Selasa, 09 Februari 2010

KEINDAHAN NAN MAHA INDAH


Sebagaimana padi adalah bukti biji-bijian, pula kekupu adalah bukti kepompong duhai Saki, sebagaimana arak adalah bukti ke-angguran, pula mabuk adalah bukti kepayang demikian pula Pengingat, sang dzaakir, adalah bukti akan yang diingat dan IndahNya, lukisan alam mayapada, adalah bukti akan KeindahanNya.

Cantiknya wujud adalah lautan keindahan tiada tara yang dilihat oleh hamba-hamba yang tenggelam dalam samudera IngatanNya akan diriNya sendiri. Maka, jelas dalam jiwa-jiwa mereka adalah nyanyian merdu alastu birobbikum. Apa yang mereka lihat? Samudera dalam sekendi air, bahkan segenap kehidupan dalam setetes air. Mentari dalam rembulan, bahkan Sang Maha Matahari Bersinar di dalam hati namun sejuk sekali. Kesucian Nya Yang Maha Suci dalam tasbih-tasbih, bahkan dalam desahan dan keluhan.

Kehidupan ini bagi Pengingat, adalah Nan Diingat Keberadaan ini bagi Pecinta, adalah Nan Dicinta Pengingat -lah nan Diingat, dan nan diingingat -lah pengingat Sebagaimana Layla tampak bagi Majnun, walau di mata domba, dan Majnun tampak bagi Layla walau dibalik domba.

Bahwasanya orang yang senantiasa tenggelam dalam ingatan kepadaNya adalah diriNya sendiri, sebagaimana menurut Ibn ‘Arabi (q.s.) tentang makna man ‘arafa nafsahu faqod ‘arafa robbahu, barangsiapa mengenal bahwa dirinya adalah ketiadaan, dan tiada selain Dia, maka Ia telah mengenal TuhanNya, yakni Yang Maha Ada.

Dituliskan oleh kekasih orang-orang beriman di akhir zaman, Imam Ruhullah Al-Musawi Khomeini dalam al-aadab al-ma’nawiyyah li ash-sholah, Allah Ta’aala berfirman kepada Nabi Musa ‘alaihissalam (dalam al-Kafiy); Wahai Musa, jangan tinggalkan dzikir (kepada)-Ku dalam setiap perkara. Beliau juga mengutipkan sebuah hadits mulia dari Ash-Shodiq (‘alaihis-salaamu); Allah Ta’alaa berfirman ; Wahai Bani Adam, ingatlah Aku dalam dirimu, (niscaya) aku akan ingat dirimu di dalam diri-Ku. Juga dalam Al-Kaafiy yang mulia, Beliau ( Ash-Shadiq ‘alaihis-salaamu) bersabda; Adz-dzaakiru (Orang yang berdzikir) kepada Allah ‘Azza wa Jalla di tengah-tengah orang yang lupa bagaikan orang yang mati dari orang-orang yang berperang ( al-muhaaribiina al-ghoziina).

Yakni, pedzikir kepadaNya di kalangan orang-orang yang lalai, adalah orang yang telah mati sebelum mati, telah terbuka hijab baginya bahwa dirinya tiada, dan Yang Ada hanyalah Dia Semata. Man ‘arafa nafsahu, yakni barang siapa mengenal dirinya, bahwa dirinya adalah ketiadaan, dan Yang Ada hanyalah Dia, faqod ‘arafa robbahu, maka Dia Mengenal Tuhannya, dan mengenangNya setiap saat.

Mengenang KaruniaNya, KeIndahanNya, Samudera AmpunanNya, Bahari KenikmatanNya, Mentari RahmatNya, Kelembutan WujudNya dan IndahNya yang mengaliri seluruh alam dini dengan merah delima dan merah mutiara mata-mata perindu padaNya yang memerah, pula desah-desah rintihan persatuan padaNya yang melarik ke langit, serta gelinjang-gelinjang hati-hati pecintaNya yang bak ikan mas berenang-renang di samudera luas keberadaanNya.

Sungguh Ia adalah bukti atas diriNya sendiri
sebagaimana tiada bukti atas Wujud kecuali Wujud
Sungguh Ia adalah bukti atas benarNya sendiri
maka tiada Kebenaran, kecuali Ia menjadi penglihatanmu sendiri.
orang buta menyangka ia melihat dengan matanya
orang ‘alim menyangka ia melihat dengan ilmunya
orang kasyaf menyangka ia melihat dengan bashirohnya
si faqir telah arif, Ia melihat dengan diriNya.
aku-lah bukti akan dia
dan dia-lah bukti aku
karena aku dan dia tak perlu menyatu, kerna tak pernah mendua
kerna dia dan aku tak perlu bersatu, aku -lah dia -lah aku.
oh, pemilik hati, kenali dengan cinta
oh, pemilik mantik, kenali dengan burhan
bahwa Dia Cantik, Cantik Sendiri
bahwa Dia Terang, Dengan Sendiri.


KEINDAHAN NAN MAHA INDAH 02

Ku pinta diKau dengan KesempurnaanMu, dan Yang Tersempurna dari SempurnaMu, dan sungguh seluruh SempurnaMu benar Sempurna ku gapai diKau dengan KejelitaanMu, dan Yang Terjelita dari JelitaMu, dan sungguh seluruh JelitaMu benar Jelita ku seru diKau dalam KeTinggianMu, dan Yang Tertinggi dari TinggiMu, dan sungguh seluruh TinggiMu benar Tinggi ku seru diKau dalam KeSucianMu, dan Yang Tersuci dari SuciMu, dan sungguh seluruh SuciMu benar Suci.
Mata berbinar mesra dan mulut dipenuhi dengan kulum senyum lembut. Redup cahaya mata menatapi Wajah Jelita Nan Molek Rupawan dan Pipi-Pipi Nan Senantiasa Memerah berpendaran. Belum lagi celak-celak keunguan, Oh, demikian IndahNya memukau Indah-IndahNya di hati peCintaNya yang mabuk dalam keIndahanNya.
Bila kekupu terbang dengan sayap sepasang,
dan laron berkitar dengan sayap sepasang,
pula Arkhoun menatap dengan mata sepasang,
tapi Majnun menatap Layla dengan Layla seorang !
Demikanlah rintih pecinta, laa yunaalu dzaalika illa bi fadhlik, tak kan tercapai tatapan pada JelitaNya kecuali dengan KaruniaNya sendiri. Tak kan melihat KeindahanNya kecuali dengan KeindahanNya sendiri, JelitaNya kecuali dengan MolekNya sendiri, Lentik AlisNya kecuali dengan Hijau CelakNya Sendiri.
Duhai yang mengaruniai hambaNya dengan tatapan KepadaNya,
dan tiada tatapan KepadaNya kecuali dengan PenglihatanNya Sendiri.
Duhai yang mengaruniai hambaNya dengan pendengaran atas MerduNya,
dan tiada pendengaran atasNya kecuali dengan PendengaranNya sendiri.
Duhai yang mengaruniai hambaNya dengan jalan lurus KepadaNya,
dan tiada jalan lurus KepadaNya kecuali adalah Dia Sendiri.
Duhai yang mengaruniai segenap Kenikmatan pada hambaNya,
dan tiada Kenikmatan kecuali Dia Sendiri.

Maka sebagian orang katakan ku telah lihat Keindahan Tuhan di mana-mana. Betapa mungkin Tuhan dilihat oleh selain diriNya? Laa tudrikuhu al-abshooru wa huwa yudriku al-abshooro. Tak menyentuhnya (semua) penglihatan dan Ia menyentuh (semua) penglihatan. Mungkin inilah pandangan majazi atau khayali yang diibaratkan oleh Maulana Rumi dalam sya`irnya;
kefasihan burung-burung istana hanyalah pantulan suara;
di manakah perkataan burung Nabi Sulaiman.
bagaimana kau akan mengenal kicau mereka,
jika kau tak pernah melihat Nabi Sulaiman sejenak pun.
Jauh di seberang Timur dan Barat bertebaran sayap burung,
yang lagunya menggetarkan hati yang mendengar.
Ia terbang bolak-balik antara bumi dan ‘arasy Tuhan,
bersama keagungan dan kemuliaannya.

