Minggu, 19 September 2010

“Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: ‘Ruh itu termasuk urusan Rabbku dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit’.” (Al-Isra: 85)

Akal Bukanlah Segalanya


((يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّيْ وَماَ أُوْتِْتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيْلاً))
“Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: ‘Ruh itu termasuk urusan Rabbku dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit’.” (Al-Isra: 85)

Sebab Turunnya Ayat
Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya dari hadits ‘Alqamah dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu 'anhu berkata: Ketika aku berjalan bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di sebuah daerah pertanian dalam keadaan beliau bertumpuan pada sebuah tongkat dari pelepah korma, tiba-tiba lewat beberapa orang Yahudi. Sebagian mereka berkata kepada sebagian lainnya: “Tanyakan pada dia tentang ruh.”
Sebagian dari mereka berkata: “(Jangan tanya dia). Jangan sampai dia mendatangkan sesuatu yang kalian benci.”
Berkata lagi (sebagiannya): “Tanyalah dia.”
Mereka pun bertanya tentang ruh, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diam dan tidak menjawab sedikitpun. Aku tahu wahyu sedang diturunkan kepada beliau. maka akupun berdiri dari tempatku. Turunlah firman Allah: “Mereka bertanya kepadamu tentang ruh, maka katakanlah bahwa itu urusan Rabb-ku dan kalian tidaklah diberi ilmu tentangnya kecuali sedikit.” (HR. Al-Bukhari no. 4352 dan Muslim no. 5002)

Penjelasan Ayat
Di kalangan ulama terjadi perselisihan tentang maksud dari kata ruh yang terdapat di dalam ayat ini. Ibnu Tin rahimahullah telah menukilkan beberapa pendapat, di antaranya ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah ruh manusia. Ada lagi yang mengatakan ruh hewan dan ada pula yang mengatakan yang dimaksud adalah Jibril.

Ada pula yang mengatakan maksudnya adalah ‘Isa bin Maryam 'alaihissalam, ada yang mengatakan Al Qur’an, ada yang mengatakan wahyu, dan ada yang mengatakan malaikat yang berdiri sendiri sebagai shaff pada hari kiamat. Ada lagi yang mengatakan maksudnya adalah sosok malaikat yang memiliki sebelas ribu sayap dan wajah. Ada pula yang mengatakan ia adalah suatu makhluk yang bernama ruh yang bentuknya seperti manusia, mereka makan dan minum, dan tidak turun satu malaikat dari langit melainkan ia turun bersamanya. Dan ada lagi yang berpendapat lain. (Fathul Bari, Ibnu Hajar, 8/254. Lihat pula Tafsir Al-Qurthubi, 10/324, Tafsir Ibnu Katsir, 3/62)

Namun mayoritas ahli tafsir memilih pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah ruh yang terdapat pada kehidupan jasad manusia.Yaitu bagaimana keadaan ruh tersebut, tempat berlalunya di dalam tubuh manusia, dan bagaimana cara dia menyatu dengan jasad dan hubungannya dengan kehidupan. Ini adalah sesuatu yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala. (Lihat Tafsir Al-Qurthubi, 10/324)

Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Yang benar adalah di-mubham-kan (pengetahuan tentang ruh dibiarkan seperti itu, yaitu tersamar) berdasarkan firman-Nya: “Ruh itu dari perkara Rabb-ku,” yaitu merupakan perkara besar dari urusan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan tidak diberikan perinciannya agar seseorang mengetahui secara pasti kelemahannya untuk mengetahui hakikat dirinya dalam keadaan dia meyakini wujud ruh tersebut. Apabila seorang manusia lemah (mengalami kesulitan) dalam mengetahui hakikat dirinya, maka terlebih lagi (kelemahannya) untuk menjangkau hakikat Al-Haq (Allah). Hikmahnya adalah (untuk menunjukkan bahwa) akal memiliki kelemahan untuk menjangkau pengetahuan tentang makhluk yang dekat dengannya (yaitu ruh). Dengan demikian memberikan pengetahuan kepada akal bahwa menjangkau (pengetahuan) tentang Rabb-Nya lebih lemah lagi.” (Tafsir Al-Qurthubi, 10/324)

Keterbatasan Pengetahuan Akal
Akal merupakan salah satu nikmat Allah yang diberikan kepada manusia. Dengan akal seseorang mampu membedakan mana yang baik dan yang buruk, mana yang mendatangkan kemaslahatan bagi dirinya dan mana yang mendatangkan kemudharatan. Sehingga dengan akal itu pula seseorang bisa memahami apa saja yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan hukum-hukum. Dengan akal seorang manusia bisa memahami syariat dan melaksanakan perintah-Nya dengan penuh ketaatan dan ketundukan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
((وَلَقَدْ خَلَقْناَ اْلإِنْساَنَ فِيْ أَحْسَنِ تَقْوِيْمٍ))
“Sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya.” (At-Tin: 4)

Ibnul ‘Arabi rahimahullah berkata: “Tidak ada makhluk ciptaan Allah Subhanahu wa Ta'ala yang lebih baik daripada manusia. Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan manusia dalam keadaan memiliki kehidupan, berilmu, memiliki kekuatan, memiliki kehendak, pandai berbicara, mendengar, melihat, pandai mengatur, dan menempatkan sesuatu pada tempatnya.” (Tafsir Al-Qurthubi, 20/114)

Namun ketika mereka tidak menggunakan akalnya untuk tunduk terhadap perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan tidak mendengar peringatan-peringatan-Nya, bahkan mengerjakan apa yang diharamkan, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala pun mengembalikan mereka ke tempat yang paling buruk yaitu neraka Jahannam. Wal’iyadzu billah. Allah berfirman:

“Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih, maka bagi mereka jannah-jannah tempat kediaman, sebagai pahala terhadap apa yang telah mereka kerjakan. Dan adapun orang-orang yang fasiq (kafir) maka tempat mereka adalah an-naar. Setiap kali mereka hendak keluar darinya mereka dikembalikan (lagi) ke dalamnya dan dikatakan kepada mereka: ‘Rasakanlah siksa an-naar yang dahulu kamu mendustakannya’.” (As-Sajdah: 19-20)

Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta'ala sering menyebutkan di dalam Al Qur’an bentuk pengingkaran terhadap orang-orang yang tidak menggunakan akalnya untuk berjalan di atas jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan mengikuti syariat yang telah diperintahkan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

“Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedangkan kamu melupakan diri (kewajibanmu) sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?” (Al-Baqarah: 44)

“Demikianlah Allah menghidupkan orang-orang yang telah mati dan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kekuasaan-Nya agar kamu mengerti.”(Al-Baqarah: 73)

“Dan apabila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka berkata: ‘Kamipun telah beriman,’ tetapi apabila mereka berada sesama mereka saja, lalu mereka berkata: ‘Apakah kamu menceritakan kepada mereka (orang-orang mukmin) apa yang diterangkan Allah kepadamu, supaya dengan demikian mereka dapat mengalahkan hujjahmu di hadapan Tuhanmu; tidakkah kamu mengerti?’.” (Al-Baqarah: 76)

“Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kamu memahaminya.” (Al-Baqarah: 242)

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (Al-An’am: 32)

Dan firman Allah lainnya yang menjelaskan bahwa orang yang tidak tunduk terhadap syariat-Nya, pada hakikatnya mereka adalah orang-orang yang tidak menggunakan akalnya pada tempat yang semestinya. Sebab akal merupakan makhluk Allah yang terbatas kadar keilmuannya, yang seharusnya berada di bawah kekuasaan Allah Yang Maha Sempurna dan Maha Berilmu terhadap segala sesuatu.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Segala sesuatu yang diberitakan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam wajib diimani dan penukilan (berita itu) shahih dari beliau tentang permasalahan yang (bisa) kita saksikan atau pun sesuatu yang (sifatnya) ghaib. Kita mengetahui bahwa itu adalah kebenaran dan kejujuran, baik masuk akal atau tidak dan kita belum mengetahui hakikat maknanya.” (Lum’atul I’tiqad poin no. 55)

Membantah Syariat dengan Akal: Metode Kuffar
Sudah menjadi kebiasaan orang-orang kafir untuk selalu menolak apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya berupa berita-berita serta ancaman-Nya dengan akal mereka dan menyangka bahwa akal mereka di atas segalanya dalam menentukan keputusan. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala sebutkan tentang orang-orang yang mengingkari hari kebangkitan:

“Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya, ia berkata: Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang yang telah hancur luluh?” (Yasin: 78)
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga mengabarkan bahwa orang-orang kafir membantah apa yang dikabarkan kepada mereka tentang tauhid dengan akal mereka:

“Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (Shad: 5)
Mereka pun membantah tentang kenabian dengan akal mereka:

“Dan mereka berkata: “Mengapa Al Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Makkah dan Thaif) ini?” (Az-Zukhruf: 31)

Dan firman-firman Allah yang lain, yang jika kita memperhatikan dengan seksama akan tampak bahwa sesungguhnya apa yang dilakukan oleh para pengikut hawa nafsu dari kalangan para penyembah akal seperti kaum filosof, Jaringan Islam Liberal, dan yang sejalan dengan mereka ini hanyalah mengikuti cara-cara nenek moyang mereka dalam ber-istidlal (mengambil dalil) untuk menolak Al Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: “Menentang para rasul atau berita mereka dengan ma’qulat (sesuatu yang dianggap masuk akal) adalah metode orang-orang kafir.” (Mukhtashar Ash-Shawa’iq Al-Mursalah hal. 121)

Ternyata kebiasaan nenek moyang mereka inipun diwariskan kepada para penerus pemeluk kesesatan dan para pengekor hawa nafsu untuk memelihara keabadian dan kelestarian budaya setan tersebut beserta para anteknya. Mereka masih saja menjadikan akal mereka sebagai tolak ukur untuk menilai sesuatu benar atau tidak, bahkan sampai kepada tingkat menilai benar tidaknya perkataan Allah dan Rasul-Nya dengan kedangkalan akal yang mereka miliki.

Berikut ini beberapa contoh penolakan nash-nash dengan akal:
1. Menolak hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
((إِذَا وَقَعَ الذُّباَبُ فِيْ شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لْيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِيْ أَحَدِ جَناَحَيْهِ دَاءًا وَفِيْ اْلآخَرِ شِفاَءً ))
“Apabila lalat jatuh ke salah satu tempat minum kalian maka hendaklah dia menenggelamkan (lalat tersebut) lalu mengangkatnya. Karena sesungguhnya pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayap yang lain terdapat penawarnya.” (HR.Al-Bukhari dari hadits Abu Hurairah radhiallahu 'anhu).

