahannya, kemudian beliau menyatakan : “Berdasarkan anggapan bahwa hadits-hadits ini shohih (seluruhnya) atau sebahagiannya, maka maknanya diarahkan kepada (bolehnya) meng-qhodo` witir setelah berlalu waktunya yaitu malam hari, bukan menunjukkan bahwa setelah fajar (subuh) masih waktunya.”
Dan pada halaman sebelumnya, beliau juga menyebutkan dari Ibnu ‘Abdil Barr bahwa mungkin yang diinginkan oleh pendapat kedua tentang bolehnya witir setelah terbitnya fajar adalah bagi orang yang lupa melakukan witir atau kelupaan, bukan untuk orang yang sengaja mengakhirkannya sampai keluar waktunya.
Dalam masalah meng-qhodo` witir memang ada persilangan pendapat dikalangan para ulama, namun –secara umum- apa yang disimpulkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dan Ibnu Rajab adalah tepat dan sejalan dengan hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu riwayat Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzy, Ibnu Majah dan lain-lainnya, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Siapa yang tidur dari witirnya atau melupakannya maka hendaknya ia sholat bila ia mengingatnya” (Dishohihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ Ash-Shohih 2/168)
Adapun orang yang punya udzur sehingga belum melaksanakan witir sampai sholat subuh maka ia meng-qhodo` witirnya setelah matahari terbit dengan menggenapkan jumlah kebiasaan witirnya, bila kebisaannya witir 3 raka’at maka digenapkan 4 raka’at, jika kebiasaannya 5 raka’at maka digenapkan 6 raka’at dan seterusnya. Hal tersebut berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Muslim, bahwasanya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :
“Bila beliau dikuasai oleh tidurnya atau sakit dari (melakukan) Qiyam lail maka beliau sholat di waktu siang 12 raka’at”
Baca pembahasan mengenai awal dan akhir waktu Qiyam lail dalam : Al-Istidzkar 2/117-118, Bidayatul Mujtahid 1/202-203, Al-Majmu’ 3/518, Syarah Muslim 6/30-31, Thorhut Tatsrib 3/79-80, Al-Mughny 2/595-596, Al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah 23/119-121, Fathul Bari karya Ibnu Rajab 6/234-243, Al-Inshof 2/181, Asy-Syarh Al-Mumti’ 4/15-16 dan Nailul Author 3/45-46.
Dan baca masalah meng-qodho` witir dalam : Al-Fatawa 23/89-91, Fathul Bari karya Ibnu Rajab 6/243-247, Syarhus Sunnah 4/88-89 dan Nailul Author 3/52-53.
WAKTU YANG PALING AFDHOL (PALING UTAMA) DALAM PELAKSANAAN SHALAT MALAM
Ibnu Rajab menyebutkan bahwa banyak dari shahabat melakukan witir di awal malam, di antara mereka adalah Abu Bakr, ‘Utsman bin ‘Affan, ‘A`idz bin ‘Amr, Anas, Rafi’ bin Khajid, Abu Hurairah, Abu Dzar dan Abu Darda` radhiyallahu ‘anhum. Dan pendapat ini merupakan salah satu sisi pendapat di kalangan orang-orang Syafi’iyyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad dan diikuti oleh sebahagian orang Hanbaliyah. Alasan mereka untuk lebih berhati-hati.
Namun Jumhur Ulama menilai bahwa witir akhir malam lebih utama. Ini pendapat kebanyakan ulama Salaf seperti ‘Umar, ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas dan selain mereka dari kalangan shahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in.Bahka Ibnu Sirin berkata : “Tidaklah mereka (yaitu Para Shohabat dan Tabi`in di zaman beliau,-pent.) berselisih bahwa witir di akhir malam itu Afdhol (lebih utama).” Pendapat ini pula yang dipegang oleh An-Nakha’iy, Malik, Ats-Tsaury, Abu Hanifah, Ahmad -dalam riwayat yang paling masyhur darinya- dan Ishaq.
Tarjih: Insya Allah yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang menyatakan afdholnya pelaksanaan Qiyam di akhir malam. Hal ini berdasarkan beberapa dalil, diantaranya adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma riwayat Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Siapa yang khawatir tidak akan Qiyam di akhir malam maka hendaknya ia witir di akhir malam dan siapa yang semangat untuk witir di akhirnya maka hendaknya ia witir di akhir malam karena sholat di akhir malam adalah disaksikan” (Yaitu disaksikan oleh malaikat rahmat. Demikian keterangan Imam An-Nawawy dalam Syarah Muslim 6/34)
Dan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun setiap malam ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir (Dalam salah satu riwayat Muslim : “ketika telah berlalu sepertiga malam pertama”, dan riwayat beliau yang lainnya : “apabila telah berlalu seperdua malam atau dua pertiganya” ) kemudian berfirman : “Siapa yang berdoa kepada-Ku maka Aku kabulkan untuknya, siapa yang meminta kepada-Ku maka Aku berikan untuknya dan siapa yang memohon anpun kepada-Ku maka Aku akan mengampuninya”.
Khusus untuk qiyam ramadhan, maka Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata: “Apabila permasalahan seputar antara shalat (tarawih) yang dilaksanakan pada permulaan malam secara berjamaah dengan shalat (yang dilaksanakan) pada akhir malam secara sendiri-sendiri maka shalat (tarawih) dengan berjamaah lebih utama karena terhitung baginya qiyamul lail yang sempurna (sebagaimana hadits yang telah berlalu di atas-red).” (Qiyamu Ramadhan, hal. 26)
Baca : Al-Mughny 2/596-597 dan Fathul Bari karya Ibnu Rajab 6/247-250.
JUMLAH RAKAAT SHOLAT TARAWIH
Berkata Ibnu ‘Abdil Barr dalam Al-Istidzkar 2/99 : “Dan para Ulama telah sepakat bahwa tidak ada batasan dan tidak ada ukuran tertentu dalam sholat lail dan ia adalah sholat nafilah (sunnah). Siapa yang berkehendak maka ia dapat memperpanjang berdiri dan mengurangi raka’at, dan siapa yang berkehendak maka ia dapat memperbanyak ruku’ dan sujud.”
Terdapat perselisihan pendapat di kalangan para ulama tentang jumlah raka’at sholat Tarawih. Menurut Abu Hanifah, Ats-Tsaury, Asy-Syafi’iy, Ahmad dan lain-lainnya bahwa jumlah raka’at sholat Tarawih tanpa witir adalah 20 raka’at. Dan pendapat ini oleh Al-Qhody ‘Iyadh dan selainnya disandarkan kepada pendapat Jumhur Ulama. Disisi lain Imam Malik berpendapat bahwa jumlah raka’at sholat Tarawih adalah 36 raka’at. Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 23/112-113 menyebutkan bahwa Imam Ahmad memberi nash bahwa 20, 36 (tanpa witir), 11 dan 13 (dengan witir) semuanya adalah bagus.