Maka Penatap Tuhan terdiam seribu bahasa, bagi mereka “aku” sama saja dengan “bukan aku”, karena tak ada apapun yang dapat disifatkan kepada ketiadaan. Bagi mereka “kutatap Tuhan” tak ada bedanya dengan “Tuhan menatap Tuhan”, yakni, “mereka” adalah ketiadaan sedang satu-satunya fa’il (pelaku) adalah Zat Yang Maha Kudus. Yaa man dalla ‘ala dzaatihi bidzaatihi. Wahai Yang Menunjukkan ZatNya dengan ZatNya.
Bak ufuk Tmur yang bertanya pada selatan, pula utara,
di manakah Mentari Terbit.
Bak Samudera Raya yang bertanya pada sumur, pula kali,
di manakah Air Berada.
demikian pula pecinta berkata Cinta, juga asmara,
padahal berkata Cinta pastilah sirna.
juga para pemantik berkata Wujud, juga Sebab,
padahal berkata Wujud pastilah wujud.

Ikal kekang “aku”, “kita”, “kamu” telah lenyap. Laso itu telah lenyap, dan demikianlah Jiwa Pecinta terlepas dari kepompong dan penjara alam material melesat menuju Jiwa nan Satu, Sang Pecinta, Sang Pendamba, Sang Perindu, yang turun dari Hadhrat Zat Suci ke Hadhrat Asma ke Hadhrat Sifat ke Hadhrat Af’al. Bagi para pecinta yang tak kenal timur dan barat, lenyaplah timur dan barat. Bagi para pecinta yang tak kenal kini dan esok, lenyaplah waktu baginya. Maka, man ‘arafa nafsahu, yakni bagi yang mengenal bahwa dirinya ketiadaan dan Tiada Selain Dia Semata, lenyaplah semua hal termasuk nama dan identitasnya sendiri, dan, faqod ‘arafa robbahu, Dia Mengenal Tuhannya dengan Tuhannya itu sendiri, yakni Allah adalah Cahaya Langit dan Bumi, tak lain Dia Yang Zhohir dan Bathin, dan Yang Awal dan Yang Akhir, tak lain Dia Yang Maha Meliputi segala sesuatu Yaa Allah Karuniakan padaku tatapan KepadaMu dan Kemulaan Keterputusan kepada SelainMu, hingga dengan Pancaran wajahMu, tersingkaplah hijab-hijab CahayaMu.
Amin.


KEINDAHAN NAN MAHA INDAH 03

Cahaya falak bak malak, dialah surya walau tampaknya reremangan, compang fakir camping sangat, dialah Raja di Raja walau bergelandangan.
BirdSungguh Ia, Maha Kudus, telah menyembunyikan kekasih-kekasih-Nya di bawah kubah Keamanan dan LindunganNya, sehingga tak satupun bisa mengusik. Dan Sungguh Ia, Maha Kudus, telah menutupi para pecinta Nya yang Ia cintai dalam hakikat huwiyyah (keDiaan) -Nya yang azali, sehingga dikatakan laa ya’rifu al-waliyya illa al-waliyyu, tak mengenal Wali (Kekasih-Nya) kecuali Wali (Kekasih-Nya). Dan siapakah Wali-Wali -Nya? Siapakah Pecinta-PecintaNya yang Dia Cintai?
Alaa inna auliyaa`alloohi laa khoufun ‘alaihim wa laa hum yahzanuun. Ketahuilah, sesungguhnya Wali-Wali Alloh, bagi mereka tak ada takut tak pula khawatir. Bagaimana mungkin mereka khawatir, sedangkan ke mana saja mereka menghadap di situlah Wajah Allah? Betapa mungkin mereka takut, sedang tiada selembar daun pun jatuh di suatu tempat tak pula tumbuh melainkan semua itu atas Kehendak dan Izin Kekasih Yang Maha Cantik dan Maha kasih. Dan betapa mungkin gelombang peristiwa dan kejadian, walaupun gunung-gunung semua beterbangan dan langit tergulung, membuatnya sedih sedangkan tiada satu ruang dan waktu selembut apa pun melainkan Kekasih Nan Maha Lembut Meliputinya dengan aliran memerah Kasih Sayangnya yang tak terperi.
Ia nan selalu merasakan buaian dan dekapan mesra,
ia pula nan selalu berbulan madu,
di awan-awan lagit membiru dengan asmara,
ia pula nan selalu dibuai-buai oleh Tuhannya, Wali bobo oh Wali bobo,
ia pula nan selalu dicumbu-guraui oleh Tuhannya,
duhai Majnunku duhai Romeoku.
Bagi para pecintaNya, Sungguh Kekasih itu Dekat, Dekat Sekali, bahkan lebih dekat dari urat lehernya. Hingga, udara dan dedaunan senantiasa merupakan alunan Salam baginya dari Kekasih. Hawa dan kelembutannya adalah sentuhan lembut lentik Jemari Sang Maha Layla. Kicau-kicau burung adalah merdu panggilannya, oh Qays-ku, pinta sang Maha Layla. Dan desahan jengkerik dan serangga-serangga dari jauh seolah adalah hehijaban cadar berlapis seribu bahkan tujuh puluh ribu dari Layla, Di Sinilah WajahKu, Di Sinilah WajahKu, bisiknya mesra.
tiada mungkin bayi cari pelukan selain ibunya,
apa pula Qays ada dalam pelukan selain Lyala
segala mayapada, dan nanti bakapada ini,
tak lain dan bukan selain pelukanNya kasihNya

Maka bila orang ta’at agar memperoleh tsawab (ganjaran surgawi / pahala), sang pecinta ta’at karena malu. Bila orang menangis mengingat neraka, sang pecinta menangis karena rindu. Bila orang tangisi nasibnya dan kerendahan ruhaninya, sang pecinta menangis karena WajahMu yaa Laylaku, di manakah ia? Bila orang bertaubat, dan terimalah taubatku Wahai Yang Maha Pengampun, maka pecinta rintihkan Lakukan Apa Yang Layak Bagi diriMu, dan jangan lakukan apa yang kuinginkan, waf’al bi maa anta ahluh, wa laa taf’al bimaa ana ahluh . Bila orang meratap-ratap dengan berbagai bala` dan bencana , maka pecinta menangis syahdu atas segala Perhatian Kekasihnya yang Abadi kepadanya.
Langit ini adalah langitMu, dan bumi ini adalah bumiMu
maka walau di tangan ku ada piala, kutahu ini adalah pialaMu
Timur ini adalah baratMu, dan barat ini adalah timurMu
maka walau di mata ku ada Kamu, ku tahu ini adalah tatapanMu
lagit dan bumi, dan dua dunia
melangit dan membumi, dosa-dosa hamba
namun lagit dan bumi, MilikMu Layla
WajahLayla, buat Majnun lupa diri, apalagi dosa
AnggurMu, namun dari PialaMu
Dalam PialaMu, namun dengan TuanganMu
TuanganMu, namun dengan IsyaratMu, minumlah
Kuminum, namun dengan tenggakanMu, mabuklah
Kumabuk, namun bukan karena Anggur
Kusempoyong, namun bukan karena Piala,
BibirMu Nan Mendayu Merah duhai Penuang
Buat Hatiku Membara Merah, Duhai Sayang
apa pun yang dikatakan, orang
apapun yang kukatakan, “aku”
apa pun yang dikatakan, angin
Engkau adalah Engkau, MuliaMu adalah JelitaMu
orang-orang nan cari Kemuliaan, adalah bak,
rusa-rusa nan cari Kerusaan, adalah bak,
para pedagang nan cari Perdagangan, adalah bak,
pecinta nan mencari Wajah, nafilah sirnalah tanpa bak !

Wa Allohu a’lam bi ash-showwab.

SARASEHAN ILMU KESAMPURNAAN


Terjemahan :
Serat Kekiyasanning Pangracutan salah satu buah karya sastra Sultan Agung raja antara ( 1613 – 1645 ).

Ini adalah keterangan Serat Suatu pelajaran tentang Pangracutan yang telah disusun oleh Baginda Sultan Agung Prabu Anyakrakusuma di Mataram atas berkenan beliau untuk membicarakan dan temu nalar dalam hal ilmu yang sangat rahasia, untuk mendapatkan kepastian dan kejelasan dengan harapan dapat dirembuk dengan para ahli ilmu kasampurnaan.