Orang-orang berpenyakit ini pun berkata: “Hadits ini lemah karena bertentangan dengan penelitian para ahli (kesehatan) yang berkesimpulan bahwa pada lalat semuanya terdapat racun dan tidak ada penawarnya!”

Sungguh suatu tindakan yang lancang dalam melemahkan hadits yang para ulama ahli hadits sepakat menerimanya hanya dengan alasan bertentangan dengan hasil penelitian? Apakah mungkin menolak hadits yang sifatnya qath’i (pasti) dengan penelitian yang masih bersifat zhanni (dugaan)? Sungguh ini merupakan suatu kebodohan yang nyata.


2. Menolak kandungan hukum dari firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
((يُوْصِيْكُمُ اللهُ فِيْ أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنْثَيَيْنِ ))
“Allah mewasiatkan kepada kalian tentang anak-anak kalian (bahwa) bagi seorang laki-laki mendapat bagian dua kali wanita.” (An-Nisa: 11)

Maka orang-orang yang berpenyakit ini mengatakan bahwa ayat tersebut sudah tidak relevan karena sekarang sudah ada persamaan hak antara laki-laki dan wanita sehingga (dalam pembagian warisan) mereka harus mendapatkan bagian yang sama.

Sungguh merupakan suatu tindakan yang sangat lancang terhadap ayat Allah Subhanahu wa Ta'ala Yang Maha Adil dan Maha Mengetahui kemaslahatan hamba-hambanya. Ayat yang muhkam (jelas) ini merupakan ayat yang terus berlaku pada setiap zaman dan tidak dipengaruhi oleh perkembangan peradaban manusia atau adanya gerakan emansipasi yang terjadi di zaman tertentu. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala menyumbat mulut orang-orang yang melampaui batas!

Sikap para Shahabat Terhadap Akal
Para shahabat sebagai manusia termulia di antara umat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang-orang yang paling paham dalam menempatkan akal mereka. Di saat mereka diajak untuk bermusyawarah dalam membicarakan siasat pertempuran, mereka mengungkapkan berbagai siasat dengan kepandaian akal dan pengalaman yang mereka miliki, seperti yang terjadi pada perang Badr dan Khandaq. Dalam perdagangan, dengan akal dan kepandaian yang mereka miliki dalam berjual beli mereka mampu melakukan muamalah jual-beli yang mendatangkan keuntungan berlipat tanpa harus berbuat curang. Dalam bercocok tanam, mereka ahli dalam mengembangkan hasil ladang dan tanaman sehingga membawa hasil yang melimpah.
Namun dalam perkara yang telah menjadi ketetapan Allah dan Rasul-Nya, tidak keluar dari lisan mereka kecuali pernyataan: “Kami dengar dan kami menaatinya!”
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan: ‘Kami mendengar dan kami taat.’ Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (An-Nur: 51)

Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma berkata: “Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan tentang ketaatan kaum Muhajirin dan Anshar, walaupun dalam perkara yang mereka benci. Inilah perkataan mereka, dan sekiranya mereka kaum mukminin maka tentunya mereka pun akan mengatakan (seperti yang dikatakan oleh kaum Muhajirin dan Anshar): ‘Kami mendengar dan kami taat’.” (Tafsir Al-Qurthubi, 12/294-295)

Semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita semua menuju jalan yang lurus. Wallahul musta’an.

SEKILAS MENGENAI "ANA AL-HAQQ"


[Tanya]

Saya kemarin membaca bukunya rumi, judul pastinya lupa tapi isinya tentang puisi-puisi harian dari rumi selama satu tahun/12 bulan. Lalu ada puisi yang saya interpretasikan sendiri seperti ini:
Hallaj berkata “ana al haq”, Fir’aun pun berkata “ana al haq”, satu kata dua makna. Betulkah?

lalu saya juga tertarik dengan fenomena syeh siti jenar, yang katanya jadi Hallajnya indonesia, betulakah dia yang mengatakan konsep manunggaling kawula gusti? kalo tidak salah konsep ini juga diakui oleh penganut kejawen?

[Jawab]

Mungkin puisi Rumi yang dimaksud adalah yang ada dalam bukunya ‘Fihi ma Fihi’ ini:
“When Hallaj’s love for God reached its utmost limit, he became his own enemy and naughted himself.

He said, “I am Haqq,” that is, “I have been annihilated; God remains, nothing else.”
This is extreme humility and the utmost limit of servanthood. It means, “He alone is.”

To make a false claim and to be proud is to say, “Thou art God and I am the servant.” For in this way you are affirming your own existence, and duality is the necessary result. Hence God said, “I am God.” Other than He, nothing else existed.

Hallaj had been annihilated, so those were the words of God.
Pharaoh said, “I am God,” and became despicable. Hallaj said “I am Haqq,” and was saved.

That “I” brought with it God’s curse, but this “I” brought His Mercy, oh friend! To say “I” at the wrong time is a curse, but to say it at the right time is a mercy.
Without doubt Hallaj’s “I” was a mercy, but that of Pharaoh became a curse. Note this!
(William C. Chittick, Fihi ma Fihi, in ‘The Sufi Path of Love: The Spiritual Teachings of Rumi’, pp. 191-193)

Pertama-tama, saya sendiri berpendapat bahwa tidak mungkin Allah secara total akan ’sudi’ bersatu seratus persen dengan makhluk. Ini sudah tentu sesuatu yang mustahil. Hanya saja, saya mengamati bahwa banyak hal yang perlu ditelaah lebih dalam mengenai persoalan ini.

Kedua, saya sama sekali bukan orang yang memahami persoalan ini. Hanya saja saya pernah sedikit ‘kutak-katik’ tentang ‘Al-Haqq’ dan mungkin bermanfaat jika saya share di sini.
Tentang puisi tersebut dan terjemahannya

Umumnya orang membaca kutipan puisi tersebut, yang (sayangnya) umumnya hanya mencantumkan kalimat ke dua saja. Kutipan yang sangat umum mengenai puisi tersebut pada buku-buku di Indonesia (sayangnya) hanyalah sepotong ini saja, ditambah dengan kualitas terjemahan yang tidak akurat:

“Fir’aun berkata “Akulah Tuhan,” dan celakalah ia.
Hallaj berkata “Akulah Tuhan,” dan selamatlah ia.”

Padahal dalam Fihi Ma Fihi, potongan ini justru diterangkan oleh alinea sebelumnya.
Chittick, di buku aslinya, mencantumkan terjemahan puisi Rumi dari bahasa Persia dengan cukup akurat. Tapi ketika buku Chittick tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kalimat berikut ini:

Pharaoh said, “I am God,” and became despicable.
Hallaj said “I am Haqq,” and was saved.
diterjemahkan menjadi:
“Fir’aun berkata “Akulah Tuhan,” dan celakalah ia.
Hallaj berkata “Akulah Tuhan,” dan selamatlah ia.”

Terjemahan ini saya kutip dari buku William C. Chittick, ‘Jalan Cinta Sang Sufi: Ajaran-ajaran Spiritual Jalaluddin Rumi’, Edisi Baru Cetakan Keempat, Penerbit Qalam, Mei 2002; yang menerjemahkan buku ini dari buku Chittick edisi bahasa Inggris di atas.

Sayang sekali kata terjemahannya adalah “Akulah Tuhan,” padahal kata-katanya adalah “Ana’l Haqq”, dan Chittick menerjemahkan ke bahasa Inggris dengan lebih akurat, ‘I am Haqq’. Beberapa penerjemah bahasa Inggris lain kadang menerjemahkan dengan ‘I am The Truth’. Oleh penerjemah ke bahasa Indonesia, sayang kata-katanya berubah jauh menjadi ‘Akulah Tuhan.’

Mungkin karena umumnya orang tidak membacanya secara lengkap, maka ini menimbulkan kebingungan pada mereka yang hanya membaca sepotong ini saja. Padahal Rumi telah menerangkan apa maksud kata-kata Mansur Al-Hallaj tersebut pada alinea sebelumnya (dan pada banyak puisi Rumi lainnya).

Sendainya kita membaca dengan teliti alinea sebelumnya, maka sedikit banyak akan kita dapatkan perbedaan maupun ‘kisi-kisi’ makna ‘Ana’l Haqq’ yang dikatakannya, yaitu (dalam alinea sebelumnya) “aku sesungguhnya tidak ada, hanya Allah yang eksis, tiada yang lain.” Ini menegaskan bahwa kesejatian hanyalah Allah saja, dan tidak ada yang sejati, yang benar-benar tidak ada hubungan sebab-akibat dengan apapun, selain Allah.

Sebuah kenyataan yang agak disayangkan, bahwa di Indonesia hampir semuanya menerjemahkan “Ana Al-Haqq” dari Hallaj serta-merta menjadi “Akulah Tuhan.” Padahal dia tidak mengatakan “Ana Rabb,” atau “Ana ‘Llah.” Jarang yang menerjemahkannya menjadi “Aku Al-Haqq”, sebagaimana adanya.
Sedangkan Fir’aun, ia memang mengatakan “Ilah”, ia adalah ilah yang patut disembah kaumnya, sebagaimana diabadikan Al-Qur’an surat 28:38,
“Yaa ayyuhal malaa’u maa ‘alimtulakum min ilaahi ghairii.”

Ada perbedaan yang sangat besar di antara perkataan mereka yang mengatakan diri sebagai Al-Haqq dan sebagai Ilah.

Dengan demikian, dengan segala keawaman maupun keterbatasan pengetahuan saya, rasanya saya mempercayai bahwa Hallaj tidak sedang mengatakan “akulah Allah”.

Al-Haqq
Apakah ‘Al-Haqq’ itu? Al-Haqq adalah satu nama Allah, tepatnya nama-Nya yang ke lima puluh dua, dari sembilan puluh sembilan nama-nama indah-Nya yang Dia izinkan untuk manusia ketahui.

Sebagaimana diterangkan di Qur’an pula, “Haqq” adalah kebalikan dari “Batil” (2:42, 8:8, 17:81, 21:18, 34:49, 47:3).

Tidak hanya Hallaj, Al-Qur’an pun mengatakan bahwa para Rasul membawa Al-Haqq (Q.S. [7]: 53):
“Qad jaa’at rusulu rabbina bi Al-Haqq”, telah datang rasul-rasul Rabb kami dengan Al-Haqq.
Sedangkan pada Q.S.[10]:35 dikatakan bahwa Allahlah yang memberi petunjuk kepada ‘Al-Haqq’:
“Qulil ‘Laahu yahdi lil-Haqq”, Allahlah yang memberi petunjuk kepada Al-Haqq.

Dengan data-data itu, rasanya saya pun akhirnya ‘terpaksa’ mengakui bahwa siapapun dapat memperoleh ‘Al-Haqq’, jika ditunjuki-Nya.