Tarjih: Dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim, beliau berkata :
“Tidaklah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menambah dalam Ramadhan dan tidak (pula) pada yang lannya melebihi 11 raka’at”
Dan juga dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Muslim, beliau berkata :
“Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sholat antara selesainya dari sholat isya’ sampai sholat fajr (sholat subuh) sebelas raka’at, Beliau salam setiap dua raka’at dan witir dengan satu raka’at”.
Dan juga disebutkan jumlah 13 raka’at dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim, beliau berkata :
“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sholat di malam hari 13 raka’at”
Dan dalam hadits Zaid bin Kholid Al-Juhany radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim, beliau berkata :
“Sungguh saya akan mengamati sholat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam di malam hari maka beliau sholat dua raka’at ringan kemudian beliau sholat dua raka’at panjang, panjang, panjang sekali kemudian beliau sholat dua raka’at lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya kemudian beliau sholat dua raka’at dan keduanya lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya kemudian beliau sholat dua raka’at dan keduanya lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya kemudian beliau sholat dua raka’at dan keduanya lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya kemudian beliau berwitir maka itu (jumlahnya) tiga belas raka’at”.
Berkata Ibnu ‘Abdil Barr : “Kebanyakan atsar menunjukkan bahwa sholat beliau adalah 11 raka’at dan diriwayatkan juga 13 raka’at.”
Adapun Syaikh Al-Albany beliau berpendapat akan wajibnya terbatas pada 11 atau 13 raka’at (Qiyamu Ramadhan, hal. 22) berdasarkan hadtis-hadits shahih di atas dan atsar dari Saaib bin Yazid beliau berkata:
أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيْمًا الدَّارِيَّ أَنْ يَقُوْمَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“’Umar bin Al-Khaththab radhiyallhu ‘anhu memerintahkan pada Ubai bin Ka’b dan Tamim Ad-Dari untuk memimpin shalat berjamaah sebanyak 11 rakaat.” (HR. Al-Imam Malik, lihat Al-Muwaththa Ma’a Syarh Az-Zarqani, 1/361 no. 249)
Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata dalam Al-Irwa (2/192) tentang hadits ini: “(Hadits) ini isnadnya sangat shahih.” Asy-Syaikh Muhammad Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Dan (hadits) ini merupakan nash yang jelas dan perintah dari ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, dan (perintah itu) sesuai dengannya radhiyallahu ‘anhu karena beliau termasuk manusia yang paling bersemangat dalam berpegang teguh dengan As Sunnah, apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melebihkan dari 11 rakaat maka sesungguhnya kami berkeyakinan bahwa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu akan berpegang teguh dengan jumlah ini (yaitu 11 rakaat).” (Asy-Syarhul Mumti’)
Hadits lemah tentang shalat tarawih 20 rakaat
Dan Syaikh Al-Albany dalam Sholatut Tarawih hal. 19-21 (Cet. Kedua) menjelaskan dengan lengkap bahwa hadits yang mengatakan bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam melakukan sholat Tarawih 20 raka’at adalah hadits yang lemah sekali, antara lain:
• Dari Yazid bin Ruman beliau berkata:
كَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ فِيْ زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِيْ رَمَضَانَ بِثَلاَثٍ وَعِشْرِيْنَ رَكْعَةً
“Manusia menegakkan (shalat tarawih) di bulan Ramadhan pada masa ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu 23 rakaat.” (HR. Al-Imam Malik, lihat Al-Muwaththa Ma’a Syarh Az-Zarqaani, 1/362 no. 250)
Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah berkata: “Yazid bin Ruman tidak menemui masa ‘Umar radhiyallhu ‘anhu”. (Nukilan dari kitab Nashbur Rayah, 2/154) (maka sanadnya munqothi/terputus, red).
Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah men-dha’if-kan hadits ini sebagaimana dalam Al-Irwa (2/192 no. 446).
• Dari Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman dari Hakam dari Miqsam dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّى فِيْ رَمَضَانَ عِشْرِيْنَ رَكَعَةَ وَالْوِتْرَ
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di bulan Ramadhan 20 rakaat dan witir.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Awsath, 5/324 no. 5440 dan 1/243 no. 798, dan dalam Al-Mu’jamul Kabir, 11/311 no. 12102)
Al-Imam Ath-Thabrani rahimahullah berkata: “Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Hakam kecuali Abu Syaibah dan tidaklah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas kecuali dengan sanad ini saja.” (Al-Mu’jamul Ausath, 1/244)
Dalam kitab Nashbur Rayah (2/153) dijelaskan: “Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman adalah perawi yang lemah menurut kesepakatan, dan dia telah menyelisihi hadits yang shahih riwayat Abu Salamah, sesungguhnya beliau bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Bagaimana shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di bulan Ramadhan? (yaitu dalil pertama dari pendapat yang pertama).” Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah menyatakan bahwa hadits ini maudhu’ (palsu). (Adh-Dha’ifah, 2/35 no. 560 dan Al-Irwa, 2/191 no. 445)
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari : “Sanad hadits ini lemah. Berlawanan dengan hadits hadits ‘Aisyah yang terdapat dalam Ash-Shahihain, di samping dia (‘Aisyah) adalah orang yang lebih tahu tentang kondisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu malam dibanding selainnya.” Sebab lemahnya hadits tersebut adalah karena pada sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman. Dia adalah seorang perawi yang matrukul hadits (ditinggalkan periwatan haditsnya).
Dan dalam Sholatut Tarawih di hal. 48-56, Syaikh Al-Albany menegaskan lemahnya penisbatan pelaksanaan 20 raka’at pada ‘Umar bin Khoththob disertai dengan nukilan pelemahan dari beberapa Imam  antara lain, dari As-Suyuthi rahimahullah berkata : “Kesimpulannya bahwa riwayat yang menyebutkan 20 rakaat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak sah. … di antara yang menunjukkan akan hal itu (yakni Nabi tidak pernah menambah dari 11 rakaat) adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila melakukan suatu amalan, maka beliau akan senantiasa menetapinya … “.  Hal ini sebagaimana telah ditegaskan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha :
“bahwa keluarga Muhammad apabila mengamalkan suatu amalan, maka mereka senantiasa menetapinya.” HR. Muslim 782.