Adapun mereka yang diundang dalam temu nalar itu adalah :

1. Panembahan Purbaya

2. Panembahan Juminah

3. Panembahan Ratu Pekik di Surabaya

4. Panembahan Juru Kithing

5. Pangeran di Kadilangu

6. Pangeran di Kudus

7. Pangeran di Tembayat

8. Pangeran Kajuran

9. Pangeran Wangga

10. Kyai Pengulu Ahmad Katengan

1. Berbagai Kejadian Pada Jenazah

Adapun yang menjadi pembicaraan, beliau menanyakan apa yang telah terjadi setelah manusia itu meninggal dunia, ternyata mengalami bermacam-macam kejadian pada jenazahnya dari berbagai cerita umum, juga menjadi suatu kenyataan bagi mereka yang sering menyaksikan keadaan jenazah yang salah kejadian atau berbagai macam kejadian pada keadaan jenazah adalah berbagai diketengahkan dibawah ini :

1) Ada yang langsung membusuk

2) Ada pula yang jenazahnya utuh

3) Ada yang tidak berbentuk lagi, hilang bentuk jenazah

4) Ada pula yang meleleh menjadi cair

5) Ada yang menjadi mustika (permata)

6) Istimewanya ada yang menjadi hantu

7) Bahkan ada yang menjelma menjadi hewan.

Masih banyak pula kejadianya, lalu bagaimana hal itu dapat terjadi apa yang menjadi penyebabnya.

Adapun menurut para pakar setelah mereka bersepakat disimpulkan suatui pendapat sebagai berikut :

Sepakat dengan pendapat Sultan Agung bahwa manusia itu setelah meninggal keadaan jenazahnya berbeda-beda itu suatu tanda bahwa disebabkan karena ada kelainan atau salah kejadian (tidak wajar), makanya demikian karena pada waktu masih hidup berbuat dosa setelah menjadi mayat pun akan mengalami sesuatu masuk kedalam alam penasaran. Karena pada waktu pada saat sedang memasuki proses sakaratul maut hatinya menjadi ragu, takut, kurang kuat tekadnya, tidak dapat memusatkan pikiran hanya untuk satu ialah menghadapi maut.

Maka ada berbagai bab dalam mempelajari ilmu ma’rifat, seperti yang akan kami utarakan berikut ini :

1. Pada waktu masih hidupnya, siapapun yang senang tenggelam dalam kekayaan dan kemewahan, tidak mengenal tapa brata, setelah mencapai akhir hayatnya, maka jenazahnya akan menjadi busuk dan kemudian menjadi tanah liat sukmanya melayang gentayangan dapat diumpamakan bagaikan rama-rama tanpa mata sebaliknya, bila pada saat hidupnya gemar menyucikan diri lahir maupun batin. Hal tersebut sudah termasuk lampah maka kejadiannya tidak akan demikian.

2. Pada waktu masih hidup bagi mereka yang kuat pusaka tetapi tidak mengenal batas waktunya bila tiba saat kematiannya maka mayatnya akn terongok menjadi batu dan membuat tanah perkuburannya itu menjadi sanggar adapun rohnya akan menjadi danyang semoro bumi walaupun begitu bila masa hidupnya mempunyai sifat nrima atau sabar artinya makan tidur tidak bermewah-mewah cukup seadanya dengan perasaan tulus lahir batin kemungkinan tidaklah seperti diatas kejadiannya pada akhir hidupnya.

3. Pada masa hidupnya seseorang yang menjalani lampah tidak tidur tetapi tidak ada batas waktu tertentu pada umumnya disaat kematiannya kelak maka jenaahnya akan keluar dari liang lahatnya karena terkena pengaruh dari berbagai hantu yang menakutkan. Adapun sukmanya menitis pada hewan. Walaupun begitu bila pada masa hidupnya disertai sifat rela bila meninggal tidak akan keliru jalannya.

4. Siapun yang melantur dalam mencegah syahwat atau hubungan seks tanpa mengenal waktu pada saat kematiannya kelak jenazahnya akan lenyap melayang masuk kedalam alamnya jin, setan, dan roh halus lainnya sukmanya sering menjelma menjadi semacam benalu atau menempel pada orang seperti menjadi gondaruwo dan sebagainya yang masih senang mengganggu wanita kalau berada pada pohon yang besar kalau pohon itu di potong maka benalu tadi akan ikut mati walaupun begitu bila mada masa hidupnya disertakan sifat jujur tidak berbuat mesum, tidak berzinah, bermain seks dengan wanita yang bukan haknya, semuanya itu jika tidak dilanggar tidak akan begitu kejadiannya kelak.

5. Pada waktu masih hidup selalu sabar dan tawakal dapat menahan hawa nafsu berani dalam lampah dan menjalani mati didalamnya hidup, misalnya mengharapkan janganlah sampai berbudi rendah, rona muka manis, dengan tutur kata sopan, sabar dan sederhana semuanya itu janganlah sampai belebihan dan haruslah tahu tempatnya situasi dan kondisi dan demikian itu pada umumnya bila tiba akhir hayatnya maka keadaan jenazahnya akan mendapatkan kemuliaan sempurna dalam keadaannya yang hakiki. Kembali menyatu dengan zat yang Maha Agung, yang dapat mneghukum dapat menciptakan apa saja ada bila menghendaki datang menurut kemauannya apalagi bila disertakan sifat welas asih, akan abadilah menyatunya Kawulo Gusti.

Oleh karenanya bagi orang yang ingin mempelajari ilmu ma’arifat haruslah dapat menjalani : Iman, Tauhid dan Ma’rifat.

2. Berbagai Jenis Kematian

Pada ketika itu Baginda Sultan Agung Prabu Hanyangkra Kusuma merasa senang atas segala pembicaraan dan pendapat yang telah disampaikan tadi. Kemudian beliau melanjutkan pembicaraan lagi tentang berbagai jenis kematian misalnya :

1. Mati Kisas

2. Mati kias

3. Mati sahid

4. Mati salih

5. Mati tewas

6. Mati apes

Semuanya itu beliau berharap agar dijelaskan apa maksudnya maka yang hadir memberikan jawaban sebagai berikut :

Mati Kisas, adalah suatu jenis kematian karena hukuman mati. Akibat dari perbuatan orang itu karena membunuh, kemudian dijatuhi hukuman karena keputusan pengadilan atas wewenang raja.

Mati Kias, adalah suatu jenis kematian akibatkan oleh suatu perbuatan misalnya: nafas atau mati melahirkan.

Mati Syahid, adalah suatu jenis kematian karena gugur dalam perang, dibajak, dirampok, disamun.

Mati Salih, adalah suatu jenis kematian karena kelaparan, bunuh diri karena mendapat aib atau sangat bersedih.

Mati Tiwas, adalah suatu jenis kematian karena tenggelam, disambar petir, tertimpa pohon , jatuh memanjat pohon, dan sebagainya.

Mati Apes, suatu jenis kematian karena ambah-ambahan, epidemi karena santet atau tenung dari orang lain yang demikian itu benar-benar tidak dapat sampai pada kematian yang sempurna atau kesedanjati bahkan dekat sekali pada alam penasaran.

Berkatalah beliau : “Sebab-sebab kematian tadi yang mengakibatkan kejadiannya lalu apakah tidak ada perbedaannya antara yang berilmu dengan yang bodoh ? Andaikan yang menerima akibat dari kematian seornag pakarnya ilmu mistik, mengapa tidak dapat mencabut seketika itu juga ?”

Dijawab oleh yang menghadap : “Yang begitu itu mungkin disebabkan karena terkejut menghadapi hal-hal yang tiba-tiba. Maka tidak teringat lagi dengan ilmu yang diyakininya dalam batin yang dirasakan hanyalah penderitaan dan rasa sakit saja. Andaikan dia mengingat keyakinan ilmunya mungkin akan kacau didalam melaksanakannya tetapi kalau selalu ingat petunjuk-petunjuk dari gurunya maka kemungkinan besar dapat mencabut seketika itu juga.

Setelah mendengar jawaban itu beliau merasa masih kurang puas menurut pendapat beliau bahwa sebelum seseorang terkena bencana apakah tidak ada suatu firasat dalam batin dan pikiran, kok tidak terasa kalau hanya begitu saja beliau kurang sependapat oleh karenanya beliau mengharapkan untuk dimusyawarahkan sampai tuntas dan mendapatkan suatu pendapat yang lebih masuk akal.