Dan, juga dari data-data itu, rasanya saya percaya bahwa ‘Al-Haqq’ bukan berarti ‘Allah’. Ini dua hal yang berbeda. Allah tidak otomatis sama dengan Al-Haqq, tapi Allah yang menunjuki siapapun kepada Al-Haqq.

Jadi rasanya (ini pendapat saya, kesimpulan sementara dan liar saja, sangat mungkin salah) bahwa Hallaj memaksudkan bahwa ‘dalam diriku ada Al-Haqq’, atau ‘Aku hanyalah salah satu tanda Al-Haqq’, atau mungkin juga ‘Aku adalah tanda kesejatian/kebenaran’.

Saya tidak tahu persis apa makna perkataannya, tapi yang jelas dari data-data tersebut, rasanya dia tidak sedang mengatakan bahwa “Sayalah Allah”, sebagaimana banyak yang disalah artikan oleh masyarakat umum.


Syaikh Siti Jenar

Demikian pula mengenai kata-kata Syaikh Siti Jenar. Saya benar-benar tidak mengetahui apapun tentang beliau, dan kata-katanya “Manunggaling Kawulo gusti”.
Tapi yang saya pahami, jika kita banyak meneliti serat-serat suluk jawa, jika diperhatikan selalu ada dua ‘gusti’, yaitu Gusti dengan G kapital dan ‘gusti’ dengan G biasa.

Dalam tradisi puisi sufi, Gusti, atau Raja dengan huruf besar menyimbolkan Allah. Sedangkan ‘gusti’, atau ‘tuan’ dengan huruf kecil, menyimbolkan jiwa yang telah suci dan tenang (nafs muthma’innah) yang memimpin dan menjadi tuan bagi sang raga untuk menuju Allah.

Sependek pengetahuan saya, rasanya saya cukup yakin bahwa ‘gusti’ pada ajaran Siti Djenar adalah gusti dengan g kecil.

Demikian menurut pendapat saya. Mungkin ada sahabat yang lebih mengetahui tentang persoalan ini? Silahkan.

Yang benar dari Allah semata, dan jika ada kesalahan itu semata-mata karena keterbatasan saya.

Sabtu, 18 September 2010

ILMU YANG BERMANFAAT



Ilmu yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya ada yang memberikan manfaat ada pula yang tidak. Di sisi lain, ada pula ilmu yang pada asalnya sama sekali tidak memberikan manfaat, sehingga manusia harus menjauhinya.

Allah telah menyebut ilmu dalam kitab-Nya Al Qur’an terkadang dengan memujinya seperti dalam surat Az Zumar ayat 9:
“Katakanlah, adakah sama antara orang-orang yang mengetehui dengan orang-orang yang tidak mengetehui? Sesungguhnya orang-orang berakallah yang dapat menerima pelajaran”.

“Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu. Segolongan berperang di jalan Allah dan yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang muslim dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati”. (QS.Ali Imran:13)

Terkadang Allah menyebutnya dengan celaan. Ilmu yang Allah puji itu adalah ilmu yang bermanfaat dan yang Allah cela adalah ilmu yang asalnya tidak bermanfaat, atau bisa jadi pada asalnya bermanfaat, tapi orang yang dikaruniainya tidak bisa mengambil manfaat darinya. Sebagaimana Allah beritakan tentang sebuah kaum yang Allah beri ilmu namun ilmu itu tidak memberi mereka manfaat.
Allah berfirman:
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian mereka tidak memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amat buruklah kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang dzalim”. (QS. Al Jumuah: 5)

”Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami. Kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (hingga dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat”. (QS. Al A’raf: 175)

Dalam ayat ini maksudnya ilmu itu sesungguhnya bermanfaat akan tetapi orang yang dikaruniai tidak bisa memanfaatkannya. Adapun ilmu yang pada dasarnya dicela oleh Allah adalah seperti tercantum dalam surat Al Baqarah ayat 102 dan surat Ar Rum ayat 7.

“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (karena mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan pada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut. Sedang keduanya tidak mengajarkan sesuatu kepada seorangpun sebelum mengatakan: Sesungguhnya kami hanya cobaan bagimu, karena itu janganlah kamu kafir.

Maka mereka mempelajari dari dua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang suami dengan istrinya. Dan mereka itu tidak memberi mudharat kepada seorangpun dengan sihirnya kecualin atas izin Allah. Mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa menukar kitab Allah dengan sihir itu, tiadalah keuntungan baginya di akherat. Dan amat jahatlah perbuatan mereka menukar dirinya dengan sihir kalau mereka mengetahui”. (QS. Al Baqarah: 102)
“Mereka hanya mengetahui yang lahir saja dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang kehidupan akherat adalah lalai". (QS.Ar Rum: 7)

Karena ilmu itu ada yang terpuji yaitu yang bermanfaat dan ada yang tercela yaitu yang tidak bermanfaat, maka kita dianjurkan untuk memohon kepada Allah ilmu yang bermanfaat dan berlindung kepada-Nya dari ilmu yang tidak bermanfaat. (Fadl Ilm Salaf: 11-13)

Ilmu yang Bermanfaat

Ibnu Rajab Al Hanbali menjelaskan tentang ilmu yang bermanfaat. Beliau mengatakan, pokok segala ilmu adalah mengenal Allah subhanahu wa ta'ala yang akan menumbuhkan rasa takut kepada-Nya, cinta kepada-Nya, dekat terhadap-Nya, tenang dengan-Nya, dan rindu pada-Nya. Kemudian setelah itu berilmu tentang hukum-hukum Allah, apa yang dicintai-Nya dan diridhai-Nya dari perbuatan, perkataan, keadaan, atau keyakinan hamba.

Orang yang mewujudkan dua ilmu ini, maka ilmunya adalah ilmu yang bermanfaat. Ia, dengan itu, akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat, hati yang khusyu’, jiwa yang puas, dan do’a yang mustajab. Sebaliknya yang tidak mewujudkan dua ilmu yang bermanfaat itu, ia akan terjatuh ke dalam empat perkara yang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berlindung darinya. Bahkan ilmunya menjadi bencana buatnya, ia tidak bisa mengambil manfaat darinya karena hatinya tidak khusyu’ kepada Allah subhanahu wa ta'ala, jiwanya tidak merasa puas dengan dunia, bahkan semakin berambisi terhadapnya. Doanyapun tidak didengar oleh Allah karena ia tidak merealisasikan perintah-Nya serta tidak menjauhi larangan-Nya dan apa yang dibenci-Nya.

Lebih-lebih apabila ilmu tersebut bukan diambil dari Al Qur’an dan As Sunnah, maka ilmu itu tidak bermanfaat dan tidak ada manfaatnya sama sekali. Yang terjadi, kejelekannya lebih besar dari manfaatnya.

Ibnu Rajab juga menjelaskan, ilmu yang bermanfaat dari semua ilmu adalah mempelajari dengan benar ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam serta memahami maknanya sesuai dengan yang ditafsirkan para shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Lalu mempelajari apa yang datang dari mereka tentang halal dan haram, zuhud dan semacamnya, serta berusaha mepelajari mana yang shahih dan mana yang tidak dari apa yang telah disebutkan.

Kemudian berusaha untuk mengetahui makna-maknanya dan memahaminya. Apa yang telah disebut tadi sudah cukup bagi orang yang berakal dan menyibukkan diri dengan ilmu yang bermanfaat. (Fadl Ilm Salaf Alal Khalaf 41, 45, 46, 52, 53)

Ilmu yang bermanfaat akan nampak pada seseorang dengan tanda-tandanya, yaitu:
1. beramal dengannya.
2. benci disanjung, dipuji dan takabbur atas orang lain.
3. semakin bertawadhu’ ketika ilmunya semakin banyak.
4. menghindar dari cinta kepemimpinan, ketenaran dan dunia.
5. menghindar untuk mengaku berilmu.
6. bersu’udzan (buruk sangka) kepada dirinya dan husnudzan (baik sangka) kepada orang lain dalam rangka menghindari celaan kepada orang lain.
(Lihat Fadl Ilm Salaf Hal. 56-57 dan Hilyah Thalib Ilm Hal. 71)

Sebaliknya ilmu yang tidak bermanfaat juga akan nampak tanda-tandanya pada orang yang menyandangnya yaitu:
1. tumbuhnya sifat sombong, sangat berambisi dalam dunia dan berlomba-lomba padanya, sombong terhadap ulama, mendebat orang-orang bodoh, dan memalingkan perhatian manusia kepadanya.
2. mengaku sebagai wali Allah subhanahu wa ta'ala. Atau merasa suci diri.
3. Tidak mau menerima yang hak dan tunduk kepada kebenaran, dan sombong kepada orang yang mengucapkan kebenaran jika derajatnya di bawahnya dalam pandangan manusia, serta tetap dalam kebatilan.
4. menganggap yang lainnya bodoh dan mencacat mereka dalam rangka menaikkan dirinya di atas mereka. Bahkan terkadang menilai ulama terdahulu dengan kebodohan, lalai, atau lupa sehingga hal itu menjadikan ia mencintai kelebihan yang dimilikinya dan berburuk sangka kepada ulama yang terdahulu.
(Lihat Fadl Ilm Safaf: 53, 54, 57, 58)

HUKUM ASAL SEGALA SESUATU ITU SUCI


Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah :
• Setiap yang halal itu suci
• Setiap yang najis itu haram
• Tidaklah setiap yang haram itu najis (Asy Syarhul Mumti, 1/77)

Menyambung pembicaraan kami dalam edisi terdahulu tentang pembahasan najis yang sepanjang pengetahuan kami kenajisannya disepakati oleh ulama , maka dalam edisi kali ini kami akan memaparkan apa-apa yang sepanjang pengetahuan kami diperselisihkan masalah kenajisannya, disertai dengan penjelasan mana yang rajih (kuat) dari perselisihan itu, apakah itu najis atau bukan najis, wallahu al muwaffiq.

Air liur anjing
Telah datang riwayat dalam shahihain dan selain keduanya dari kitab-kitab hadits, menyebutkan hadits Abu Hurairah radliallahu anhu bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda :
"Apabila anjing minum dari bejana salah seorang dari kalian hendaklah ia mencucibejana tadi sebanyak tujuh kali".) (HR. Bukhari no. 172 dan Muslim no. 279)

Dalam riwayat Muslim ada tambahan :
"cucian yang pertama dicampur dengan tanah".

Pencucian yang disebutkan dalam hadits di atas menunjukkan najisnya air liur anjing dan pendapat inilah yang rajih (kuat) sebagaimana yang dipegangi oleh Abu Hanifah, Ats Tsauri, satu riwayat dari Ahmad, Ibnu Hazm, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan yang lainnya. Pendapat ini dikuatkan pula oleh Syaukani di dalam kitab-kitabnya.