Kemudian beliau sebutkan bahwa yang benar dari ‘Umar adalah pelaksanaan 11 raka’at. Dan di hal. 65-71, beliau menerangkan bahwa tidak ada nukilan yang syah dari seorang shahabatpun tentang pelaksanaan Tarawih 20 raka’at. Dan di hal. 72-74, beliau membantah sangkaan sebagian orang yang mengatakan bahwa syari’at sholat Tarawih 20 raka’at merupakan kesepakatan para ulama.
Shalat Tarawih 2 rakaat 2 rakaat tanpa pembatasan
Kendati demikian, jumhur (mayoritas) ‘ulama menyatakan bahwa bahwa shalat Tarawih adalah 23 rakaat dan boleh lebih. Adapun perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan 11 dan 13 rakaat bukan berarti pembatasan. Karena khalifah ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu ketika mengumpulkan kaum muslimin untuk shalat Tarawih secara berjama’ah dengan 23 rakaat. Atas dasar inilah para ‘ulama mengambil pendapat bolehnya solat Tarawih 23 rakaat. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ats-Tsauri, dan Jumhur.
Ibnu ‘Abdil Barr berkata : “Ini (23 rakaat) adalah pendapat jumhur ‘ulama, sekaligus itu merupakan pendapat terpilih menurut kami. Mereka menganggap apa yang terjadi pada masa ‘Umar seakan sebagai ijma’ (kesepakatan).”
Hal ini berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Sholat malam dua-dua, apabila engkau khawatir (masuknya) waktu shubuh maka (hendaknya) ia sholat witir satu raka’at maka menjadi witirlah sholat yang telah ia lakukan”.
Demikian pendapat yang dikuatkan oleh Al-Lajnah Ad-Da`imah yang diketuai oleh Syaikh Ibnu Baz dan juga merupakan pendapat Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Syaikh Muqbil dan lain-lainnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : “Sesungguhnya pelaksanaan qiyam Ramadhan itu sendiri tidak ditentukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan jumlah bilangan rakaat tertentu. Dulu beliau tidak lebih dari 13 rakaat namun beliau memanjangkan bacaannya. Tatkala khalifah ‘Umar radhiyallahu ‘anhu menyatukan mereka dengan Ubay bin Ka’b sebagai imam, maka Ubay mengimami mereka dengan 20 rakaat, kemudian witir 3 rakaat. Ketika itu dia (Ubay) meringankan bacaan sebanding dengan tambahan rakaat, karena cara demikian lebih ringan bagi para makmum daripada memanjang bacaan dalam satu rakaat. Dengan demikian boleh baginya shalat Tarawih dengan 20 rakaat, sebagaimana itu telah masyhur (terkenal) pada madzhab Asy-Syafi’i dan Ahmad. Boleh baginya shalat dengan 36 rakaat, sebagaimana itu merupakan madzhab Malik. Boleh juga baginya untuk shalat Tarawih dengan 11 rakaat. Maka banyak sedikitnya jumlah rakaat sebanding terbalik dengan penjang pendeknya bacaan. Yang utama adalah sesuai dengan kondisi para makmum. Kalau di antara makmum tersebut ada yang mampu dengan 10 rakaat dan 3 rakaat setelahnya, maka ini lebih utama. Jika mereka tidak mampu, maka shalat dengan 20 rakaat, ini pun lebih utama.” (Majmu’ Fatawa XXII/272)
Sikap Ulama terhadap perbedaan ini
Permasalahan penentuan bilangan rakaat shalat Tarawih adalah permasalahan ijtihadiyyah. Telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ‘ulama ahlus sunnah sendiri sejak dulu. Maka dalam permasalahan demikian, hendaknya kita menyikapinya dengan lapang dada dan penuh toleran. Jangan sampai satu sama lain saling bersikap keras apalagi sampai membid’ahkan. Walaupun pintu diskusi ilmiah senantiasa terbuka, namun dengan penuh lembut dan sikap hikmah. Bukan dengan kasar dan menjatuhkan. Sikap inilah yang dicontohkan oleh Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah. Dalam kitabnya Shalat At-Tarawih, setelah beliau membawakan argumentasi ilmiah, dengan kupasan ilmu hadits yang sangat detail dan cermat, bahwa pendapat yang benar adalah hanya 11 rakaat saja (sebagaimana dibahas sekilas di atas), maka di akhir pembahasan beliau rahimahullah menegaskan :
“Apabila telah mengerti hal itu, maka jangan ada seorang mengira bahwa ketika kami memilih untuk mencukupkan dengan sunnah dalam jumlah rakaat shalat Tarawih dan tidak boleh melebihi/menambah jumlah tersebut bahwa berarti kami menganggap sesat atau membid’ahkan para ‘ulama yang tidak berpendapat demikian, baik dulu maupun  sekarang. Sebagaimana telah  ada sebagian orang yang berprasangka demikian dan menjadikannya  sebagai alasan untuk mencela kami … .”
Begitu pula mufti kaum muslimin abad ini, Al-‘Allamah Al-Muhaddits Al-Walid Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah. Beliau berkata :
“Barangsiapa yang memikirkan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dia akan tahu bahwa yang afdhal (lebih utama) dalam ini semua adalah shalat Tarawih sebanyak 11 rakaat atau 13 rakaat, baik dalam bulan Ramadhan maupun yang lainnya. Yang demikian karena itu sesuai dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kebanyakan kondisi beliau, dan karena itu lebih meringankan bagi para jama’ah, serta lebih dekat kepada khusyu’ dan thuma’ninah. Namun barangsiapa yang menambah lebih dari itu maka tidak ada mengapa dan tidak dibenci sebagaimana telah lewat penjelasan (dalil-dalilnya).” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XV/19).
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah juga berkata :
“Adapun jumlah rakaatnya (yakni shalat Tarawih) adalah 11 atau 13 rakaat. Inilah bimbingan sunnah dalam pelaksanaan Tarawih. Namun kalau ada yang menambah jumlah rakaat tersebut, maka tidak mengapa. Karena telah diriwayatkan dalam hal itu dari para ‘ulama salaf banyak bilangan lebih maupun kurang (yakni dari 11 rakaat), namun yang satu tidak menginkari yang lain. Maka barangsiapa yang lebih dari 11 rakaat maka dia tidak diingkari. Barangsiapa yang mencukupkan dengan jumlah rakaat yang datang dari Nabi maka itu lebih utama.” (Majmu’ Fatawa Ibni ‘Utsaimin XIV/125)
Arahan senada juga disampaikan oleh para ‘ulama yang duduk di Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta’, di antaranya bisa dilihat pada fatwa no. 6148.