Kyai Ahmad Katengan menghaturkan sembah: “Sabda paduka adalah benar, karena sebenarnya semua itu masih belum tentu , hanyalah Kangjeng Susuhunan Kalijogo sendiri yang dapat melaksanakan ngracut jasad seketika , tidak terduga siapa yang dapat menyamainya

3. Wedaran Angracut Jasad

Adapun Pangracutan Jasad yang dipergunakan oleh Kangjeng Susuhunan Kalijogo, penjelasannya yang telah diwasiatkan kepada anak cucu seperti ini caranya:

“Badan jasmaniku telah suci, kubawa dalam keadaan nyata, tidak diakibatkan kematian, dapat mulai sempurna hidup abadi selamanya, didunia aku hidup, sampai di alam nyata (akherat) aku juga hidup, dari kodrat iradatku, jadi apa yang kuciptakan, yang kuinginkan ada, dan datang yang kukehendaki”.

4. Wedaran Menghancurkan Jasad

Adapun pesan beliau Kangjeng Susuhunan di Kalijogo sebagai berikut : “Siapapun yang menginginkan dapat menghancurkan tubuh seketika atau terjadinya mukjizat seperti para Nabi, mendatangkan keramat seperti para Wali, mendatangkan ma’unah seperti para Mukmin Khos, dengan cara menjalani tapa brata seperti pesan dari Kangjeng Susuhunan di Ampel Denta :

1. Menahan Hawa Nafsu, selama seribu hari siang dan malamnya sekalian.

2. Menahan syahwat (seks), selama seratus hari siang dan malam

3. Tidak berbicara, artinya membisu, dalam empat puluh hari siang dan malam

4. Puasa padam api, tujuh hari tujuh malam

5. Jaga, lamanya tiga hari tiga malam

6. Mati raga, tidak bergerak lamanya sehari semalam.

Adapun pembagian waktunya dalam lampah seribu hari seribu malam itu beginilah caranya :

o Manahan hawa nafsu, bila telah mendapat 900 hari lalu teruskan dengan

o Menahan syahwat, bila telah mencapai 60 hari, lalu dirangkap juga dengan

o Membisu tanpa berpuasa selama 40 hari, lalu lanjutkan dengan

o Puasa pati selama 7 hari tujuh malam, lalu dilanjutkan dengan

o Jaga, selama tiga hari tiga malam, lanjutkan dengan

o Pati raga selama sehari semalam.

Adapun caranya Pati Raga adalah : tangan bersidakep kaki membujur dan menutup sembilan lobang ditubuh, tidak bergerak-gerak, menahan tidak berdehem, batuk, tidak meludah, tidak berak, tidak kencing selama sehari semalam tersebut. Yang bergerak tinggallah kedipnya mata, tarikan nafas, anapas, tanapas nupus, artinya tinggal keluar masuknya nafas, yang tenang jangan sampai bersengal-sengal campur baur.

MENJAUH DAN MENDEKAT

 
Makhluk hidup memiliki kecenderungan,
Menjauhi sesuatu yang tidak disenangi,
Mendekati sesuatu yang disenangi dan enak,
Itu adalah ciri khas nafsu,
Membuat makhluk mendekati maupun menjauhi,
Tidak ada yang salah dengan itu,
Justru itu adalah benar,
Paling tidak mekanismenya memang seperti itu,
Kalau tidak memenuhi mekanisme seperti itu berarti tidak benar,
Tidak memenuhi kaidah alamiah,
Yang dipermasalahkan dalam agama bukanlah,
Ada tiadanya nafsu,
Namun, bagaimana mengarahkan nafsu itu sendiri,
Baik kecenderungan makhluk untuk mendekat maupun menjauh,
Tumbuhan memiliki daya pembeda mendekati sumber kehidupan,
Ia akan mendekati sumber cahaya dan mendekati sumber makanan,
Itulah yang disebut sebagai daya tarik terhadap apa yang dibutuhkan atau syahwah,
Namun belum bisa menjauh dari apapun yang membahayakan,
Kecuali beberapa jenis tumbuhan,
Yang memiliki karakter hewani,
Hewan memiliki daya pembeda menjauhi bahaya,
Ia akan menjauhi sumber bahaya dan mendekati tempat dimana bahaya itu tiada,
Itulah yang disebut sebagai daya tolak atau gadhab,
Namun belum bisa membedakan dengan pembeda tertinggi,
Kecuali beberapa jenis hewan yang tingkat intelegensinya tinggi,
Yang sedikit memiliki karakter mirip-mirip manusia,
Manusia memiliki daya pembeda lebih tinggi,
Ia dapat membedakan mana sumber bahaya dan mana yang bukan,
Ia dapat membedakan mana sumber kenikmatan dan bukan,
Itulah yang disebut sebagai daya intelektual atau akal,
Namun sering sekali belum bisa membedakan mana yang haq dan bathil,
Karena tingkat fakultasnya masih di nabati,
Maupun hewani,
Termasuk diri saya sendiri ini,
Keinginan manusia untuk memenuhi hasrat seksuil,
Merupakan seuatu hal yang benar, itu tidak salah,
Namun, dimanakah ia menempatkan kecenderungan itu ingin berhubungan seksuil,
Ataukah dengan wanita pelacur,
Ataukah dengan wanita simpanan,
Ataukah dengan pegawainya,
Ataukah dengan pasangan syahnya,
Yang syah menurut hukum yurisprodensi maupun syah menurut ketentuan-Nya,
Keinginan manusia untuk menjauhi apa yang membahayakannya,
Meruapakn sesuatu hal yang benar, itu tidak salah,
Namun, dimanakah ia menempatkan kecenderungan itu untuk mempertahankan diri,
Apakah dengan memberontak terhadap tatanan yang telah ada,
Ataukah dengan memberontak terhadap tatanan negara,
Ataukah dengan memberontak terhadap aturan organiasi,
Ataukah dengan meletakkan diri dengan menjalankan tanggungjawab,
Tanggungjawab syah menurut hukum yurisprodensi maupun syah menurut ketentuan-Nya,
Tidak ada yang salah dengan penggunaan akal,
Pun menempatkan syahwah dan gadhab pada tempatnya,
Yang jadi permaalahan adalah, rukunnya atau kaidah-kaidahnya,
Bahkan dalam olah qolbu-pun harus menggunakan akal,
Karena akal adalah rukunnya,
Bagaimana bisa membedakan mana haq dan bathil apabila tidak dengan akal,
Itulah lobang keterjebakan ahli-ahli spiritual,
Mereka merasa tidak membutuhkan akal pembeda dalam berspiritual,
Jadi sering sekali Iblispun-pun dianggap malaikat,
Karena pada tingkatan yang lebih tinggi, Iblispun bisa berwujud manusia ganteng,
Dan malaikatpun bisa berbentuk garang,
Pembeda, tarik dan tolak,
Pemahaman ini diperlukan,
Seiring dengan prosesi pembersihan qolb,
Dalam tingkatan tertinggi spiritual,
Ma’rifah,
Hanya dapat diperoleh dengan kebersihan qolb,
Namun tanpa akal,
Syaithan dan Malaikatpun sama,
Yang membedakan adalah,
Malaikat mengakui eksistensi manusia,
Sedang Iblis tidak,
Mengenal diri (eksistensi manusia),
Adalah mengenal Allah (eksistensi Tuhan),
Kalau Iblis menghindarkan manusia dari mengenal diri,
Sama pula menghindarkan manusia dari mengenal Tuhan,
Jadi, mengenal diripun harus menggunakan akal,
Namun akalpun harus ada rukunnya,
Dan akal yang terbaik adalah al-Furqon,
Al-Qur’anul Kariim,
Yang dibaca dengan hikmah,
Hikmah adalah ngelmu,
Ngelmu adalah knowledge,
Knowledge hanya diperoleh melalui laku atau doing,
Dengan hikmah,
Dalam hidup inilah kita belajar hikmah,
Hikmah mengenai inti,
Dualitas daya tarik dan tolak,
Manifetasinya dalam wujud kehidupan,
Nafsu itu harus ada,
Namun katanya harus dikekang,
Sebagaimana legenda empat kuda,
Yang menarik kereta,
Empat kuda,
Ammarah, Lawamah, Sufiyah, Muthmainnah
Keempatnya penting sekali,
Untuk menarik kereta kencana Sang Raja,
Siapa bilang nafsu itu tidak boleh,
Justru diperbolehkan, dan diharuskan ada,
Selama kita masih menarik nafas,
Namun bagaimana mengaitkan tali pada keempat nafsu itu,
Konon, inilah simbol dari ikat kepala tradisional Arab,
Untuk mengikat fikiran yang menjadi sarana liarnya keempat nafsu,
Begitu pula inilah simbolisasi dari ikat kepala udeng dalam khazanah tradisional Jawa,
Blangkon sebagai simbolisasi di kraton,
Hampir semua budaya yang dilewati Islam,
Memiliki terminologi akan ikat kepala,
Karena akal berada di kepala,
Bisa mengendalikan atau dikendalikan,
Tergantung dimana memposisikan,
Dikendalikan perut ataukah mengendalikan perut,
Dikendalikan selangkangan ataukah mengendalikan selangkangan,
Nafsu, rentan ditumpangi Iblis,
Nafsu yang tidak terkendali, bisa ditumpangi Iblis,
Nafsu itu bukan Iblis, tapi Iblis bisa menguasai nafsu,
Nafsu inilah yang membawa para pengusaha Arab,
Ziarah ke Puncak di Jawa Barat,
Keliru tempat dalam memasukkan benang ke dalam lobang jarum,
Tidak bisa membedakan mana selangkangan istri dan bukan,
Namun bisa membedakan mana yang bahenol dan mana yang bukan,
Menempatkan akal tidak pada tempatnya,
Sehingga meletakkan daya tarik pada yang bukan tempatnya,
Dan terdorong pada ketertarikan yang bukan pada tempatnya,
Lalu, apakah definisi “pada tempatnya”,
Tergantung ente sendirilah membedakan,
Bukankah hidup ini adalah pembelajaran,
Disinilah kita belajar untuk membedakan,
Hidup ini bukanlah tempat untuk menafikkan kekayaan,
Pun untuk menafikkan kemiskinan,
Hidup ini bukanlah tempat untuk menafikkan pangkat keduniawian,
Pun untuk mengejarnya tanpa reserve,
Namun bagaimana meletakkan pada proporsinya,
Itulah Pekerjaan Rumah kita semua,
Saat inilah, aku mulai belajar kembali,
Menyadari bahwasanya aku kemaren-kemaren belum bisa mengendalikan nafsu,
Terutama yang berhubungan dengan perut.
Marilah bersama-sama mengendalikan nafsu,
Sebelum nafsu ditumpangi oleh Iblis,
Nafsu yang ditumpangi oleh Iblis,
Akan membawa pada nafsu pemberontak,
Karena kebencian pada sesuatu yang diberontak,
Dan pemberontakan yang paling besar adalah memberontak terhadap Allah,
Namun, kalau kita jeli, apakah mungkin kita benar-benar memberontak terhadap Allah,
Berfikirlah dab, berfikir,
Tidak mungkin,
Kalau bingung,
Cobalah gunakan berfikir pendulum,
Maupun filosofi melar mengkeret Ki Ageng Suryo Mataram,
Kalau sudah ketemu berarti,
Kamu sudah menguasai ilmu Titik,
Titik di bawah titik Ba’
Seberapapun engkau menjauh, engkau akan bertemu dengan titik,
Seberapapun engkau mendekat, engkau akan bertemu dengan titik,