Sebagaimana yang kami sebutkan di atas bahwa di dalam permasalahan najis yang kami bahas di sini ada perselisihan, maka demikian juga masalah air liur anjing ini. Di sana ada pula pendapat yang lain. Sebagian ahlul ilmu berpendapat seluruh tubuh anjing itu najis. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dengan berdalil hadits yang telah disebutkan di atas. Mereka mengatakan : "Karena air liur itu keluar dari mulut anjing (yang dia itu najis) maka seluruh tubuhnya lebih utama lagi untuk dihukumi kenajisannya".

Dan yang lainnya mengatakan air liur anjing bukan najis, adapun perintah mencucinya adalah sekedar perkara ta`bbudiyah (ibadah) bukan karena kenajisannya. Ini merupakan pendapat yang dipegangi Imam Malik dan yang lainnya..


Mani
Ada dua pendapat dalam masalah mani ini. Pendapat pertama mengatakan najis sedang pendapat kedua mengatakan yang sebaliknya, mani itu suci. Yang kuat dalam hal ini adalah pendapat yang mengatakan sucinya mani dan ini dipegangi oleh Imam Ahmad, Syafi`i dan selain keduanya. Dan pendapat inilah yang rajih. Imam Nawawi rahimahullah berkata: "Kebanyakan ulama berpendapat mani itu suci". (Syarah Shahih Muslim juz 3, hal 198).

Mereka berdalil dengan hadits Aisyah radliallahu anha yang hanya mengerik bekas mani yang telah mengering pada pakaian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tanpa mencucinya. (sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya no. 288, 290). Walaupun didapatkan pula riwayat Aisyah radliallahu anha mencuci bekas mani yang menempel pada pakaian beliau shallallahu 'alaihi wasallam (sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dalam shahihnya no. 229, 230, 231, 232 dan Muslim no. 289)

Namun kedua riwayat ini tidak saling bertentangan (riwayat mengerik atau mencuci). Hal ini dikatakan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar Al Atsqalani rahimahullah : "Hadits yang menunjukkan dicucinya bekas mani yang menempel pada pakaian dan hadits yang menunjukkan dikeriknya mani tersebut tidaklah saling bertentangan karena bisa dikumpulkan antara keduanya dengan jelas bagi yang berpendapat sucinya mani. Hadits tentang mencuci dibawa kepada hukum istihbab (disenanginya mencuci bekas mani yang menempel pada pakaian) dalam rangka kebersihan bukan karena kewajiban. Ini merupakan cara yang ditempuh oleh Imam Syafi`i, Ahmad dan ashabul hadits ". (Fathul Bari juz 1 hal. 415)

Berkata Imam Nawawi rahimahullah: "Seandainya mani itu najis niscaya tidak cukup menghilangkannya dengan sekedar mengerik". ("Syarah Shahih Muslim juz 3, hal. 198)

Darah
Yang kita maksudkan dalam pembahasan ini adalah selain darah haid dan nifas yang disepakati kenajisannya sebagaimana telah kami paparkan dalam pembahasaan terdahulu.. Memang dalam perkara ini juga terdapat perselisihan namun yang rajih/kuat darah itu suci. Ada baiknya kita menengok pembahasan yang dipaparkan Syaikh Albani rahimahullah: "(Mereka yang berpendapat najisnya darah) juga menyelisihi hadits Al Anshari yang dipanah oleh seorang musyrik ketika ia sedang shalat malam. Maka ia mencabut anak panah yang menancap di tubuhnya. Lalu ia dipanah lagi dengan tiga anak panah, namun ia tetap melanjutkan shalatnya dalam keadaan darah terus mengucur dari tubuhnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara mu`allaq (terputus sanadnya dari Imam Bukhari sampai kepada perawi hadits) dan secara maushul (bersambung sanadnya) oleh Imam Ahmad dan selainnya, dishahihkan dalam "Shahih Sunan Abu Daud" (no. 193). Hadits ini dihukumi marfu` (sampai kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam) karena mustahil beliau shallallahu 'alaihi wasallam tidak memperhatikan hal ini.

Seandainya darah yang banyak itu membatalkan wudhu niscaya beliau shallallahu 'alaihi wasallam akan menerangkannya, karena tidak boleh menunda keterangan pada saat diperlukan sebagaimana hal ini diketahui dari kaidah ilmu ushul. Kalau dianggap Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak mengetahui perbuatan shahabatnya tersebut maka tidak ada sesuatupun di langit maupun di bumi yang tersembunyi dari Allah ta`ala. Seandainya darah tersebut najis atau membatalkan wudhu niscaya Allah akan mewahyukan kepada Nabi-nya sebagaimana hal ini jelas tidak tersembunyi bagi seorang pun. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Bukhari sebagaimana pemaparan beliau terhadap sebagian atsar yang mu`allaq, yang diperjelas oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari dan ini merupakan pendapatnya Ibnu Hazm".

Kemudian beliau berkata: "Adapun pembahasan masalah ini dari sisi fiqih, bisa ditinjau sebagai berikut:
Pertama: Menyamakan darah haid dengan darah yang lainnya seperti darah manusia dan darah dari hewan yang dimakan dagingnya adalah kesalahan yang jelas sekali dari dua sisi ;

1. Tidak ada dalil yang menunjukkan hal tersebut dari Al Qur'an dan As Sunnah, sementara hukum asal darah terlepas dari anggapan najis kecuali ada dalil.

2. Penyamaan seperti itu menyelisihi keterangan yang datang di dalam As Sunnah. Adapun darah seorang muslim secara khusus ditunjukkan dalam hadits Al Anshari yang berlumuran darah ketika shalat dan ia tetap melanjutkan shalatnya. Sedangkan darah hewan ditunjukkan dalam riwayat yang shahih dari Ibnu Mas`ud radliallahu anhu, dia pernah menyembelih seekor unta hingga ia terkena darah unta tersebut berikut kotorannya, lalu diserukan iqamah maka ia pun pergi menunaikan shalat dan tidak berwudhu lagi. (Riwayat Abdurrazzaq "Al Mushannaf" 1/125, Ibnu Abi Syaibah 1/392, Ath Thabrani "Mu`jamul Kabir" 9/284 dengan sanad yang shahih darinya. Dan diriwayatkan juga oleh Al Baghawi "Al Ja`diyaat" 2/887/2503).
Uqbah meriwayatkan dari Abi Musa Al Asy`ari: "Aku tidak peduli seandainya aku menyembelih seekor unta hingga aku berlumuran dengan kotoran dan darahnya. Lalu aku shalat tanpa aku menyentuh air". Dan sanad atsar dari Abu Musa ini dlaif (lemah).

Kemudian beliau melanjutkan :
Kedua: Membedakan antara darah yang sedikit dengan darah yang banyak (najis atau tidaknya), walaupun pendapat ini telah didahului oleh para imam, maka tidak ada dalil yang menunjukkannya bahkan hadits Al Anshari membatalkan pendapat ini. (Lihat Tamamul Minnah hal, 51-52)

Orang kafir
Ibnu Hazm dan orang-orang dari kalangan ahlu dhahir berpegang dengan apa yang dipahami dari hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam :

"Sesungguhnya orang islam itu tidak najis" (HR. Bukhari no. 283 dan Muslim no.371)

Untuk menyatakan orang kafir itu najis tubuhnya dan mereka perkuat pendapat ini dengan firman Allah ta`ala dalam surat At Taubah ayat 28 :

"Hanyalah orang-orang musyrik itu najis". (QS. At Taubah : 28)

Namun jumhur ulama membantah pendapat ini dengan menyatakan bahwa yang dimaksud oleh hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah seorang muslim itu suci anggota tubuhnya karena ia terbiasa menjauhkan dirinya dari najis, adapun orang musyrik tidak menjaga diri dari najis. Sedang yang dimaksud dengan ayat di atas adalah orang musyrik itu najis dalam hal keyakinannya dan dalam kekotorannya.

Juga dengan dalil bahwasanya Allah Ta`ala dalam Al Qur'an membolehkan kaum muslimin menikahi wanita ahlul kitab sementara seorang suami yang menyetubuhi istrinya tentunya tidak bisa lepas dari bersentuhan dengan keringat istrinya, bersamaan dengan itu tidak diwajibkan atas si suami untuk bersuci karena bersentuhan dengan istrinya, namun mandinya wajib karena jima`. Juga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berwudhu dari tempat air minum wanita musyrikah dan diikatnya Tsumamah bin Atsal di masjid ketika masih musyrik, dan lain sebagainya. (Fathul Bari 1/487, Nailul Authar 1/45, Sailul Jaraar 1/38,39, Asy Syarhul Mumti` 1/383)
Dan pendapat jumhur inilah yang rajih.

Khamar

Khamar adalah segala sesuatu yang memabukkan baik terbuat dari anggur, kurma, gandum atau yang selainnya. Khamar ini haram hukumnya sebagaimana ditunjukkan dalam Al Qur'an, As Sunnah dan ijma` (kesepakatan) kaum muslimin. Lalu apakah khamar ini najis ?

Jumhur ulama berpandangan khamar ini najis berdalil ayat Allah subhanahuwa ta`ala :
"Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar , judi, berkorban untuk berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah rijs dari perbuatannya setan…". (QS. Al Maidah : 90)

Mereka memaknakan rijs di sini dengan najis, namun yang benar dari pendapat yang ada, khamar bukanlah najis dan ini merupakan pendapatnya Rabi`ah Ar Ra'yi, Al Laits, Al Muzani, Syaukani, Syaikh Albani, Syaikh Ibnu Utsaimin dan selain mereka.

Adapun yang dimakud dengan ayat Allah dalam surat Al Maidah di atas, kata Imam Syaukani rahimahullah : "Tatkala khamar di sini digandengkan penyebutannya dengan الأنصاب dan الأزلام maka kata yang menyertai ini memalingkan makna rijs (dalam ayat) kepada selain najis yang syar`i". (Ad Darari, hal. 20)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga menerangkan tentang makna ayat dalam surat Al Maidah ini bahwa yang dimaksud najis di sini adalah najis maknawi (secara makna) bukan najis hissiyah (indrawi) dari dua sisi :

1. Khamar disertakan dengan الأنصاب , الأزلام dan الميسر dan najis di sini secara maknawi.
2. Sesungguhnya rijs di sini dikaitkan dengan firman-Nya : ((من عمل الشيطان)) sehingga maknanya rijs amali (perbuatannya) bukan rijs `aini (bendanya yang najis) yang dengannya semua perkara ini dihukumi najis.