Berapa pun rakaat Tarawih yang kita kerjakan, hendaknya dalam pelaksanaannya memperhatikan masalah kekhusyu’an.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih  Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata :
“Namun hendaknya pelaksanaan rakaat-rakaat Tarawih tersebut hendaknya dilakukan dengan cara yang syar’i. Semestinya memanjangkan bacaan, ruku’, sujud, I’tidal, dan dalam duduk antara dua sujud. Berbeda dengan yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin pada hari ini. Mereka mengerjakannya dengan sangat cepat, sehingga para makmum tidak bisa mengerjakan shalat dengan baik.  … .”
Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah juga mengingatkan :
“Banyak kaum muslimin mengerjakan shalat Tarawih pada bulan  Ramadhan namun tidak memahami (bacaannya) dan tidak thuma`ninah padanya, bahkan sangat cepat. Shalat tersebut dengan cara pelaksanaan demikian adalah batil. Pelakunya berdosa tidak mendapatkan pahala.”
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam risalahnya Shalat At-Tarawih juga mengingatkan permasalahan ini, dan membuat pembahasan khusus tentang hal ini, yaitu “Dorongan untuk mengerjakan shalat dengan sebaik-baiknya, dan peringatan dari mengerjakannya dengan tidak baik.”
Baca pembahasan tentang masalah di atas dalam : Al-Istidzkar 2/68-70, 95, Al-Majmu’ 3/527, Thorhut Tatsrib 3/97-98, Fathul Bari 4/252, Al-Mughny 2/601-604, Al-Inshof 2/180, Nailul Author 3/57, Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah 7/194-198, Asy-Syarh Al-Mumti’ 4/65-77, Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Syaikh Ibnu ‘Utsaimin 14/187-189 dan Taudhih Al-Ahkam 2/410-415 (Cet. Kelima).
JUMLAH RAKAAT SHALAT WITIR
Ada beberapa hadits yang menjelaskan tentang jumlah raka’at sholat witir Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, diantaranya adalah : Dari ‘Abdullah bin Abi Qais radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata : “Saya berkata kepada ‘Aisyah : “Berapa kebiasaan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam melakukan witir?,” beliau menjawab :
“Adalah beliau melakukan witir dengan empat dan tiga, dengan enam dan tiga, dengan delapan dan tiga dan dengan sepuluh dan tiga, tidaklah pernah beliau melakukan witir kurang dari tujuh dan tidak (pula) lebih dari tiga belas”.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, Ath-Thohawy, Al-Baihaqy dan lain-lainnya. Sanadnya Jayyid menurut Syaikh Al-Albany dalam Sholatut Tarawih hal. 83-84 (Cet. Kedua) dan dihasankan oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ Ash-Shohih 2/162-163)
Dan dari Abu Ayyub Al-Anshory radhiyallahu ‘anhu riwayat Abu Daud, An-Nasa`i, Ibnu Majah dan lain-lainnya, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Witir adalah haq atas setiap muslim, maka siapa yang suka untuk witir dengan 5 (raka’at) maka hendaknya ia kerjakan, siapa yang suka untuk witir dengan 3 (raka’at) maka hendaknya ia kerjakan dan siapa yang suka untuk witir dengan 1 (raka’at) maka hendaknya ia kerjakan.” (Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Sholatut Tarawih hal. 84 (Cet. Kedua) dan dihasankan oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ Ash-Shohih 2/163. Dan Ibnu Rajab dalam Fathul Bari menyebutkan bahwa Abu Hatim, An-Nasa`i, Al-Atsram dan lain-lainnya menguatkan riwayat hadits ini secara mauquf.)
Dari dua hadits di atas dan beberapa hadits yang akan datang diketahui bahwa pelaksanaan witir Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidaklah kurang dari 7 raka’at dan tidak lebih dari 13 raka’at, dan beliau juga memberi tuntunan bolehnya witir dengan 5, 3, dan 1 raka’at. Dan pelaksanaan witir 1 raka’at adalah boleh menurut jumhur Ulama dari kalangan Shahabat, Tabi’in dan para Imam yang mengikuti mereka dengan baik.
Adapun bentuk pelaksanaannya adalah sebagai berikut :
1. Bila witirnya 11 dan 13 raka’at maka dengan cara salam untuk setiap dua raka’at dan ditambah satu raka’at.
2. Bila witirnya 9 raka’at maka dengan cara dua kali tasyahhud, yaitu tasyahhud pada raka’at kedelapan tanpa salam kemudian berdiri ke raka’at sembilan tasyahhud kemudian salam.
3. Bila witirnya 7 raka’at maka boleh tidak tasyahhud kecuali di akhir kemudian salam, dan juga boleh tasyahhud pada raka’at keenam tanpa salam lalu melanjutkan raka’at ketujuh kemudian tasyahhud dan salam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الوتر حق، فمن شاء فليوتر بخمس، ومن شاء فليوتر بثلاث، ومن شاء فليوتر بواحدة
“Shalat Witir itu haq, barangsiapa yang mau silakan berwitir 5 raka’at, barangsiapa yang mau silakan berwitir 3 raka’at, dan barangsiapa yang mau silakan berwitir dengan 1 raka’at.”
4. Bila witirnya 5 raka’at maka tidak tasyahhud kecuali di akhirnya kemudian salam.
5. Bila witirnya 3 raka’at maka boleh dua cara dengan ketentuan tidak menyerupai sholat maghrib menurut pendapat yang paling kuat, yaitu :
a. Melakukan 3 raka’at sekaligus dengan sekali tasyahhud dan salam.
b. Melakukan 2 raka’at lalu salam kemudian berdiri lagi 1 raka’at lalu salam.
6.  Bila witirnya dengan 1 raka’at maka tentunya dengan satu kali salam.
Masalah jumlah raka’at witir ini telah diterangkan oleh Ibnu Rajab secara meluas dan mendetail lengkap dengan uraian perbedaan pendapat para Ulama. Dan kesimpulan ringkas di atas adalah kesimpulan dari keterangan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam masalah ini. Wallahu Ta’ala A’lam.
Baca pembahasan masalah ini dalam : Al-Istidzkar 2/106-107, Fathul Bari karya Ibnu Rajab 6/198-210, Asy-Syarh Al-Mumti’ karya Ibnu ‘Utasimin 4/18-21, Al-Mughny 2/578 dan 588, Bidayatul Mujtahid 1/200, Thorhut Tatsrib 3/78 dan Nailul Author 3/36-40.