MARTABAT TUJUH DALAM SULUK SUJINAH DAN SERAT WIRID HIDAYAT JATI



Dalam mencari ridhoNya, para sufi menggunakan jalan yang bermacam-macam. Baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dengan melalui kearifan, kecintaan dan tapa brata.

Sejarah mencatat, pada akhir abad ke-8, muncul aliran Wahdatul Wujud, suatu faham tentang segala wujud yang pada dasarnya bersumber satu. Allah Ta’ala. Allah yang menjadikan sesuatu dan Dialah a’in dari segala sesuatu. Wujud alam adalah a’in wujud Allah, Allah adalah hakikat alam. Pada hakikatnya, tidak ada perbedaan antara wujud qadim dengan wujud baru yang disebut dengan makhluk. Dengan kata lain, perbedaan yang kita lihat hanya pada rupa atau ragam dari hakikat yang Esa. Sebab alam beserta manusia merupakan aspek lahir dari suatu hakikat batin yang tunggal. Tuhan Seru Sekalian Alam.

Faham wahdatul wujud mencapai puncaknya pada akhir abad ke-12. Muhyidin Ibn Arabi,seorang sufi kelahiran Murcia, kota kecil di Spanyol pada 17 Ramadhan 560 H atau 28 Juli 1165 M adalah salah seorang tokoh utamanya pada zamannya. Dalam bukunya yang berjudul Fusus al-Hikam yang ditulis pada 627 H atau 1229 M tersurat dengan jelas uraian tentang faham Pantheisme (seluruh kosmos adalah Tuhan), terjadinya alam semesta, dan keinsankamilan. Di mana faham ini muncul dan berkembang berdasarkan perenungan fakir filsafat dan zaud (perasaan) tasauf.

Faham ini kemudian berkembang ke luar jazirah Arab, terutama berkembang ke Tanah India yang dipelopori oleh Muhammad Ibn Fadillah, salah seorang tokoh sufi kelahitan Gujarat (…-1629M). Di dalam karangannya, kitab Tuhfah, beliau mengajukan konsep Martabat Tujuh sebagai sarana penelaahan tentang hubungan manusia dengan Tuhannya. Menurut Muhammad Ibn Fadillah, Allah yang bersifat gaib bisa dikenal sesudah bertajjali melalui tujuh martabat atau sebanyak tujuh tingkatan, sehingga tercipta alam semesta dengan segala isinya. Pengertian tajjali berarti kebenaran yang diperlihatkan Allah melalui penyinaran atau penurunan — di mana konsep ini lahir dari suatu ajaran dalam filsafat yang disebut monisme. Yaitu suatu faham yang memandang bahwa alam semesta beserta manusia adalah aspek lahir dari satu hakikat tunggal. Allah Ta’ala.

Dr. Simuh dalam Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati menyatakan; “Konsep ajaran martabat tujuh mengenai penciptaan alam manusia melalui tajjalinya Tuhan sebanyak tujuh tingkatan jelas tidak bersumber dari Al Qur’an. Sebab dalam Islam tak dikenal konsep bertajjali. Islam mengajarkan tentang proses Tuhan dalam penciptaan makhluknya dengan Alijad Minal Adam, berasal dari tidak ada menjadi ada.”

Selanjutnya, konsep martabat tujuh di Jawa dimulai sesudah keruntuhan Majapahit dan digantikan dengan kerajaan Demak Bintara yang menguasai Pulau Jawa. Sedangkan awal perkembangannya, ajaran martabat tujuh di Jawa berasal dari konsep martabat tujuh yang berkembang di Tanah Aceh — terutama yang dikembangkan oleh Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai (…-1630) dan Abdul Rauf (1617-1690).

Lebih lanjut ditambahkan; “Ajaran Syamsudin Pasai dan Abdul Rauf kelihatan besar pengaruhnya dalam perkembangan kepustakaan Islam Kejawen. Pengaruh Abdul Rauf berkembang melalui penyebaran ajaran tarekat Syatariyah yang disebarkan oleh Abdul Muhyi (murid Abdul Rauf) di tanah Priangan. Ajaran tarekat Syatariyah segera menyebar ke Cirebon dan Tegal. Dari Tegal muncul gubahan Serat Tuhfah dalam bahasa Jawa dengan sekar macapat yang ditulis sekitar tahun 1680.”

Sedangkan Buya Hamka mengemukakan bahwa faham Wahddatul Al-Wujud yang melahirkan ajaran Martabat Tujuh muncul karena tak dibedakan atau dipisahkan antara asyik dengan masyuknya. Dan apabila ke-Ilahi-an telah menjelma di badan dirinya, maka tidaklah kehendak dirinya yang berlaku, melainkan kehendak Allah.