Muntah manusia
Yang rajih muntah manusia itu tidak najis karena tidak ada dalil yang menyatakan kenajisannya. Adapun pendapat yang mengatakan muntah itu najis telah dibantah oleh Imam Syaukani rahimahullah dalam kitabnya Sailul Jaraar (1/43). Beliau menyatakan: "Aku telah menyebutkan padamu di awal kitab Thaharah bahwa segala sesuatu itu hukum asalnya adalah suci dan tidak bisa berpindah dari hukum asalnya ini kecuali dalil yang memindahkannya benar (shahih) dan pantas untuk dijadikan argumen lebih kuat ataupun seimbang. Bila kita dapatkan dalil tersebut maka tentunya baik sekali, namun kalau kita tidak mendapatkannya wajib bagi kita untuk tawaqquf (berdiam diri) di tempat yang kita dilarang untuk berbicara tentangnya. Kemudian kita katakan kepada orang yang menganggap muntah itu najis bahwasanya dengan anggapannya ini berarti :
- Allah subhanahu wa ta`ala telah mewajibkan kepada hamba-Nya suatu kewajiban.
- Muntah yang dikatakan najis itu harus dicuci
- Tercegah keabsahan shalat dengan adanya muntah itu.
Sehingga kita meminta kepadanya untuk mendatangkan dalil akan hal ini.

Kalau orang ini membawakan dalil dengan hadits Ammar :

"Engkau hanyalah mencuci pakaianmu apabila terkena kencing, tahi, muntah darah dan mani".

Maka kami jawab hadits ini tidak kokoh dari sisi shahihnya, ataupun dari sisi hasannya bahkan tidak pula sampai kepada derajat yang paling rendah untuk bisa dijadikan dalil dan diamalkan. Lalu bagaimana mungkin hukum ini bisa ditetapkan oleh hadits Ammar ini sementara hadits tersebut tidak pantas untuk dijadikan penetapan terhadap hukum yang paling rendah sekalipun atas satu individu pun dari hamba-hamba Allah..

Kalau orang ini berkata lagi : "Telah datang hadits bahwasanya muntah itu membatalkan wudhu ".
Maka kami jawab : "Apakah di sana ada keterangan bahwasanya tidaklah membatalkan wudhu kecuali perkara yang najis".
Kalau kamu katakan iya, maka kamu tidak akan mendapatkan jalan untuk mengatakan demikian (bahwa muntah itu najis).
Kalau kamu mengatakan bahwa telah berkata sebagian ahlul furu` (ahli fiqih) bahwasanya muntah itu satu cabang dari kenajisan.
Maka kami jawab apakah ucapan sebagian orang itu merupakan dalil yang bisa menguatkan pendapatnya terhadap seseorang ?
Kalau kamu katakan iya berarti sungguh kamu telah mengucapkan perkataan yang tidak diucapkan oleh seorang pun dari kaum muslimin. Kalau kamu katakan tidak, maka kami nyatakan : kenapa kamu berdalil dengan perkara yang tidak digunakan oleh seseorang untuk berdalil terhadap orang lain
wallahu a'lam

PERKARA BARU DALAM SOROTAN SYARIAH


Ibadah itu pada asalnya haram untuk dikerjakan bila tidak ada dalil yang memerintahkannya. Inilah kaidah yang harus dipegang oleh setiap muslim sehingga tidak bermudah-mudah membuat amalan yang tidak ada perintahnya baik dari Allah maupun Rasulullah.

Nabi kita yang mulia shallallahu 'alaihi wasallam bertutur dalam haditsnya yang agung :
"Siapa yang mengada-adakan perkara baru dalam agama kami yang hal tersebut bukan dari agama ini maka perkara itu ditolak".

Hadits yang dibawakan oleh istri beliau yang mulia Ummul Mukminin Aisyah radliallahu anha ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullah dalam shahihnya, pada kitab Ash Shulh, bab Idzaashthalahuu `ala shulhi jawrin fash shulhu marduud no. 2697 dan diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah dalam shahihnya, pada kitab Al Aqdliyyah yang diberi judul bab oleh Imam Nawawi rahimahullah selaku pensyarah (yang memberi penjelasan) terhadap hadits-hadits dalam Shahih Muslim, bab Naqdlul ahkam al bathilah wa raddu muhdatsaati umuur, no. 1718. Imam Muslim rahimahullah juga membawakan lafaz yang lain dari hadits di atas, yaitu :
"Siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak di atas perintah kami maka amalannya itu tertolak"

Hadits ini juga diriwayatkan oleh sebagian imam ahli hadits dalam kitab-kitab mereka. Dan kami mencukupkan takhrijnya pada shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim).

Imam Nawawi rahimahullah berkata: "Hadits ini merupakan kaidah yang agung dari kaidah-kaidah Islam". Beliau menambahkan lagi: "Hadits ini termasuk hadits yang sepatutnya dihafalkan dan digunakan dalam membatilkan seluruh kemungkaran dan seharusnya hadits ini disebarluaskan untuk diambil sebagai dalil". ( Syarah Shahih Muslim)

Al Hafidz Ibnu Hajar Al Atsqalani rahimahullah setelah membawakan hadits ini dalam syarahnya terhadap kitab Shahih Bukhari, beliau berkomentar : "Hadits ini terhitung sebagai pokok dari pokok-pokok Islam dan satu kaidah dari kaidah-kaidah agama". (Fathul Bari)

Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah dalam kitabnya Jami`ul Ulum wal Hikam juga memuji kedudukan hadits ini, beliau berkata : "Hadits ini merupakan pokok yang agung dari pokok-pokok Islam. Dia seperti timbangan bagi amalan-amalan dalam dzahirnya sebagaimana hadits: (amal itu tergantung pada niatnya) merupakan timbangan bagi amalan-amalan dalam batinnya. Maka setiap amalan yang tidak diniatkan untuk mendapatkan wajah Allah tidaklah bagi pelakunya mendapatkan pahala atas amalannya itu, demikian pula setiap amalan yang tidak ada padanya perintah dari Allah dan rasulnya maka amalan itu tidak diterima dari pelakunya. (Jami`ul Ulum wal Hikam, 1/176)

Agama Ini telah Sempurna
Allah subhanahu wa ta`ala berfirman :
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah Aku cukupkan bagi kalian nikmat-Ku dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian". (QS. Al Maidah : 3)

Al Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat di atas : "Hal ini merupakan kenikmatan Allah ta`ala yang terbesar bagi umat ini, di mana Allah ta`ala telah menyempurnakan untuk mereka agama mereka, hingga mereka tidak membutuhkan agama yang lainnya, tidak pula butuh kepada nabi yang selain nabi mereka shallallahu 'alaihi wasallam, karena itulah Allah ta`ala menjadikan beliau sebagai penutup para nabi dan Dia mengutus beliau kepada manusia dan jin. Tidak ada sesuatu yang halal melainkan apa yang beliau halalkan dan tidak ada yang haram melainkan apa yang beliau haramkan,. Tidak ada agama kecuali apa yang beliau syariatkan. Segala sesuatu yang beliau kabarkan maka kabar itu benar adanya dan jujur, tidak ada kedustaan dan penyelisihan di dalamnya" (Tafsir Ibnu Katsir 2/14)

Dengan keadaan agama yang telah sempurna ini dalam setiap sisinya maka seseorang tidak perlu lagi mengadakan perkara baru yang tidak pernah dikenal sebelumnya, apakah berupa penambahan ataupun pengurangan dari apa yang disampaikan dan diajarkan oleh beliau Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan dicontohkan serta diamalkan oleh salaf (pendahulu) kita yang shalih dari kalangan shahabat, tabi`in, atbaut tabi`in dan para imam yang memberikan bimbingan. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri juga telah memberi peringatan dari perkara-perkara baru yang disandarkan kepada agama, sebagaimana dalam hadits Abdullah ibnu Mas`ud radliallahu anhu beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda :
"Berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara baru, karena sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap perkara yang diada-adakan itu bid`ah dan setiap bid`ah itu adalah kesesatan". (HR. Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah no. 25 dan hadits ini shahih sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Albani rahimahullah)

Hadits yang semakna dengan ini datang pula dari shahabat Al Irbadh Ibnu Sariyah radliallahu anhu.

Bila kita menemui seseorang yang mengadakan perkara baru dalam agama ini dengan keterangan yang telah kita dapatkan di atas maka perkara itu batil, tertolak dan tidak teranggap sama sekali berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam :
"Siapa yang mengada-adakan perkara baru dalam agama kami ini apa yang bukan bagian darinya maka perkara itu tertolak".

Kata Imam Nawawi rahimahullah : "Hadits ini jelas sekali dalam membantah setiap bid`ah dan perkara yang diada-adakan dalam agama". (Syarah Muslim, 12/16)

Namun bila ada pelaku bid`ah dihadapkan padanya hadits ini, kemudian dia mengatakan bahwa bid`ah tersebut bukanlah dia yang mengada-adakan akan tetapi dia hanya melakukan apa yang telah diperbuat oleh orang-orang sebelumnya sehingga ancaman hadits di atas tidak mengenai pada dirinya. Maka terhadap orang seperti ini disampaikan padanya hadits :
"Siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak di atas perintah kami maka amalannya itu tertolak".

Dengan hadits ini akan membantah apa yang ada pada orang tersebut dan akan menolak setiap amalan yang diada-adakan tanpa dasar syar`i. Sama saja apakah pelakunya yang membuat bid`ah tersebut adalah dia atau dia hanya sekedar melakukan bid`ah yang telah dilakukan oleh orang-orang sebelumnya. Demikian penerangan ini juga disebutkan oleh Imam Nawawi dengan maknanya dalam kitab beliau Syarah Muslim (12/16) ketika menjelaskan hadits ini.

Al Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata : "Dalam sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :
لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
ada isyarat bahwasanya amalan-amalan yang dilakukan seharusnya di bawah hukum syariah di mana hukum syariah menjadi pemutus baginya apakah amalan itu diperintahkan atau dilarang. Sehingga siapa yang amalannya berjalan di bawah hukum syar`i, cocok dengan hukum syar`i maka amalan itu diterima, sebaliknya bila amalan itu keluar dari hukum syar`i maka amalan itu tertolak. ("Jami`ul Ulum wal Hikam", 1/177)

Pembagian Amalan
Amalan bila ditinjau dari pembagiannya terbagi menjadi dua yaitu ibadah dan mu`ammalah .