BEBERAPA KAIFIAT (CONTOH PELAKSANAAN) SHALAT WITIR DAN TARAWIH
Berikut ini beberapa kaifiyat pelaksanaan witir dan Tarawih beserta dalil-dalilnya :
1. Sholat 13 raka’at dibuka dengan 2 raka’at ringan. Hal ini berdasarkan hadits hadits Zaid bin Kholid Al-Juhany radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim, beliau berkata :
“Sungguh saya akan memperhatikan sholat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam di malam hari maka beliau sholat dua raka’at ringan kemudian beliau sholat dua raka’at panjang, panjang, panjang sekali kemudian beliau sholat dua raka’at lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya kemudian beliau sholat dua raka’at dan keduanya lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya kemudian beliau sholat dua raka’at dan keduanya lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya kemudian beliau sholat dua raka’at dan keduanya lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya kemudian beliau berwitir maka itu (jumlahnya) tiga belas raka’at”.
Dan dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Muslim, beliau berkata :
“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam apabila beliau berdiri di malam hari untuk sholat maka beliau membuka sholatnya dengan dua raka’at yang ringan”
Berdasarkan hal tersebut kaifiyat tarawih dan witir adalah 12 rakaat tarawih dengan salam pada setiap rakaat, kemudian witir 1 rakaat satu kali salam.
2. Sholat 13 raka’at, 8 raka’at diantaranya dilakukan dengan salam pada setiap 2 raka’at kemudian witir 5 raka’at dengan satu kali tasyahhud dan satu kali salam.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha Riwayat Muslim :
“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sholat di malam hari 13 raka’at, beliau witir darinya dengan 5 (raka’at) tidaklah beliau duduk pada sesuatupun kecuali hanya pada akhirnya”
3. Sholat 11 raka’at dengan salam pada setiap 2 raka’at dan witir dengan 1 raka’at.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Muslim, beliau berkata :
“Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sholat antara selesainya dari sholat isya’ sampai sholat fajr (sholat subuh) 11 raka’at, Beliau salam setiap 2 raka’at dan witir dengan 1 raka’at”.
4. Sholat 11 raka’at, tidak duduk kecuali pada raka’at kedelapan kemudian tasyahhud tanpa salam lalu berdiri untuk raka’at kesembilan kemudian salam, lalu sholat dua raka’at lagi dalam keadaan duduk.
Hal tersebut diterangkan dalam hadits Sa’ad bin Hisyam bin ‘Amir riwayat Muslim, beliau bertanya kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang bagaimana sholat witir Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, maka beliau menjelaskan :
“… Maka beliau bersiwak, berwudhu’ dan sholat 9 raka’at beliau tidak duduk kecuali pada yang kedelapan kemudian beliau berdzikir kepada Allah, memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya lalu berdiri dan tidak salam. Kemudian beliau berdiri untuk kesembilan lalu duduk kemudian beliau berdzikir kepada Allah, memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya lalu beliau salam sengan (suara) salam yang beliau perdengarkan kepada kami kemudian beliau sholat dua raka’at setelah salam dalam keadaan duduk, maka itu 11 raka’at wahai anakku. Ketika Nabi Allah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam telah berumur dan beliau bertambah daging (Baca : bertambah berat) maka beliau witir dengan 7 (raka’at) dan berbuat pada yang dua raka’at seperti perbuatan beliau yang pertama, maka itu adalah sembilam (raka’at) wahai anakku”
5. Sholat 9 raka’at, tidak duduk kecuali pada raka’at keenam kemudian tasyahhud tanpa salam lalu berdiri untuk raka’at ketujuh kemudian salam, lalu sholat dua raka’at lagi dalam keadaan duduk.
Hal ini di terangkan dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas. Berkata Syaikh Al-Albany : “Ini adalah beberapa kaifiyat yang Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam melakukannya pada sholat lail dan witir. Dan mungkin untuk ditambah dengan bentuk-bentuk yang lain, yaitu dengan mengurangi pada setiap bentuk yang tersebut jumlah raka’at yang ia kehendaki dan bahkan boleh baginya untuk membatasi dengan satu raka’at saja.”
Dan Ulama berselisih pendapat tentang dua raka’at setelah witir pada kaifiyat no. 4 dan 5, ada tiga pendapat di kalangan ulama :
1. Sunnah dua raka’at setelah witir. Ini pendapat Katsir bin Dhomrah dan Khalid bin Ma’dan. Dan Al-Hasan dan Abu Mijlaz melakukannya, sedangkan Ibnu Rajab menukil hal tersebut dari sebahagian orang-orang Hanbaliyah.
2. Ada rukhshoh (keringanan) dalam hal tersebut dan bukan makruh. Ini adalah pendapat Al-Auza’iy, Ahmad dan Ibnul Mundzir.
3. Hal tersebut Makruh. Ini pendapat Qais bin ‘Ubadah, Malik dan Asy-Syafi’iy.
Tarjih: Tentunya dalil-dalil yang menjelaskan tentang kaifiyat itu adalah hujjah yang harus diterima tentang disyari’atkannya sholat dua raka’at setelah witir. Berkata Ibnu Taimiyah : “Dan kebanyakan Ahli Fiqh tidak mendengar tentang hadits ini (yaitu hadits tentang adanya dua raka’at setelah witir di atas,-pent.), kerena itu mereka mengingkarinya. Dan Ahmad dan selainnya mendengar (hadits) ini dan mengetahui keshohihannya dan Ahmad memberi keringanan untuk melakukan dua raka’at ini dan ia dalam keadaan duduk sebagaimana yang dikerjakan oleh (Nabi) shollallahu ‘alaihi wa sallam. Maka siapa yang melakukan hal tersebut tidaklah diingkari, akan tetapi bukanlah wajib menurut kesepakatan (para Ulama) dan tidak dicela orang yang meniggalkannya….”
Baca : Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 23/92-94, Fathul Bari Ibnu Rajab 6/260-264 dan Al-Mughny 2/281.
Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla menyebutkan beberapa bentuk lain :
6. Sholat 13 raka’at, yaitu salam pada setiap dua raka’at dan witir satu raka’at.
7. Sholat 8 raka’at dengan salam pada setiap 2 raka’at kemudian ditambah witir 1 raka’at.
8. Sholat 6 raka’at dengan salam pada setiap 2 raka’at kemudian witir 1 raka’at.
9. Sholat 7 raka’at, tidak tasyahhud kecuali pada yang keenam kemudian berdiri sebelum salam
untuk raka’at ketujuh lalu duduk tasyahhud dan salam.
10. Sholat 7 raka’at dan tidak duduk untuk tasyahhud kecuali di akhirnya.
11. Sholat 5 raka’at dan tidak duduk untuk tasyahhud kecuali di akhirnya.
12. Sholat 3 raka’at, duduk tasyahhud pada raka’at kedua dan salam lalu witir 1 raka’at.
13. Sholat 3 raka’at tidak duduk tasyahhud dan salam kecuali pada raka’at terakhir. (Tambahan dari penulis yakni Ustadz Dzulqarnain dan tidak tertera dalam Al-Muhalla.)