Dr. Simuh pun kembali menambahkan, dalam ajaran martabat tujuh, Tuhan menampakkan DiriNya setelah bertajjali dalam tujuh di mana ketujuh tingkatan tersebut dibagi dalam dua wujud. Yakni tiga aspek batin dan empat aspek lahir. “Tiga aspek batin terdiri dari Martabat Ahadiyah (kesatuan mutlak), Martabat Wahdah (kesatuan yang mengandung kejamakan secara ijmal keseluruhan), dan Martabat Wahadiyah (kesatuan dalam kejamakan secara terperinci dan batas-batas setiap sesuatu). Sedangkan aspek lahir terdiri Alam Arwah (alam nyawa dalam wujud jamak), Alam Mitsal (kesatuan dalam kejamakan secara ijmal), Alam Ajsam (alam segala tubuh, kesatuan dalam kejamakan secara terperinci dan batas-batasnya) dan Insan Kamil (bentuk kesempurnaan manusia).

Menanggapi hal ini, Buya Hamka mengutip dari karya Ibnu Arabi yang berjudul Al-Futuhat al-Makkiya fi Marifa Asrar al-Malakiya (589 H atau 1201 M), bahwa tajjalinya Allah Ta’ala yang pertama adalah dalam alam Uluhiyah. kemudian dari alam Uluhiyah mengalir alam Jabarut, Malakut, Mitsal, Ajsam, Arwah dan Insan Kamil — di mana yang dimaksud dengan alam Uluhiyah adalah alam yang terjadi dengan perintah Allah tanpa perantara.

Martabat Pertama, Ahadiyah

Martabat pertama adalah Martabat Ahadiyah yang diungkapkan sebagai Martabat Lata’ayyun, atau al-Ama (tingkatan yang tidak diketahui). Disebut juga Al-Tanazzulat li ‘l-Dhat (dari alam kegelapan menuju alam terang), al-Bath (alam murni), al-Dhat (alam zat), al-Lahut (alam ketuhanan), al-Sirf (alam keutamaan), al-Dhat al-Mutlaq (zat kemutlakan), al-Bayad al-Mutlaq (kesucian yang mutlak), Kunh al-Dhat (asal terbuntuknya zat), Makiyyah al-Makiyyah (inti dari segala zat), Majhul al N’at (zat yang tak dapat disifati), Ghayb al Ghuyub (gaib dari segala yang gaib), Wujud al-Mahad (wujud yang mutlak).

Dan berikut adalah nukilan dari terjemahan tingkat pertama yang disebut Martabat Ahadiyah dalam Suluk Sujinah dan Serat Wirid Hidayat Jati.

Suluk Sujinah

Ada pengetahuan perihal tingkatan dalam kehidupan manusia, yang diceritakan dengan ajalollah dan dikenal dengan sebutan martabat tujuh, diawali dengan kegaiban. Zat yang membawa pengetahuan tentang Diri-Nya, dan tanpa membeberkan tentang kenyataan (fisik), Keadaannya kosong namun dasarnya ada. Tapi dalam martabat ini belum berkehendak. Martabat Akadiyah disebut juga dengan Sarikul Adham. Awal dari segala awal.Dalam alam ahadiyah dimulai dengan aksara La dan bersemayam ila. Itulah kekosongan pertama dari empat bentuk kekosongan. Kedua bernama Maslub. Ketiga adalah Tahlil, dan keempat Tasbeh. Maslub bermakna belum adanya bentuk atau wujud roh atau jiwa. Tak berbentuk badan atau wujud lainnya.Tahlil berarti tak bermula dan tak berakhir. Sedangkan Tasbeh bermakna Tuhan Maha Suci dan Tunggal. Tuhan tak mendua atau bertiga. Tak ada Pangeran lain kecuali Allah yang disembah dan dipuja, yang asih pada makhluknya.

Serat Wiirid Hidayat Jati

Sajaratul Yakin tumbuh dalam alam adam makdum yang sunyi senyap azali abadi, artinya pohon kehidupan yang berada dalam ruang hampa yang sunyi senyap selamanya, belum ada sesuatu pun, adalah hakikat Zat Mutlak yang qadim. Zat yang pasti terdahulu, yaitu zat atma, yang menjadi wahana alam Ahadiyah.

Di dalam Suluk Sujinah, tingkat pertama disebut dengan alam Ahadiyah, yaitu alam tentang tingkat keesaan-Nya. Keesaan-Nya agung, dan bukan obyek dari pengetahuan khusus mana pun dan karena itu tidak dapat dicapai oleh makhluk apa pun. Hanya Allah yang mengetahui diri-Nya dan keesaan-Nya.

Dalam keesaan-Nya tak ada sesuatu pun yang menguasai dan mengetahui kecuali diri-Nya. Firmannya adalah diri-Nya sendiri, begitu pun malaikat-Nya dan nabi-Nya. Allah dalam tingkatan ini berada pada kondisi al-Kamal, yaitu, dalam kesempurnaan-Nya.

Hakikat-Nya, keesaan-Nya adalah tempat berkumpulnya seluruh keragaman dan tenggelam atau lenyap dalam kesatuan-Nya. Dalam alam Ahadiyah keragaman dan kejamakan tersebut tidak dapat dipertentangkan dengan gagasan metafisis tentang tahapan atau tingkatan eksistensi.

Dalam tingkatan ini, Allah berada dalam kondisi Ghayb al-Ghuyub, yaitu, keberadaan-Nya yang gaib. Tuhan tak dapat diindrawi. Sebab Allah tidak membeberkan tentang kenyataan yang fisik. Allah dalam keadaan yang tak berujud, yang tak dapat dideteksi oleh manusia atau para wali, nabi, bahkan para malaikat terdekat-Nya. Sebab Ia masih dalam kesendirian-Nya. Allah belum menguraikan atau menciptakan sesuatu. Di dalam derajat ini, semua sifat umum kumpul melebur di dalam diri-Nya. Perbedaan sifat pun ada dalam kesatuan-Nya.

Tuhan dalam alam pertama disebut juga al-Unsur Adam, Allah adalah unsur yang pertama, dan tak ada makhluk-makhluk lainnya yang mendahului. Diri-Nya adalah unsur yang terdahulu yang bersifat agung. Zat-Nya adalah substansi universal dan hakikat-Nya yang tak dapat dipahami. Dalam sifat adam-Nya, hakikat-Nya tak dapat dipahami. Sebab awalnya adalah Ada dalam ketiadaan. Dan ketiadaan-Nya adalah hakikat yang tak terlukiskan dan tak dapat dimengerti oleh siapa pun. Hakikatnya di luar segala perumpamaan dan citraan yang memungkinkan.

Selanjutnya, alam Ahadiyah terbagi dalam empat tingkatan. Tahap pertama dikenal dengan kata La yang bersemayam di dalam kata illa. La dan illa adalah dua kata yang manunggal, karena setiap realitas-realitas hanya merupakan refleksi dari realitas-realitas Allah. La dan illa menunjukan pada asal segala sesuatu yaitu dalam ketiadaan-Nya, diri-Nya Ada. Sedangkan pengertian illa juga menunjukan pada kembali sesuatu dalam kesatuan-Nya yang bersifat keabadian.

Jika memperhatikan tatanan ontologis, bila diterapkan La dan illa akan mengisyaratkan pemisahan antara ada Ilahi dan para makhluknya. Dengan demikian, Ad-Nya pertama menjadi tabu bagi adanya yang kedua. Pengetian La dan illa dalam masyarakat sufi memiliki tiga makna. Pertama, adalah tiada Tuhan melainkan Allah. Kedua adalah tiada Ma’bud melainkan Allah dan ketiga tiada maujud melainkan Allah. Pengertian pertama mengacu pada keberadaan pada kekuasaan-Nya. Yaitu penegasan tiada Tuhan yang pantas menjadi penguasa selain Allah yang Esa. Pengertian kedua, Allah adalah Zat yang wajib disembah sebab Allah bersifat disembah. Tiada penguasa yang wajib disembah selain Allah, Zat yang Maha Suci. Sedangkan pengertian ketiga, Allah adalah awal segala yang berwujud. Sebab Zat-Nya adalah wujud yang pertama dan tak berakhir.