• Ibadah
Adapun amalan ibadah maka kaidah yang ada dalam pelaksanaannya : "Ibadah itu pada asalnya haram untuk dikerjakan bila tidak ada dalil yang mensyariatkanya (memerintahkannya)". Akan tetapi dari sisi penerimaan atau penolakan amalan ibadah tersebut maka perlu memperhatikan beberapa hal berikut ini:
1. Suatu amalan merupakan ibadah pada satu keadaan namun tidak teranggap pada keadaan yang lainnya sebagai ibadah. Misalnya :
- Berdiri ketika shalat. Hal ini merupakan ibadah yang disyariatkan, namun bila ada orang yang bernadzar untuk berdiri di luar shalat dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta`ala tidaklah dibolehkan karena tidak ada dalil yang menunjukkan pensyariatannya. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melihat seorang laki-laki berdiri di bawah terik matahari karena nadzar yang hendak ia tunaikan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta`ala kemudian beliau shallallahu 'alaihi wasallam dengan serta merta memerintahkan orang itu untuk duduk dan tidak berjemur di bawah terik matahari (sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Bukhari no. 6704)
- Thawaf yang disyariatkan pelaksanaannya di baitullah namun ada di antara manusia yang melaksanakannya di selain baitullah seperti di kuburan wali atau yang lainnya.
- Pelaksanaan haji di luar bulan haji
- Puasa Ramadhan di luar bulan Ramadhan atau ketika hari raya padahal ada nash yang menunjukkan tidak bolehnya berpuasa pada hari raya tersebut.
- Dan yang semisal dengan perkara-perkara yang telah kami sebutkan di atas.

2. Suatu amalan yang sama sekali tidak ada tuntunannya dalam syariat. Misalnya :
- Beribadah di sisi Ka`bah dengan siulan, tepuk tangan dan telanjang
- Mendekatkan diri kepada Allah dengan mendengarkan musik/nyanyian dan minum khamar.
Maka amalan seperti ini batil, tidak diterima bahkan ini merupakan kebid`ahan yang pelakunya dikatakan oleh Allah ta`ala :
"Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu yang mensyariatkan bagi mereka dari agama ini apa yang Allah tidak mengizinkannya". (QS. Asy Syuura : 21)

3. Menambah satu perkara atau lebih terhadap amalan yang disyariatkan. Amalan seperti ini jelas tertolak (akan tetapi dari sisi batal atau tidaknya ibadah tersebut maka perlu dilihat keadaannya). Misalnya :
- Ibadah shalat yang telah disyariatkan oleh Allah subhanahu wa ta`ala ditambah jumlah rakaatnya. Yang demikian ini membatalkan ibadah tersebut.
- Berwudhu dengan membasuh anggota wudhu lebih dari tiga kali. Yang demikian ini tidak membatalkan wudhu tersebut, namun pelakunya terjatuh pada sesuatu yang dibenci .

4. Mengurangi terhadap amalan yang disyariatkan. (Dari sisi batal atau tidaknya maka perlu dilihat dulu terhadap apa yang dikurangi dari ibadah tersebut).
- Shalat tanpa berwudhu sementara ia berhadats maka shalatnya itu batal karena wudhlu merupakan syarat sahnya shalat.
- Meninggalkan satu rukun dari rukun-rukun ibadah maka ibadah itu batal.
- Laki-laki yang meninggalkan shalat lima waktu secara berjamaah dan mengerjakannya sendirian, maka shalatnya itu tidaklah batal tapi shalatnya itu kurang nilainya dan ia berdosa karena meninggalkan kewajiban berjamaah

• Muamalah
Pembicaraan tentang muamalah maka kaidah yang ada :
"Hukum asal muamalah itu boleh/halal untuk dikerjakan (selama tidak ada dalil yang melarangnya dan mengharamkannya").
Adapun perkara-perkara yang dilarang dan diharamkan dalam muamalah ini bisa kita sebutkan sebagai berikut :
1. Bermuamalah untuk mengganti aturan syariat
Maka perkara ini tidak diragukan lagi kebatilannya dengan contoh mengganti hukum rajam bagi orang yang berzina dengan tebusan berupa benda. Hal ini pernah terjadi di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, seorang pemuda yang belum menikah berzina dengan istri orang lain. Ayah si pemuda menyangka hukum yang harus ditimpakan pada putranya adalah rajam maka ia ingin mengganti hukum itu dengan memberi tebusan kepada suami si wanita tersebut berupa seratus ekor kambing berikut seorang budak perempuan. Lalu ia dan suami si wanita mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk mengadukan hal tersebut dan meminta diputuskan perkara mereka dengan apa yang ada dalam kitabullah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun menjawab permintaan mereka :
"Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh aku akan memutuskan perkara di antara kalian berdua dengan kitabullah. Kambing dan budak perempuan yang ingin kau jadikan tebusan itu ambil kembali, sedangkan hukum yang ditimpakan kepada putramu adalah dicambuk sebanyak seratus kali dan diasingkan selama setahun".
Lalu beliau shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kepada salah seorang dari shahabatnya untuk mendatangi wanita yang diajak berzina oleh pemuda tersebut untuk meminta pengakuannya. Dan ternyata wanita itu mengakui perbuatan zina yang dilakukannya hingga ditimpakan padanya hukum rajam. (Sebagaimana disebutkan riwayatnya dalam hadits yang dikeluarkan Imam Bukhari dalam shahihnya, pada Kitabul Hudud no. 2695, 2696, demikian pula Imam Muslim dalam shahihnya no. 1697, 1698)

2. Bermuamalah dengan membuat akad/perjanjian yang dilarang oleh syariat.
• Akad yang tidak layak untuk diputuskan. Seperti melakukan akad nikah dengan wanita yang haram untuk dinikahi karena sepersusuan atau mengumpulkan dua wanita yang bersaudara sebagai istri.
• Akad yang hilang darinya satu syarat di mana syarat tersebut tidak bisa gugur dengan ridhanya kedua belah pihak . Seperti menikahi wanita yang sedang menjalani masa `iddah, nikah tanpa wali atau menikahi istri yang masih dalam naungan suaminya.
• Melakukan akad jual beli yang diharamkan Allah subhanahu wa ta`ala, seperti jual beli dengan cara riba, jual beli minuman keras, bangkai, babi dan sebagainya.
• Akad yang berakibat terdzaliminya salah satu dari dua belah pihak. Seperti seorang ayah menikahkan putrinya yang dewasa tanpa minta izin kepadanya. Maka akad ini tertolak ketika anak itu tidak ridha dan menuntut haknya namun bila ia ridha akad tersebut sah.

Faidah hadits
Faidah yang bisa kita ambil dari hadits ini, di antaranya :
• Batilnya perkara yang diada-adakan dalam agama
• Larangan terhadap satu perkara menunjukkan jeleknya perkara tersebut..
• Islam merupakan agama yang sempurna, tidak ada kekurangan di dalamnya dan tidak butuh koreksi dan protes terhadapnya.
• Perkara yang diada-adakan dalam agama ini adalah bid`ah dan setiap bid`ah itu sesat.
• Dengan hadits ini tertolaklah pembagian bid`ah menjadi bid`ah hasanah (bid`ah yang baik) dan bid`ah sayyiah (bid`ah yang jelek).
Seluruh akad yang dilarang oleh syariat adalah batil, demikian pula hasilnya karena apa yang dibangun di atas kebatilan maka ia batil pula.

Wallahu ta`ala a`lam bishshawwab.

ARTI NIAT


Fungsi niat dalam ibadah sangatlah penting. Karena itu setiap muslim harus senantiasa memperbaiki niat dalam ibadahnya, yaitu ikhlas untuk Allah semata.

Umar ibnul Khaththab radliallahu anhu berkata: Aku mendengar Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda :
"Amalan-amalan itu hanyalah tergantung dengan niatnya. Dan setiap orang hanyalah mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan. Maka siapa yang amalan hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya itu karena Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin ia peroleh atau karena wanita yang ingin ia nikahi maka hijrahnya itu kepada apa yang dia tujukan/niatkan".

Hadits yang agung di atas diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullah dalam beberapa tempat dari kitab shahihnya (hadits no. 1, 54, 2529, 3898, 5070, 6689, 6953) dan Imam Muslim rahimahullah dalam shahihnya (no. 1908).

Berkata Al Imam Ibnu Rajab Al Hambali tentang hadits ini : "Yahya bin Said Al Anshari bersendirian dalam meriwayatkan hadits ini dari Muhammad bin Ibrahim At Taimi, dari `Alqamah bin Waqqash Al Laitsi, dari Umar ibnul Khaththab radliallahu anhu. Dan tidak ada jalan lain yang shahih dari hadits ini kecuali jalan ini. Demikian yang dikatakan oleh Ali ibnul Madini dan selainnya”. Berkata Al Khaththabi : "Aku tidak mengetahui adanya perselisihan di kalangan ahli hadits dalam hal ini sementara hadits ini juga diriwayatkan dari shahabat Abu Said Al Khudri dan selainnya”. Dan dikatakan: Hadits ini diriwayatkan dari jalan yang banyak akan tetapi tidak ada satupun yang shahih dari jalan-jalan tersebut di sisi para huffadz (para penghafal hadits).

Kemudian setelah Yahya bin Said Al Anshari banyak sekali perawi yang meriwayatkan darinya, sampai dikatakan : Telah meriwayatkan dari Yahya Al Anshari lebih dari 200 perawi. Bahkan ada yang mengatakan jumlahnya mencapai 700 rawi, yang terkenal dari mereka di antaranya Malik, Ats Tsauri, Al Auza`i , Ibnul Mubarak, Al Laits bin Sa`ad, Hammad bin Zaid, Syu`bah, Ibnu `Uyainah dan selainnya. .

Ulama bersepakat menshahihkan hadits ini dan menerimanya dengan penerimaan yang baik dan mantap. Imam Bukhari membuka kitab Shahihnya dengan hadits ini dan menempatkannya seperti khutbah/mukaddimah bagi kitab beliau, sebagai isyarat bahwasanya setiap amalan yang tidak ditujukan untuk mendapatkan wajah Allah maka amalan itu batil, tidak akan diperoleh buah/hasilnya di dunia terlebih lagi di akhirat. Karena itulah berkata Abdurrahman bin Mahdi: "Seandainya aku membuat bab-bab dalam sebuah kitab niscaya aku tempatkan pada setiap bab hadits Umar tentang amalan itu dengan niatnya”. Beliau juga mengatakan: "Siapa yang ingin menulis sebuah kitab maka hendaknya ia memulai dengan hadits innamal a'malu binniyah. (Jam`iul `Ulum wal Hikam, karya Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 59-60. Muassasah Ar Risalah, cet. Ke-4, th. 1413 H/1993 M)

Hadits ini selain diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim juga diriwayatkan oleh para imam yang lain. Dan komentar tentang hadits ini kami cukupkan dari menukil ucapan Ibnu Rajab Al Hambali di atas karena padanya ada kifayah (kecukupan).