14. Sholat witir satu raka’at.
Demikian beberapa kaifiyat yang disebutkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Sholatut Tarawih hal. 86-94 (Cet. Kedua) dan Qiyamu Ramadhan hal. 27-30 dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 3/42-48. Dan Syaikh Al-Albany juga menyebutkan kaifiyat lain yaitu
15. sholat 11 raka’at ; 4 raka’at sekaligus dengan sekali salam kemudian 4 raka’at dengan sekali salam lalu 3 raka’at.
Sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
“Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidaklah menambah pada (bulan) Ramadhan dan tidak pula pada selain Ramadhan lebih dari sebelas raka’at. Beliau sholat empat (raka’at) jangan kamu tanya tentang baiknya dan panjangnya, kemudian beliau sholat empat (raka’at) jangan kamu tanya tentang baiknya dan panjangnya kemudian beliau sholat tiga (raka’at)”.
Namun ada perbedaan pendapat di kalangan para Ulama tentang kaifiyat ini.
Pendapat Abu Hanifah, Ats-Tsaury dan Al-Hasan bin Hayy boleh melakukan Qiyamul Lail 2 raka’at sekaligus, boleh 4 raka’at sekaligus, boleh enam raka’at sekaligus dan boleh 8 raka’at sekaligus, tidak salam kecuali di akhirnya. Kelihatannya pendapat ini yang dipegang oleh Syaikh Al-Albany sehingga beliau menetapkan kaifiyat sholat 11 raka’at ; 4 raka’at sekaligus dengan sekali salam kemudian 4 raka’at dengan sekali salam lalu 3 raka’at dengan sekali salam.
Dan disisi lain, jumhur Ulama seperti Malik, Asy-Syafi’iy, Ahmad, Ishaq, Sufyan Ats-Tsaury, Ibnul Mubarak, Ibnu Abi Laila, Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, dan Ibnul Mundzir serta yang lainnya menghikayatkan pendapat ini dari Ibnu ‘Umar, ‘Ammar radhiyallahu ‘anhuma, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Asy-Sya’by, An-Nakha’iy, Sa’id bin Jubair, Hammad dan Al-Auza’iy. Dan Ibnu ‘Abdil Barr berkata : “Ini adalah pendapat (Ulama) Hijaz dan sebahagian (Ulama) ‘Iraq.”, semuanya berpendapat bahwa sholat malam itu adalah dua raka’at-dua raka’at yaitu harus salam pada setiap dua raka’at. Ini pula pendapat yang dkuatkan oleh Syaikh Ibnu Baz beserta para Syaikh anggota Al-Lajnah Ad-Da`imah, dan juga pendapat Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan lain-lainnya sehingga mereka semua menyalahkan orang yang memahami hadits ‘Aisyah di atas dengan kaifiyat sholat 11 raka’at ; 4 raka’at sekaligus dengan sekali salam kemudian 4 raka’at dengan sekali salam lalu 3 raka’at, dan menurut mereka pemahaman yang benar adalah bahwa 4 raka’at dalam hadits itu adalah dikerjakan 2 raka’at 2 raka’at .
Tarjih: Yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat Jumhur Ulama berdasarkan hadits hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Sholat malam dua (raka’at) dua (raka’at)”
Hadits ini adalah berita namun bermakna perintah yaitu perintah untuk melakukan sholat malam dua dua raka’at. Demikian keterangan Syaikh Ibnu Baz dalam Majmu’ Fatawa beliau 11/323-324.
Baca pembahasan tentang masalah di atas dalam : Al-Istidzkar 2/95-98, 104-106, Fathul Bari 4/191-198, Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah 7/199-200 dan Asy-Syarh Al-Mumti’ 4/18-20.
BACAAN DALAM SHOLAT TARAWIH DAN WITIR
Berkata Syaikh Al-Albany dalam Qiyamu Ramadhan hal. 23-25 : “Adapun bacaan dalam sholat lail pada Qiyam Ramadhan dan selainnya, maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidak menetapkan suatu batasan tertentu yang tidak boleh dilampaui dengan bentuk tambahan maupun pengurangan.
Kadang beliau membaca pada setiap raka’at sekadar “Ya Ayyuhal Muzzammil” dan ia (sejumlah) dua puluh ayat dan kadang sekadar lima puluh ayat. Dan beliau bersabda :
“Siapa yang sholat dalam semalam dengan seratus ayat maka tidaklah ia terhitung dalam orangorang yang lalai”
“… dengan dua ratus ayat maka sungguh ia terhitung dari orang-orang yang Qonit (Khusyu’, panjang sholatnya,-pent.) lagi Ikhlash”
Dan beliau shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam pada suatu malam dan beliau dalam keadaan sakit membaca tujuh (surah) yang panjang, yaitu surah Al-Baqarah, Ali ‘Imran, An-Nisa`, Al-Ma`idah, Al-An’am, Al-A’raf dan At-Taubah.
Dan dalam kisah sholat Hudzaifah bin Al-Yaman di belakang Nabi ‘Alaihish Sholatu was Salam bahwa beliau shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam membaca dalam satu raka’at Al-Baqarah kemudian An-Nisa’ kemudian Ali ‘Imran dan beliau membacanya lambat lagi pelan. Dan telah tsabit (syah, tetap) dengan sanad yang paling shohih bahwa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu tatkala memerintah Ubay bin Ka’ab sholat mengimami manusia dengan sebelas raka’at dalam Ramadhan, maka Ubay radhiyallahu ‘anhu membaca dua ratus ayat sampai orang-orang yang di belakangnya bersandar di atas tongkat karena lamanya berdiri dan tidaklah mereka bubar kecuali pada awal-awal fajar.
Dan juga telah shohih dari ‘Umar bahwa beliau memanggil para pembaca Al-Qur`an di bulan Ramadhan kemudian beliau memerintah orang yang paling cepat bacaannya untuk membaca 30 ayat, orang yang pertengahan (bacaannya) 25 ayat dan orang yang lambat 20 ayat.
