Rabu, 09 Juni 2010

MENGIKIS EGO - PENIADAAN RASA DIRI


Ego adalah tembok baja yang memisahkan manusia dari Tuhan. Ia merupakan unsur busuk yang menyeret manusia dari ketinggian martabat ilahinya dan membuatnya berdegenerasi menjadi makhluk yang berbasiskan insting-insting khewani serta impuls-impuls brutal. ~ Sri Swami Sivananda.

Mengikis ego sama-sekali bukan sesuatu yang teoritis, melainkan hal yang sepenuhnya praktis. Tentu saja ‘praktis’ disini bukan dalam artian fisikal-mekanis. Kita tak bisa berbuat sesuatu untuk mengikis ego. Ego tidak dikikis dengan berbuat —apakah itu berupa persembahyangan, berdoa, atau dengan berderma, melangsungkan aktivitas sosial kemanusiaan atau sejenisnya— apalagi melalui mengintelektualisasikannya.

Adalah teramat janggal untuk berkata, “Aku harus mengikis ego ini. Ia mencelakakanku!” Justru ‘si aku’ yang berhasrat kuat mengikis ego inilah si ego itu sendiri, dalam manifestasinya yang sedikit lebih tinggi, lebih halus. Apalagi kalau saya berbangga dan berkata dalam hati, “Aku telah mengikis ego”, atau “Egoku kini sudah jauh lebih tipis dibanding sebelumnya”. Ini benar-benar konyol.

Coba renungkan; bukankah soal mengikis ego itu sebetulnya tiada lain dari masalah peniadaan rasa-diri? Semasih ada rasa-diri, ego akan tetap bertahan. Rasa-diri inilah ekspresi dari si ego. Ekspresi lainnya, yang sebetulnya sangat kita akrabi adalah, rasa kepemilikan dan sikap-sikap pementingan diri sendiri, pendahuluan urusan sendiri atau sejenisnya, yang umumnya disebut dengan sikap egoistis.

Rasa-diri atau sebentuk rasa yang merasa sebagai sesosok entitas solid, sesosok pribadi utuh yang sepenuhnya berbeda dan sama-sekali terpisah dari diri-diri lainnya, kecuali yang dianggapnya sebagai miliknya, kepunyaannya, hasil-karyanya, jasanya, dan yang sejenisnya. Rasa-diri yang sama jualah yang beranggapan kalau ia adalah ‘pusat semesta’, dimana segala sesuatunya dan diri-diri lainnya berputar, mengorbit di sekelilingnya —yang seringkali juga disebut egosentris itu.

Kalau begitu, apakah ego tak bisa dikikis? Apakah rasa-diri tak bisa ditiadakan? Atau, pertanyaannya malah menjadi, tidakkah mempertanyakan ini sebetulnya ekspresi lain dari egoisme itu sendiri? 
 
Renungkanlah Sahabat!


MASIH MEMPERTENGKARKAN AJARAN AGAMA

 
We seek peace, knowing that peace is the climate of freedom.
~ Dwight D. Eisenhower.

Siapa atau apa adanya Anda, jelas bukan seperti apa yang dikatakan oleh buku-buku, oleh kitab-kitab seberapa banyak orangpun menganggapnya suci, oleh orang-orang, atau oleh siapapun itu adanya. Kitalah yang sepatutnya paling tahu siapa atau apa adanya kita bukan?

Namun, sebelum kita berkemampuan menemukan sendiri atau mengetahui sendiri secara langsung, tentu adalah arif untuk meminta bantuan orang lain yang bisa dipercaya, yang telah lebih dulu menemukannya bukan? Kitab-kitab yang tepat, yang ditulis oleh mereka yang bisa dipercaya telah menemukan Diri-Nya Sendiri misalnya, yang umumnya kita sebut dengan kitab-kitab suci itu, juga sekedar alat-bantu yang bisa jadi efektif bila digunakan dengan baik.

Nah ... dalam hal menggunakan alat-bantu serupa, hendaklah kita sadar kalau setiap orang akan menuangkan apa yang dipahaminya sesuai kebiasaan, tradisinya, budayanya serta kemampuannya berekspresi —yang tentu saja tidak harus sama satu dengan yang lainnya. Mereka bisa menggunakan gaya-bahasa, bahkan bahasa yang berbeda-beda. Dan itu, tak perlu dipersoalkan; tak juga ada keharusan untuk menirunya, sejauh dibutuhkan adalah esensi dari apa yang disampaikan.