Penjelasan Hadits

Dari hadits di atas kita pahami bahwasanya setiap orang akan memperoleh balasan amalan yang dia lakukan sesuai dengan niatnya. Dalam hal ini telah berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: "Setiap amalan yang dilakukan seseorang apakah berupa kebaikan ataupun kejelekan tergantung dengan niatnya. Apabila ia tujukan dengan perbuatan tersebut niatan/maksud yang baik maka ia mendapatkan kebaikan, sebaliknya bila maksudnya jelek maka ia mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan". Beliau juga mengatakan: "Hadits ini mencakup di dalamnya seluruh amalan, yakni setiap amalan harus disertai niat. Dan niat ini yang membedakan antara orang yang beramal karena ingin mendapatkan ridla Allah dan pahala di negeri akhirat dengan orang yang beramal karena ingin dunia apakah berupa harta, kemuliaan, pujian, sanjungan, pengagungan dan selainnya". (Makarimul Akhlaq, hal 26 dan 27)

Di sini kita bisa melihat arti pentingnya niat sebagai ruh amal, inti dan sendinya. Amal menjadi benar karena niat yang benar dan sebaliknya amal jadi rusak karena niat yang rusak.

Dinukilkan dari sebagian salaf ucapan mereka yang bermakna: "Siapa yang senang untuk disempurnakan amalan yang dilakukannya maka hendaklah ia membaikkan niatnya. Karena Allah ta`ala memberi pahala bagi seorang hamba apabila baik niatnya sampaipun satu suapan yang dia berikan (akan diberi pahala)".

Berkata Ibnul Mubarak rahimahullah: "Berapa banyak amalan yang sedikit bisa menjadi besar karena niat dan berapa banyak amalan yang besar bisa bernilai kecil karena niatnya". (Jamiul Ulum wal Hikam, hal. 71)

Perlu diketahui bahwasanya suatu perkara yang sifatnya mubah bisa diberi pahala bagi pelakunya karena niat yang baik. Seperti orang yang makan dan minum dan ia niatkan perbuatan tersebut dalam rangka membantunya untuk taat kepada Allah dan bisa menegakkan ibadah kepada-Nya. Maka dia akan diberi pahala karena niatnya yang baik tersebut. Ibnul Qayyim Al Jauziyah rahimahullah mengatakan : "Perkara mubah pada diri orang-orang yang khusus dari kalangan muqarrabin (mereka yang selalu berupaya mendekatkan diri kepada Allah) bisa berubah menjadi ketaatan dan qurubat (perbuatan untuk mendekatkan diri kepada Allah) karena niat". (Madarijus Salikin 1/107)

Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim (7/92) ketika menjelaskan hadits:
Dan pada kemaluan salah seorang dari kalian (menggauli istri) ada sedekah.
Beliau menyatakan: "Dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan bahwasanya perkara-perkara mubah bisa menjadi amalan ketaatan dengan niat yang baik. Jima’ (bersetubuh) dengan istri bisa bernilai ibadah apabila seseorang meniatkan untuk menunaikan hak istri dan bergaul dengan cara yang baik terhadapnya sesuai dengan apa yang Allah perintahkan, atau ia bertujuan untuk mendapatkan anak yang shalih, atau untuk menjaga kehormatan dirinya atau kehormatan istrinya dan untuk mencegah keduanya dari melihat perkara yang haram, atau berfikir kepada perkara haram atau berkeinginan melakukannya dan selainnya dari tujuan-tujuan yang tidak baik".(Syarh Muslim 3/44)

Meluruskan Niat
Seorang hamba harus terus berupaya memperbaiki niatnya dan meluruskannya agar apa yang dia lakukan dapat berbuah kebaikan. Dan perbaikan niat ini perlu mujahadah (kesungguh-sungguhan dengan mencurahkan segala daya upaya). Karena sulitnya meluruskan niat ini sampai-sampai Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata : "Tidak ada suatu perkara yang paling berat bagiku untuk aku obati daripada meluruskan niatku, karena niat itu bisa berubah-ubah terhadapku". (Hilyatul Auliya 7/5 dan 62)

Dan niat itu harus ditujukan semata untuk Allah, ikhlas karena mengharapkan wajah-Nya yang Mulia. Ibadah tanpa keikhlasan niat maka tertolak sebagaimana bila ibadah itu tidak mencocoki tuntunan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Allah ta`ala berfirman tentang ikhlas dalam ibadah ini :

Dan tidaklah mereka diperintah kecuali untuk beribadah kepada Allah dalam keadaan mengikhlaskan agama bagi-Nya. (Al Bayyinah : 5)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Majmu` Fatawa (10/49) : "Mengikhlaskan agama untuk Allah adalah pokok ajaran agama ini yang Allah tidak menerima selainnya. Dengan ajaran agama inilah Allah mengutus rasul yang pertama sampai rasul yang akhir, yang karenanya Allah menurunkan seluruh kitab. Ikhlas dalam agama merupakan perkara yang disepakati oleh para imam ahlul iman. Dan ia merupakan inti dari dakwah para nabi dan poros Al Qur'an".

Yang perlu diingat bahwasanya niat itu tempatnya di hati sehingga tidak boleh dilafazkan dengan lisan. Bahkan termasuk perbuatan bid``ah bila niat itu dilafazkan.

Pelajaran Yang Dipetik dari Hadits Ini
1. Niat itu termasuk bagian dari iman karena niat termasuk amalan hati.
2. Wajib bagi seorang muslim mengetahui hukum suatu amalan sebelum ia melakukan amalan tersebut, apakah amalan itu disyariatkan atau tidak, apakah hukumnya wajib atau sunnah. Karena di dalam hadits ditunjukkan bahwasanya amalan itu bisa tertolak apabila luput darinya niatan yang disyariatkan.
3. Disyaratkannya niat dalam amalan-amalan ketaatan dan harus dita`yin (ditentukan) yakni bila seseorang ingin shalat maka ia harus menentukan dalam niatnya shalat apa yang akan ia kerjakan apakah shalat sunnah atau shalat wajib, dhuhur, atau ashar, dst. Bila ingin puasa maka ia harus menentukan apakah puasanya itu puasa sunnah, puasa qadha atau yang lainnya.
4. Amal tergantung dari niat, tentang sah tidaknya, sempurna atau kurangnya, taat atau maksiat.
5. Seseorang mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan namun perlu diingat niat yang baik tidaklah merubah perkara mungkar (kejelekan) itu menjadi ma'ruf (kebaikan), dan tidak menjadikan yang bid`ah menjadi sunnah.
6. Wajibnya berhati-hati dari riya, sum`ah (beramal karena ingin didengar orang lain) dan tujuan dunia yang lainnya karena perkara tersebut merusakkan ibadah kepada Allah ta`ala.
7. Hijrah (berpindah) dari negeri kafir ke negeri Islam memiliki keutamaan yang besar dan merupakan ibadah bila diniatkan karena Allah dan Rasul-Nya.

Wallahu ta`ala a`lam bishawwab.

NAJIS Mudah Dijumpai, Jarang Dikenali


Pengetahuan tentang najis sangat penting bagi seorang muslim karena berkaitan erat dengan ibadah. Jangan sampai karena ketidaktahuannya, benda yang sebenarnya hanya kotoran biasa dianggap najis dan sebaliknya menganggap remeh benda-benda yang dianggap najis oleh syariat.

Najis merupakan hal yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dan harus diperhatikan keberadaannya khususnya oleh seorang muslim karena berkaitan dengan ibadahnya kepada Allah Subhanahu wa ta`ala. Contoh yang paling mudah, ketika seseorang hendak menegakkan shalat, ia harus memperhatikan kesucian diri dan tempat shalatnya dari hadats maupun najis.

Namun sangat disayangkan, berapa banyak kaum muslimin yang belum mengetahui dengan benar masalah najis ini – walaupun sebenarnya permasalahan ini telah banyak dibahas oleh para ulama, baik dari sisi pengertian maupun penjelasan macam-macamnya secara rinci. Terkadang sesuatu yang najis disangka sebagai sesuatu yang bukan najis. Pada kali yang lain, sesuatu yang sebetulnya tidak najis berusaha dihindari karena disangka najis. Keadaan ini adalah kenyataan pahit yang kita dapati dalam kehidupan kaum muslimin.

Agama kita yang sempurna telah menjelaskan dengan lengkap dan rinci tentang najis ini. Para ulama telah menerangkan bahwa najis adalah kotoran yang wajib dijauhi oleh seorang muslim dan harus dibersihkan apabila mengenai sesuatu. Di antara macam-macam najis tersebut ada yang disepakati oleh para ulama bahwa perkara itu adalah najis, dan ada pula yang diperselisihkan tentang kenajisannya, apakah hal itu termasuk sesuatu yang najis atau bukan. Untuk itu dengan izin Allah ta`ala, kita akan mengupasnya satu per satu.

Kali ini kami akan menjelaskan terlebih dahulu hal-hal yang disepakati oleh para ulama sebagai najis sepanjang pengetahuan kami dengan ilmu yang kami miliki.

1. Kotoran (tahi) dan kencing manusia
Najisnya kotoran manusia diisyaratkan dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat yang mulia, Abu Sa’id al-Khudri radliyallahu‘anhu. Beliau menceritakan bahwasanya Rasulullah ‘alaihish Shalatu Wasallam pernah shalat bersama para shahabatnya dalam keadaan mengenakan sandal namun tiba-tiba beliau melepas sandalnya dan meletakkannya di sebelah kiri beliau dan perbuatan ini diikuti oleh para shahabat. Ketika selesai shalat beliau mempertanyakan perbuatan para shahabatnya tersebut dan memberitahukan alasan beliau melepas sandal karena Jibril mengabarkan bahwa di sandal beliau ada kotoran dan beliau bersabda:
Apabila salah seorang dari kalian datang ke masjid, hendaklah dia membalikkan dan melihat sandalnya. Apabila ia melihat ada kotoran (tahi) padanya, hendaknya digosokkan ke tanah kemudian dipakai untuk shalat.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan berkata Syaikh Muqbil rahimahullah tentang hadits ini dalam karya beliau al-Jami’ush Shahih Mimma Laysa fish Shahihain juz 1, hal. 526: Ini adalah hadits shahih, rijalnya (para periwayatnya) adalah rijal Shahih al-Bukhari)

Adapun najisnya kencing manusia dijelaskan dalam hadits Ibnu Abbas radliyallahu‘anhuma yang diriwayatkan di dalam Shahihain (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim) tentang dua orang penghuni kubur yang diazab. Dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam :
Adapun salah satu dari keduanya tidak membersihkan dirinya dari kencingnya. (HR. Bukhari no. 216, 218, 1361, 1378 dan Muslim no. 292)

Masalah kenajisan kotoran dan kencing manusia ini –banyak ataupun sedikit- disepakati oleh ulama. Adapun Abu Hanifah dalam masalah kencing beliau berpendapat, jika didapati kencing setitik jarum, maka ini tidak memudharatkan. Namun sebagaimana diterangkan di atas, kencing manusia –baik banyak ataupun sedikit – adalah najis, dengan dalil yang jelas dan terang, serta merupakan kesepakatan ulama sebagaimana disebutkan Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Muslim. Sedangkan apa yang datang dari Abu Hanifah adalah pendapat yang tertolak.