Dibangun di atas hal tersebut, maka kalau seseorang sholat sendirian disilahkan memperpanjang sholatnya sesuai dengan kehendaknya, dan demikian pula bila ada yang sholat bersamanya dari kalangan orang yang sepakat dengannya (dalam memperpanjang,-pent.), dan semakin panjang maka itu lebih utama, akan tetapi jangan ia berlebihan dalam memperpanjang sampai menghidupkan seluruh malam kecuali kadang-kadang, dalam rangka mengikuti Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang bersabda :
“Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad (shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam)”
Dan apabila ia sholat sebagai imam maka hendaknya ia memperpanjang dengan sesuatu yang tidak memberatkan orang-orang di belakangnya, berdasarkan sabda beliau shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :
“Apabila salah seorang dari kalian Qiyam mengimami manusia maka hendaknya ia memperingan sholatnya karena pada mereka ada anak kecil, orang besar, pada mereka orang lemah, orang sakit dan orang yang mempunyai keperluaan. Dan apabila ia Qiyam sendiri maka hendaknya ia memperpanjang sholatnya sesuai dengan kehendaknya”.”
Demikian keterangan Syaikh Al-Albany tentang bacaan pada Qiyamul lail, adapun dalam sholat witir, berikut ini beberapa hadits yang menjelaskannya, diantaranya adalah hadits Ubay bin Ka’ab riwayat Imam Ahmad dan lain-lainnya, beliau berkata :
“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam membaca pada witir dengan “Sabbihisma Rabbikal A’la”, “Qul Ya Ayyuhal Kafirun” dan “Qul Huwallahu Ahad”. Apabila beliau salam, belaiu berkata : “Subhanal Malikil Quddus” (artinya : Maha suci Yang Maha berkuasa lagi Yang Maha suci) tiga kali.” (Dishohihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’Ash-Shohih 2/160-161.)
Dan dalam hadits ‘Abdurrahman bin Abi Abza riwayat Ahmad dan lainnya, beliau berkata :
“Sesungguhnya beliau membaca pada witir dengan “Sabbihisma Rabbikal A’la”, “Qul Ya Ayyuhal Kafirun” dan “Qul Huwallahu Ahad”. Apabila beliau salam, belaiu berkata : “Subhanal Malikil Quddus, Subhanal Malikil Quddus, Subhanal Malikil Quddus.” dan beliau mengangkat suaranya dengan itu .” (Dishohihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’Ash-Shohih 2/161.)
Berdasarkan dua hadits di atas, Ats-Tsaury, Ishaq dan Abu Hanifah menganggap sunnah membaca tiga surah di atas dalam sholat witir. Imam Malik dan Asy-Syafi’iy juga menganggap sunnah hal tersebut namun mereka dalam raka’at ketiga selain dari surah Al-Ikhlash juga menganggap sunnah menambahnya dengan surah Al-Falaq dan surah An-Nas. Namun hadits mengenai tambahan dua surah tersebut dianggap lemah oleh Imam Ahmad, Ibnu Ma’in dan Al-‘Uqaily, karena itu seharusnya orang yang sholat witir tiga raka’at hanya terbatas dengan membaca surah Al-Ikhlash pada raka’at ketiga.
Syaikh Al-Albany dalam Sifat Sholat An-Nabi hal. 122 (Cet. Kedua Maktabah Al-Ma’arif) juga menshohihkan hadits bahwa membaca dalam raka’at witir dengan seratus ayat dari An-Nisa`.
Baca : Al-Mughny 2/599-600, Al-Majmu’ 2/599 dan Syarhus Sunnah 4/98.
BEBERAPA HUKUM DAN MASALAH SEPUTRAR SHALAT MALAM DAN TARAWIH
Qunut Witir
Telah syah dalam hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam akan sunnahnya Qunut dalam sholat witir pada setiap pelaksanaannya sebagaimana dalam hadits Al-Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhu riwayat Abu Daud, At-Tirmidzy, An-Nasa`i, Ibnu Majah dan lain-lainnya, beliau radhiyallhu ‘anhu berkata :
“Rasulullah mengajarkan kepadaku beberapa kalimat untuk saya ucapkan dalam witir : “Ya Allah, berilah hidayah kepadaku pada orang-orang yang Engkau beri hidayah, berilah padaku afiyat pada orang yang Engkau beri afiyat, naungilah aku pada orang-orang yang Engkau naungi, berkahilah aku pada apa yang Engkau beri dan jagalah aku dari kejelekan keputusan-Mu, sesungguhnya Engkau memutuskan dan tidak diputuskan terhadap-Mu, sesungguhnya tidaklah hina orang-orang yang Engkau naungi, dan Maha Berkah Engkau Wahai Rabb kami dan Maha Tinggi” (Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam banyak buku beliau dan Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’Ash-Shohih 2/161.)
Lihat pembahasan lengkapnya disini.
Tidak ada dua witir dalam satu malam
Telah diketahui tentang keutamaan sholat Tarawih bersama imam sampai selesai walaupun pelaksanaannya di awal malam dan juga diketahui bahwa dilarang melakukan witir dua kali dalam satu malam sebagaimana dalam hadits :
“Tidak ada dua witir dalam satu malam”
Namun bila makmum ingin menambah sholat di akhir malam, apa yang harus ia lakukan ? Jawab : Ada dua penyelesaian terhadap masalah ini, yaitu :
1. Satu : Menggenapkan raka’at. Yaitu ketika imam salam di akhir witirnya maka ia tidak salam tapi berdiri menambah satu raka’at sehingga sholatnya menjadi genap. Sehingga kalau ia ingin melakukan sholat di akhir malam ia tetap bisa melakukan witir. Dengan hal ini seseorang tetap mendapatkan pahala sholat berjama’ah bersama imam dan tetap bisa melakukan sholat di akhir malam. Cara ini menurut Syaikh Ibnu ‘Utsaimin adalah cara yang paling baik.
2. Dua : Ikut sholat witir bersama imam sampai selesai dan salam bersamanya dan kalau ia ingin bangun di malam hari maka boleh sholat lagi dua raka’at dua raka’at berdasar keumuman hadits  “Sholat malam dua (raka’at) dua (raka’at)” dan tidak boleh witir lagi sehingga tidak terjatuh dalam larangan pelaksanaan dua witir dalam satu malam. Dan ini pendapat Asy-Syaikh  Al-‘Utsaimin (lihat Fatawa Nur ‘Ala Ad-Darb / Fatawa Ash-Shalah)
Baca : Al-Mughny 2/597-598, Asy-Syarh Al-Mumti’ 4/ 88-89 dan Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Syaikh Ibnu ‘Utsaimin 14/123-126.
Sebenarnya ada cara ketiga yang disebut dengan nama Naqdhul Witr yaitu seseorang setelah sholat witir di awal malam kemudian di akhir malam ia bangun untuk sholat, maka ia sholat satu raka’at untuk membatalkan witirnya, namun hal tersebut lemah menurut pendapat Jumhur Ulama,  karena terjatuh pada larangan dua witir pada satu malam.