Ketiga pengertian tersebut di atas adalah suatu kesatuan yang tak dapat dikaji secara terpisah. Sebab, segala bentuk yang maujud ini pada hakikatnya sama sekali tidak ada. Yang ada hanyalah Allah. Jadi, kalau yang ada ini semuanya dikatakan ada, artinya ada dalam Allah. Inilah konsep dasar dari Widhatul al-Wujud. Sementara, tingkatan kedua dari alam Ahadiyah adalah Nafi Uslub, yaitu, tingkat ketiadaan-Nya yang ada. Dalam ketiadaan-Nya, Allah tak dapat digambarkan atau dilukiskan oleh siapa pun. Allah dalam keadaan Al-Ama, yaitu, tingkatan yang tak dapat diketahui. Allah dalam tingkatan ini hanya mempunyai hubungan murni dalam hakikat dan tanpa bentuk. Sedang tingkatan yang ketiga dalam alam Ahadiyah adalah Tahlil. Pengertian Tahlil berarti kondisi Tuhan yang bermakna La illa illaha. Tahlil pun bermakna suatu kondisi pemujaan Allah dengan pengucapan syahadat tentang persaksian akan keberadaan-Nya.

Dalam kalimah Syahadah yang diucapkan dengan niat bulat dan mengakui bahwa Allah berkuasa sendirian, tidak menghendaki pertolongan dari siapa pun, ia suci dan kaya. Kalimah Syahadah adalah kalimat yang wajib bagi pemeluk Islam, di mana intinya adalah pengakuan akan adanya Allah yang menjadi pemimpin kehidupan, di samping itu, adanya pengakuan rasul Allah. Yaitu Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya.

Selanjutnya, tingkat empat adalah Ahadiyah Tasbih, yang bermakna kemahaluasan Allah. Tingkatan ini berintikan kalimat Subhhanallah, artinya, maha suci Allah dan mengingatkan serta menunjukan seluruh keyakinan untuk selalu mempersucikan-Nya.

Sedang pada Serat Wirid Hidayat Jati, ajaran pertamanya dikenal dengan sebutan Sajaratul Yakin. Yaitu sebagai lambang pohon kehidupan yang dalam bahasa Jawa disebut dengan Kajeng Sejati dan memiki makna pengertian tentang kehidupan atau hayyu.

Hayyu berarti atma, jiwa atau ruh. Dalam Sajaratul Yakin Allah adalah Wujud al-Sirf, kondisi wujud yang utama. Atma-Nya belum tersifati, namun ruh-Nya adalah al-Lahut (bersifat ke-ilahi-an). Ia merupakan hakikat zat mutlak dan qadim, yaitu, asal zat dari segala zat yang bersifat abadi. Zat-Nya tak ada dalam penguraian. Segala penguraian-Nya adalah bersifat negatif. Sebab Allah bersifat Makiyyah al Makiyyah, yaitu, inti dari segala zat yang ada di kemudian hari. Atmanya adalah esa dari yang tak teruraikan dan diuraikan.

Zat ruh-Nya sesungguhnya adalah zat yang bersifat esa. Ruh itulah sejatinya Tuhan Yang Mahasuci. Ruh-Nya adalah subyek absolut, di mana benda yang termasuk subyek individu hanyalah obyektivisasi-obyektivisasi ilusi. Sebab Allah adalah Kunh al-Dhat, asalnya zat terbentuk.

Di dalam kitabnya Daqiqul Akbar, Imam Abdurahman menuliskan, pada awal permulaan Allah menciptakan sebatang pohon kayu bercabang empat. Pohon kayu tersebut dikenal dengan Syajaratul Yakin. Dan Syajaratul Yakin tercipta dalam alam kesunyian yang bersifat qadim dan azali. Pengertian sunyi di sini bukan bermakna tak adanya sesuatu. Namun bermakna belum terciptanya alam, kecuali tajjali-Nya yang pertama dalam bentuk Syajaratul Yakin. Sedangkan pengertian qadim dan azali adalah wujud dari sifat-Nya yang terawal dan tak berakhir. Zat-Nya adalah terdahulu, tak ada sesuatu pun yang mendahului dan tak ada akhir karena masa.

Syajaratul yakin afdalah awal sifat-Nya. Dalam pohon kehidupan sifat-Nya yang menonjol adalah tentang hidup — hidup (al-Hayat) adalah sifat wajib yang ada pada Diri-Nya. Sebab sifat al-Hayat adalah qadim dan azali. Al-Hayat dalam segala martabat-Nya menjadi pangkal bagi segala macam kenyataan yang lahir dan kekal. karena hidup atau hayyu atau atma adalah subyek yang absolut, maka, hakikat atma atau hidup adalah mutlak yang qadim. Dan Allah adalah zat pertama dan sumber dari hidup itu sendiri. Diri-Nya adalah kekal bersamaan dengan kekalnya zat kehidupan.

Keduanya adalah ada dalam kemanunggalan. Zat-Nya yang al-Hayat adalah sumber munculnya perkara-perkara sifat wajib-Nya. Yaitu, ilmu, iradat, kalam dan baqa. Artinya, karena adanya ruh atau hayyu (al-Hayat), maka, muncul ilmu (pengetahuan). Timbulnya pengetahuan (al-ilm) menciptakan atau mengalirnya kehendak (iradat), dan firman-Nya. Dan ketiga sifat-Nya adalah kekal, baqa.

Ditulis dalam MARTABAT TUJUH | 6 Komentar »
MARTABAT TUJUH
Juli 27, 2008

DALAM SULUK SUJINAH DAN SERAT WIRID HIDAYAT JATI

Dalam mencari ridhoNya, para sufi menggunakan jalan yang bermacam-macam. Baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dengan melalui kearifan, kecintaan dan tapa brata.

Sejarah mencatat, pada akhir abad ke-8, muncul aliran Wahdatul Wujud, suatu faham tentang segala wujud yang pada dasarnya bersumber satu. Allah Ta’ala. Allah yang menjadikan sesuatu dan Dialah a’in dari segala sesuatu. Wujud alam adalah a’in wujud Allah, Allah adalah hakikat alam. Pada hakikatnya, tidak ada perbedaan antara wujud qadim dengan wujud baru yang disebut dengan makhluk. Dengan kata lain, perbedaan yang kita lihat hanya pada rupa atau ragam dari hakikat yang Esa. Sebab alam beserta manusia merupakan aspek lahir dari suatu hakikat batin yang tunggal. Tuhan Seru Sekalian Alam.

Faham wahdatul wujud mencapai puncaknya pada akhir abad ke-12. Muhyidin Ibn Arabi,seorang sufi kelahiran Murcia, kota kecil di Spanyol pada 17 Ramadhan 560 H atau 28 Juli 1165 M adalah salah seorang tokoh utamanya pada zamannya. Dalam bukunya yang berjudul Fusus al-Hikam yang ditulis pada 627 H atau 1229 M tersurat dengan jelas uraian tentang faham Pantheisme (seluruh kosmos adalah Tuhan), terjadinya alam semesta, dan keinsankamilan. Di mana faham ini muncul dan berkembang berdasarkan perenungan fakir filsafat dan zaud (perasaan) tasauf.

Faham ini kemudian berkembang ke luar jazirah Arab, terutama berkembang ke Tanah India yang dipelopori oleh Muhammad Ibn Fadillah, salah seorang tokoh sufi kelahitan Gujarat (…-1629M). Di dalam karangannya, kitab Tuhfah, beliau mengajukan konsep Martabat Tujuh sebagai sarana penelaahan tentang hubungan manusia dengan Tuhannya. Menurut Muhammad Ibn Fadillah, Allah yang bersifat gaib bisa dikenal sesudah bertajjali melalui tujuh martabat atau sebanyak tujuh tingkatan, sehingga tercipta alam semesta dengan segala isinya. Pengertian tajjali berarti kebenaran yang diperlihatkan Allah melalui penyinaran atau penurunan — di mana konsep ini lahir dari suatu ajaran dalam filsafat yang disebut monisme. Yaitu suatu faham yang memandang bahwa alam semesta beserta manusia adalah aspek lahir dari satu hakikat tunggal. Allah Ta’ala.

Dr. Simuh dalam Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati menyatakan; “Konsep ajaran martabat tujuh mengenai penciptaan alam manusia melalui tajjalinya Tuhan sebanyak tujuh tingkatan jelas tidak bersumber dari Al Qur’an. Sebab dalam Islam tak dikenal konsep bertajjali. Islam mengajarkan tentang proses Tuhan dalam penciptaan makhluknya dengan Alijad Minal Adam, berasal dari tidak ada menjadi ada.”