Itu pada sisi beliau-beliau itu. Sekarang pada sisi kita. Kita —disamping punya kebiasaan, tradisi dan budaya masing-masing— juga punya tingkat kemampuan atau daya yang berbeda-beda didalam mencerap intisari dari sesuatu yang kita pelajari bukan? Dan ini, lagi-lagi tidak sama. Anda, bisa saja mampu mengkristalisasikan sebuah kitab ajaran luhur hanya dalam sebulan, sementara untuk hal yang sama saya butuh waktu setahun untuk itu, misalnya. Tidak harus sama!

Makanya, ada yang mengatakan bahwa ‘apabila seseorang telah memasuki jantung dari ajaran agama yang dianutnya, iapun akan bisa melihat kebenaran dalam ajaran agama manapun’. Ada pula yang mengatakan kalau ‘yang mempertengkarkan ajaran-ajaran agama justru yang tidak menerapkan ajaran agama yang dianutnya itu’. Sebab, walau tidak sama persis, mereka mengajarkan pokok-pokok ajaran yang —secara esensial— sama. Menyadari fakta ini, bukankah sangat menggelikan mempertentangkan untuk kemudian mempertengkarkan ajaran-ajaran luhur itu?

Renungkanlah Sahabatku...


AGAMA MEDITASI


Tersebutlah seorang Guru Buddhis yang sudah cerah sedang duduk di tepi sungai pada suatu senja yang indah, menikmati suara gemercik air, serta suara angin yang bertiup di sela-sela pepohonan ...

Seorang lelaki menghampirinya dan bertanya, “Bisakah Bapak memberitahu saya satu kata yang mencerminkan esensi dari agama Bapak?”

Guru itu tetap diam, benar-benar hening, seolah-olah beliau tak mendengar pertanyaan itu.

Lama menunggu, sang penanya berkata, “Bapak ini bisa bicara atau gimana sih?”

“Aku mendengar pertanyaanmu, dan akupun sudah menjawabnya! Hening adalah jawabannya. Aku tetap hening —jeda itu, interval itu, adalah jawabanku.”

Lelaki itu bertanya lagi, “Saya tidak mengerti jawaban misterius seperti itu. Bisakah Bapak menyampaikannya sedikit lebih jelas lagi?”

Menggunakan jari tangannya, Guru itu menggerakkan tangannya menulis di pasir: meditasi.

“Saya bisa membacanya” kata lelaki itu, “Ini sedikit lebih baik dari yang pertama tadi. Sekurang-kurangnya saya memperoleh sebuah kata untuk direnungakan. Akan tetapi, bisakah Bapak sedikit lebih memperjelasnya?”

Guru itu menulis lagi dengan jarinya: MEDITASI. Sekarang ini beliau tentu menuliskannya dengan huruf kapital dan besar-besar.

Lelaki itu merasa agak kesal, ia merasa dipermalukan; dan berkata, “Lagi-lagi Bapak menulis meditasi? Bisakah Bapak sedikit lebih jelas lagi?”

Guru itupun menulis dengan huruf kapital yang lebih besar lagi: M E D I T A S I.

”Bapak ini seperti gila ya!?”, kata lelaki itu.

“Aku sudah turun sangat ke bawah. Jawaban pertama adalah jawaban yang benar, jawaban kedua tidaklah begitu benar, jawaban ketiga bahkan lebih salah lagi, dan jawaban keempat sudah sangat salah”, kata Guru itu.

Manakala Anda menuliskan kata “meditasi” dengan huruf kapital, Anda telah “mendewakannya”.

~ Osho.

WUJUD TUHAN

 
Seorang atheis menemui Guru dan berkata: “Saya dengar Bapak telah bertemu langsung dengan Tuhan. Apa benar?”

“Ya”, jawab Guru kalem.

“Bagaimana wujud Tuhan?”

“Apakah Tuhan harus berwujud?”, Guru balik bertanya.

“Apakah Tuhan tidak berwujud?”

“Tidak ada yang mengharuskan Tuhan berwujud pun tidak berwujud. Manusialah yang sibuk mempersoalkan hal yang remeh-temeh itu.”

***

Kebanyakan dari kita —baik yang theis maupun yang mengaku atheis— umumnya punya sebentuk konsep tentang segala sesuatu, termasuk tentang Tuhan. Konsep inilah yang kita percayai, kita pertahankan mati-matian, bahkan sampai saling bunuh. Konsep-konsep ini jugalah yang kemudian kita sebut ‘agama’ ataupun ‘kepercayaan’, bahkan ‘keyakinan’.

Padahal, yang sebetulnya dipersoalkan bukanlah ada atau tidaknya Tuhan, berwujud atau tidaknya Tuhan, dan semua tetek-bengek itu, melainkan konsep-konsep kita tentang itu.

Makanya, pertanyaan mendasar kita sebetulnya adalah: Apakah kita bisa bebas dari konsep... bukan secara intelektual, melainkan secara faktual, secara eksperiensial?