Silahkan baca pembahasannya dalam : Al-Istidzkar 2/113-114, Fathul Bari karya Ibnu Rajab 6/250-257, Al-Mughny 2/597-598, Al-Inshof 2/182, Al-Majmu’ 3/521, Thorhut Tatsrib 3/81 dan Nailul Author 3/49.
Imam Sholat Tarawih Berjama’ah untuk Para Perempuan
Berkata Syaikh Al-Albany dalam Qiyamu Ramadhan hal. 21-22 :
“Dan disyari’atkan bagi para perempuan untuk menghadirinya (Jama’ah Tarawih,-pent.) sebagaimana dalam hadits Abu Dzar yang berlalu, dan telah tsabit (tetap, syah) dari ‘Umar bahwa tatkala beliau mengumpulkan manusia untuk Qiyam maka beliau menjadikan Ubay bin Ka’ab untuk laki-laki dan Sulaiman bin Abi Hatsmah untuk para perempuan. Dari ‘Arfajah Ats-Tsaqofy, beliau berkata :
“Adalah ‘Ali bin Abi Tholib memerintah manusia untuk melakukan Qiyam bulan Ramadhan dan beliau menjadikan untuk laki-laki seorang imam dan untuk perempuan seorang imam. Berkata (‘Arfajah) : “Saya adalah imam para perempuan”.
Saya berkata : Ini keadaannya menurutku bila masjidnya luas sehingga salah satu dari keduanya tidak mengganggu yang lainnya.”
Shalat malam berjama’ah dua kali dalam satu malam
Tidak disunnahkan adanya Ta’qib dalam sholat Tarawih yaitu sekelompok orang setelah mekakukan sholat lail di awal malam secara berjama’ah kembali berjama’ah di akhir malam.
Hal ini adalah perkara yang makruh menurut pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menguatkan pendapat ini. Namun menurut Syaikh Ibnu ‘Utsaimin kalau Ta’qib mereka lakukan setelah Tarawih dan sebelum witir maka bukanlah makruh. Sisi kuat kesimpulan ini tentunya bisa dipahami dari uraian-uraian yang telah lalu.
Baca : Al-Mughny 2/607-608, Fathul Bari karya Ibnu Rajab 6/258-259, Al-Inshof 2/183 dan Asy-Syarh Al-Mumti’ karya Ibnu ‘Utasimin 4/91-93.
Shalat Sunnah antara raka’at tarawih
Adapun masalah melakukan sholat sunnah antara raka’at Tarawih saat istirahat adalah perkara yang makruh.
Baca : Al-Mughny 2/607, Al-Inshof 2/183 dan Asy-Syarh Al-Mumti’ karya Ibnu ‘Utasimin 4/90-91.
Witir di atas kendaraan dan ketika safar
Boleh melakukan witir di atas hewan tunggangan atau di atas kendaraan menurut pendapat kebanyakan para Ulama berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Umar riwayat Al-Bukhary dan Muslim, beliau berkata :
“Sesungguhnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam melakukan witir di atas onta.”
Silahkan baca pembahasannya dalam : Al-Istidzkar 2/111, Fathul Bari karya Ibnu Rajab 6/265-267 dan Bidayatul Mujtahid 1/204.
Sholat witir juga tetap disunnahkan walaupun dalam safar/perjalanan karena Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam melakukan witir dalam keadaan mukim maupun safar. Dan banyak dalil yang menunjukkan tentang hal tersebut.
Baca : Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 23/98, Fathul Bari karya Ibnu Rajab 6/258-259 dan Al-Majmu’ 2/517.
Dzikir dan Doa tertentu Seputar Tarawih
Sebagai penutup kami mengingatkan tentang kesalahan yang terjadi pada pelaksanaan shalat tarawih yaitu dengan membaca dzikir-dzikir atau doa-doa tertentu yang dibaca secara berjamaah pada tiap-tiap dua rakaat setelah salam. Amalan ini adalah amalan yang bid’ah (tidak diajarkan oleh nabi shallallahu ‘alaihi wasallam). Adapun jika berdoa sendiri-sendiri sesuai hajat Insya-Allah tidak mengapa karena dilakukan setelah shalat sunnah. Baca Al-Inshof 2/181 dan 182.
Adapun yang sunnah antara lain hadits Ubay bin Ka’ab riwayat Imam Ahmad dan lain-lainnya, beliau berkata :
“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam membaca pada witir dengan “Sabbihisma Rabbikal A’la”, “Qul Ya Ayyuhal Kafirun” dan “Qul Huwallahu Ahad”. Apabila beliau salam, belaiu berkata :
سُبْــحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ
Subhanal Malikil Quddus(artinya : Maha suci Yang Maha berkuasa lagi Yang Maha suci) tiga kali.” (Dishohihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’Ash-Shohih 2/160-161.)
Dan dalam hadits ‘Abdurrahman bin Abi Abza riwayat Ahmad dan lainnya, beliau berkata :
“Sesungguhnya beliau membaca pada witir dengan “Sabbihisma Rabbikal A’la”, “Qul Ya Ayyuhal Kafirun” dan “Qul Huwallahu Ahad”. Apabila beliau salam, belaiu berkata :
سُبْــحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ , سُبْــحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ , سُبْــحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ
Subhanal Malikil Quddus, Subhanal Malikil Quddus, Subhanal Malikil Quddus.” dan beliau mengangkat suaranya dengan itu .” (Dishohihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’Ash-Shohih 2/161.)
Demikian beberapa pembahasan berkaitan dengan tuntunan sholat Tarawih. Dan perlu diketahui bahwa masih ada sejumlah masalah yang kami belum sebutkan, hal tersebut disebabkan oleh keterbatasan waktu. Dan kami berharap Allah memberikan kemudahan untuk penulisan pembahasan lengkap di waktu lain. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat untuk seluruh kaum muslimin dan bisa menjadi pedoman dalam menghidupkan malam-malam penuh berkah di bulan Ramadhan. Amin, Yaa Rabbal ‘Alamin. Wallahu Ta’ala A’lam.
Sumber:
  1. Tuntunan Qiyamul Lail dan Sholat Tarawih. Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sanusi Al-Atsary hafizhahullah. An-Nashihah Vol.07 th.1/1425 H/2004 M. Download dokumennya disini
  2. Shalat Tarawih. Penulis : Al-Ustadz Hariyadi, Lc.. http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=301.
  3. Jumlah Rakaat, Perbedaan Pendapat tentangnya, dan Cara Menyikapinya). http://www.assalafy.org/mahad/?p=358.
  4. Shalat Tarawih I. Penulis: Al-Ustadz Abu ‘Amr Ahmad. http://www.assalafy.org/mahad/?p=356#more-356