Lain halnya dengan kencing anak kecil laki-laki yang masih menyusu dan belum makan makanan tambahan kecuali kurma untuk tahnik (tahnik adalah mengunyah sesuatu -dalam hal ini kurma- sampai lumat kemudian dimasukkan/digosok-gosokkan ke langit-langit mulut bayi yang baru lahir) dan madu untuk pengobatan. Kebanyakan para ibu mengatakan bahwa itu bukan najis sehingga mereka bermudah-mudah dalam hal ini.

Walaupun memang di sana ada perselisihan ulama dalam masalah najisnya kencing anak laki-laki yang dalam keadaan seperti ini, akan tetapi pendapat yang kuat menyatakan bahwa kencing anak laki-laki yang masih menyusu dan belum makan makanan tambahan itu najis, sebagaimana dinyatakan Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim, namun najisnya ringan. Dalil keringanannya diisyaratkan dengan ringannya cara membersihkannya seperti dalam hadits Ummu Qais bintu Mihshan yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (no. 223) dan Imam Muslim (no.287) :
Ummu Qais bintu Mihshan al-Asadiyah membawa anaknya yang masih kecil dan belum makan makanan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu Rasulullah mendudukkan anak itu di pangkuannya. Kemudian anak itu kencing di baju beliau. Maka Rasulullah meminta air dan mengguyurkannya ke bajunya (hingga air menggenangi bekas kencing tersebut) dan tidak mencucinya. (Dalam lafaz lain: lalu beliau menuangkan air ke atas bekas kencing tersebut).

Walaupun najis tersebut ringan, namun masih tetap harus dibersihkan dengan mengguyurkan air padanya sesuai dengan apa yang bisa kita lihat pada hadits di atas.

Adapun dalam masalah kotoran dan kencing hewan, kita akan mendapatkan adanya perselisihan di kalangan ulama. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa kotoran hewan – baik yang dimakan dagingnya maupun tidak – adalah najis, sebagaimana pendapat jumhur ulama dan Syafi’i. Sebagian yang lain berpendapat, yang najis hanya kotoran hewan yang tidak dimakan dagingnya. Sementara pendapat yang lain dari kalangan ulama dan – wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab – ini adalah pendapat yang kuat, pada asalnya semua kotoran hewan suci, kecuali ada nash yang mengatakan najis, maka barulah dikatakan najis. Ini merupakan pendapat Ibnul Mundzir, dan dinukilkan oleh Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab bahwa ini adalah perkataan Dawud azh-Zhahiri, Ibrahim an-Nakha’i dan asy-Sya’bi. Pendapat ini juga didukung oleh al-Imam Asy-Syaukani di dalam kitab-kitab beliau, diantaranya Nailul Authar dan ad-Daraari.

Dengan apa yang telah diterangkan di atas, maka jelaslah bahwa tidak semua yang kotor pada wujudnya itu najis, kecuali ada nash yang menerangkan kenajisannya. Misalnya tahi cicak, tidak ada nash yang menunjukkan kenajisannya, maka itu bukan najis. Namun bila dikatakan kotoran (sesuatu yang kotor) maka tahi cicak itu memang termasuk kotoran.

Hal lain yang berkaitan dengan masalah ini adalah kencing unta. Sebagaimana kita ketahui, kencing unta adalah kotoran, namun bukan najis. Bahkan didapati riwayat dari Anas bin Malik radliyallahu‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam memerintahkan untuk minum air kencing unta, sebagaimana termaktub dalam Shahihain (Shahih Bukhari no. 233) dan Shahih Muslim no. 1671) dan lainnya :
Sekelompok orang dari Bani ‘Akl – atau Bani ‘Urainah – datang menemui Nabi namun mereka merasa tidak betah tinggal di Madinah karena sakit yang menimpa mereka maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar didatangkan seekor unta betina yang banyak susunya dan menyuruh mereka minum air kencing dan susunya. Lalu mereka beranjak melakukannya. Ketika telah sehat, mereka membunuh penggembala ternak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan meminum susu ternak itu. Datanglah berita tentang peristiwa itu menjelang siang sehingga Rasulullah memerintahkan untuk mengikuti jejak mereka. Pada siang harinya mereka didatangkan ke hadapan Nabi, lalu beliau memerintahkan agar dipotong tangan dan kaki mereka, dicungkil matanya, dan dilemparkan ke tengah padang pasir yang panas. Mereka meminta-minta minum, namun tidak diberi minum.

2. Madzi
Madzi adalah cairan yang hampir mirip dengan mani. Bedanya, madzi lebih tipis (encer) dan tidak pekat. Keluarnya madzi ini tidak terasa dan keluar ketika seseorang bersyahwat sebelum dia bercampur dengan istrinya (jima’) atau di luar jima’.

Kaum muslimin bersepakat bahwa madzi itu najis, sebagaimana dinukilkan Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’. Juga datang dalil yang menunjukkan najisnya madzi dalam hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari (hadits no. 269) dan Imam Muslim (hadits no. 303) rahimahumallah dari hadits ‘Ali radliyallahu ‘anhu ketika ‘Ali menyuruh seorang shahabi, Miqdad ibnul Aswad, untuk menanyakan tentang madzi ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Beliau menjawab :
Hendaknya dia mencuci kemaluannya dan berwudhu.

Ibnu Daqiqil ‘Id rahimahullah mengatakan dalam Ihkamul Ihkam: “Dari hadits ini diambil dalil tentang najisnya madzi, di mana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam memerintahkan untuk mencuci kemaluan yang terkena madzi tersebut.”

Satu hal yang perlu kita ketahui, madzi ini menimpa laki-laki maupun wanita, namun lebih sering dan kebanyakan terjadi pada wanita seperti yang dikatakan Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim.

3. Wadzi
Wadzi adalah cairan yang keluar setelah kencing atau saat mengejan setelah buang air besar. Hukum wadzi sama dengan madzi atau kencing, yaitu najis. Bahkan Imam an-Nawawi rahimahullahu ta’ala di dalam kitab beliau al-Majmu menukilkan ijma’ (kesepakatan) bahwa wadzi itu najis. Beliau mengatakan, “Telah bersepakat umat ini tentang najisnya madzi dan wadzi.”

4. Darah Haid dan Nifas
Darah haid dan nifas adalah dua hal yang secara umum dijumpai oleh kaum wanita. Namun mungkin ada di kalangan mereka yang belum mengetahui, apakah darah haid dan nifas termasuk najis atau bukan, sementara ini adalah perkara yang sangat penting bagi mereka.

Telah datang dalil yang menunjukkan kenajisan darah haid dalam hadits Asma’ bintu Abi Bakr radliyallahu ‘anha. Beliau menceritakan :
Seorang wanita bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia berkata, "Ya Rasulullah, jika salah seorang dari kami terkena darah haid pada pakaiannya, apa yang harus ia lakukan?” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, “Apabila darah haid mengenai pakaian salah seorang dari kalian, hendaknya dia mengeriknya lalu membasuhnya, kemudian ia shalat memakai pakaian tersebut.” (Hadits shahih, diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari no. 330, 331 dan Muslim no.110 )

Berkata Imam As Shan`ani rahimahullah di dalam Subulus Salam setelah membawakan hadits di atas: "Hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan najisnya darah haid".

Kaum muslimin sendiri telah bersepakat bahwa darah haid itu najis dengan nash yang ada ini dan Imam an-Nawawi menukilkan adanya ijma` dalam hal ini. Adapun darah nifas, hukumnya sama dengan darah haid.

5. Bangkai
Begitu pula halnya dengan bangkai, ulama sepakat tentang kenajisannya sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, juga Imam Nawawi dalam Al Majmu.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda :
Apabila kulit telah disamak maka itu merupakan pensuciannya. (HR. Muslim no. 105)

Dari hadits di atas dipahami bahwa kulit hewan yang telah mati (bangkai) itu najis sehingga bila ingin disucikan harus disamak terlebih dahulu. Apabila kulitnya saja dihukumi najis maka tentunya bangkainya lebih utama lagi untuk dihukumi akan kenajisannya.
Dikecualikan dari bangkai ini adalah :
1. Bangkai manusia dengan keumumam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam:
Sesungguhnya mukmin itu tidak najis. (HR. Bukhari no. 283 dan Muslim no. 371)
2. Bangkai hewan laut dengan dalil firman Allah ta`ala :
Dihalalkan bagi kalian binatang buruan dari laut dan makanan dari hasil laut… (Al Maidah : 96)
Imam Thabari menukilkan dari Ibnu Abbas rahimahumullah tafsir dari ayat di atas, yakni yang dimaksud dengan صَيْدُهُ adalah binatang laut itu diambil dalam keadaan hidup dan طَعَامُهُ adalah binatang itu diambil dalam keadaan mati (telah menjadi bangkai) .
Dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda :
Laut itu suci airnya dan halal bangkainya. (Hadits shahih diriwayatkan Ashabus Sunan dan dishahihkan Syaikh Albani dalam kitab beliau Ash Shahihah 1/480)

3. Setiap hewan yang tidak memiliki darah yakni darahnya tidak mengalir ketika hewan itu dibunuh atau terluka seperti lalat, belalang, kalajengking dan lainnya. Berdalil dengan hadits :
Apabila jatuh lalat dalam bejana salah seorang dari kalian maka hendaklah ia mencelupkan lalat tadi ke dalam air kemudian dibuangnya. (HR. Bukhari no. 3320)
Imam Ash Shan`ani rahimahullah berkata: "Dimaklumi bahwa lalat akan mati apabila jatuh ke dalam air ataupun makanan terlebih lagi apabila makanannya dalam keadaan panas. Maka sendainya lalat itu menajisi makanan tersebut niscaya makanan tersebut rusak sedangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam memerintahkan untuk memperbaiki makanan yang ada, tidak merusakkannya". (Subulus Salam)

Ketiga point di atas sebenarnya ada perselisihan pendapat tentang kenajisannya, namun pendapat yang kuat dengan dalil yang ada, ketiganya bukanlah najis, wallahu ta`ala a`lam bishawwab.

Sudah semestinya setiap muslim mengetahui perkara-perkara penting dalam agamanya khususnya dalam pembahasan kita tentang najasat agar tidak terjatuh dalam kekeliruan dan kesalahan yang dapat merusakkan ibadahnya kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Wallahul muwaffiq lima yuriduhu ilashawab.