Selanjutnya, konsep martabat tujuh di Jawa dimulai sesudah keruntuhan Majapahit dan digantikan dengan kerajaan Demak Bintara yang menguasai Pulau Jawa. Sedangkan awal perkembangannya, ajaran martabat tujuh di Jawa berasal dari konsep martabat tujuh yang berkembang di Tanah Aceh — terutama yang dikembangkan oleh Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai (…-1630) dan Abdul Rauf (1617-1690).

Lebih lanjut ditambahkan; “Ajaran Syamsudin Pasai dan Abdul Rauf kelihatan besar pengaruhnya dalam perkembangan kepustakaan Islam Kejawen. Pengaruh Abdul Rauf berkembang melalui penyebaran ajaran tarekat Syatariyah yang disebarkan oleh Abdul Muhyi (murid Abdul Rauf) di tanah Priangan. Ajaran tarekat Syatariyah segera menyebar ke Cirebon dan Tegal. Dari Tegal muncul gubahan Serat Tuhfah dalam bahasa Jawa dengan sekar macapat yang ditulis sekitar tahun 1680.”

Sedangkan Buya Hamka mengemukakan bahwa faham Wahddatul Al-Wujud yang melahirkan ajaran Martabat Tujuh muncul karena tak dibedakan atau dipisahkan antara asyik dengan masyuknya. Dan apabila ke-Ilahi-an telah menjelma di badan dirinya, maka tidaklah kehendak dirinya yang berlaku, melainkan kehendak Allah.

Dr. Simuh pun kembali menambahkan, dalam ajaran martabat tujuh, Tuhan menampakkan DiriNya setelah bertajjali dalam tujuh di mana ketujuh tingkatan tersebut dibagi dalam dua wujud. Yakni tiga aspek batin dan empat aspek lahir. “Tiga aspek batin terdiri dari Martabat Ahadiyah (kesatuan mutlak), Martabat Wahdah (kesatuan yang mengandung kejamakan secara ijmal keseluruhan), dan Martabat Wahadiyah (kesatuan dalam kejamakan secara terperinci dan batas-batas setiap sesuatu). Sedangkan aspek lahir terdiri Alam Arwah (alam nyawa dalam wujud jamak), Alam Mitsal (kesatuan dalam kejamakan secara ijmal), Alam Ajsam (alam segala tubuh, kesatuan dalam kejamakan secara terperinci dan batas-batasnya) dan Insan Kamil (bentuk kesempurnaan manusia).

Menanggapi hal ini, Buya Hamka mengutip dari karya Ibnu Arabi yang berjudul Al-Futuhat al-Makkiya fi Marifa Asrar al-Malakiya (589 H atau 1201 M), bahwa tajjalinya Allah Ta’ala yang pertama adalah dalam alam Uluhiyah. kemudian dari alam Uluhiyah mengalir alam Jabarut, Malakut, Mitsal, Ajsam, Arwah dan Insan Kamil — di mana yang dimaksud dengan alam Uluhiyah adalah alam yang terjadi dengan perintah Allah tanpa perantara.

Martabat Pertama, Ahadiyah

Martabat pertama adalah Martabat Ahadiyah yang diungkapkan sebagai Martabat Lata’ayyun, atau al-Ama (tingkatan yang tidak diketahui). Disebut juga Al-Tanazzulat li ‘l-Dhat (dari alam kegelapan menuju alam terang), al-Bath (alam murni), al-Dhat (alam zat), al-Lahut (alam ketuhanan), al-Sirf (alam keutamaan), al-Dhat al-Mutlaq (zat kemutlakan), al-Bayad al-Mutlaq (kesucian yang mutlak), Kunh al-Dhat (asal terbuntuknya zat), Makiyyah al-Makiyyah (inti dari segala zat), Majhul al N’at (zat yang tak dapat disifati), Ghayb al Ghuyub (gaib dari segala yang gaib), Wujud al-Mahad (wujud yang mutlak).

Dan berikut adalah nukilan dari terjemahan tingkat pertama yang disebut Martabat Ahadiyah dalam Suluk Sujinah dan Serat Wirid Hidayat Jati.

Suluk Sujinah

Ada pengetahuan perihal tingkatan dalam kehidupan manusia, yang diceritakan dengan ajalollah dan dikenal dengan sebutan martabat tujuh, diawali dengan kegaiban. Zat yang membawa pengetahuan tentang Diri-Nya, dan tanpa membeberkan tentang kenyataan (fisik), Keadaannya kosong namun dasarnya ada. Tapi dalam martabat ini belum berkehendak. Martabat Akadiyah disebut juga dengan Sarikul Adham. Awal dari segala awal.Dalam alam ahadiyah dimulai dengan aksara La dan bersemayam ila. Itulah kekosongan pertama dari empat bentuk kekosongan. Kedua bernama Maslub. Ketiga adalah Tahlil, dan keempat Tasbeh. Maslub bermakna belum adanya bentuk atau wujud roh atau jiwa. Tak berbentuk badan atau wujud lainnya.Tahlil berarti tak bermula dan tak berakhir. Sedangkan Tasbeh bermakna Tuhan Maha Suci dan Tunggal. Tuhan tak mendua atau bertiga. Tak ada Pangeran lain kecuali Allah yang disembah dan dipuja, yang asih pada makhluknya.

Serat Wiirid Hidayat Jati

Sajaratul Yakin tumbuh dalam alam adam makdum yang sunyi senyap azali abadi, artinya pohon kehidupan yang berada dalam ruang hampa yang sunyi senyap selamanya, belum ada sesuatu pun, adalah hakikat Zat Mutlak yang qadim. Zat yang pasti terdahulu, yaitu zat atma, yang menjadi wahana alam Ahadiyah.

Di dalam Suluk Sujinah, tingkat pertama disebut dengan alam Ahadiyah, yaitu alam tentang tingkat keesaan-Nya. Keesaan-Nya agung, dan bukan obyek dari pengetahuan khusus mana pun dan karena itu tidak dapat dicapai oleh makhluk apa pun. Hanya Allah yang mengetahui diri-Nya dan keesaan-Nya.

Dalam keesaan-Nya tak ada sesuatu pun yang menguasai dan mengetahui kecuali diri-Nya. Firmannya adalah diri-Nya sendiri, begitu pun malaikat-Nya dan nabi-Nya. Allah dalam tingkatan ini berada pada kondisi al-Kamal, yaitu, dalam kesempurnaan-Nya.

Hakikat-Nya, keesaan-Nya adalah tempat berkumpulnya seluruh keragaman dan tenggelam atau lenyap dalam kesatuan-Nya. Dalam alam Ahadiyah keragaman dan kejamakan tersebut tidak dapat dipertentangkan dengan gagasan metafisis tentang tahapan atau tingkatan eksistensi.

Dalam tingkatan ini, Allah berada dalam kondisi Ghayb al-Ghuyub, yaitu, keberadaan-Nya yang gaib. Tuhan tak dapat diindrawi. Sebab Allah tidak membeberkan tentang kenyataan yang fisik. Allah dalam keadaan yang tak berujud, yang tak dapat dideteksi oleh manusia atau para wali, nabi, bahkan para malaikat terdekat-Nya. Sebab Ia masih dalam kesendirian-Nya. Allah belum menguraikan atau menciptakan sesuatu. Di dalam derajat ini, semua sifat umum kumpul melebur di dalam diri-Nya. Perbedaan sifat pun ada dalam kesatuan-Nya.

Tuhan dalam alam pertama disebut juga al-Unsur Adam, Allah adalah unsur yang pertama, dan tak ada makhluk-makhluk lainnya yang mendahului. Diri-Nya adalah unsur yang terdahulu yang bersifat agung. Zat-Nya adalah substansi universal dan hakikat-Nya yang tak dapat dipahami. Dalam sifat adam-Nya, hakikat-Nya tak dapat dipahami. Sebab awalnya adalah Ada dalam ketiadaan. Dan ketiadaan-Nya adalah hakikat yang tak terlukiskan dan tak dapat dimengerti oleh siapa pun. Hakikatnya di luar segala perumpamaan dan citraan yang memungkinkan.

Selanjutnya, alam Ahadiyah terbagi dalam empat tingkatan. Tahap pertama dikenal dengan kata La yang bersemayam di dalam kata illa. La dan illa adalah dua kata yang manunggal, karena setiap realitas-realitas hanya merupakan refleksi dari realitas-realitas Allah. La dan illa menunjukan pada asal segala sesuatu yaitu dalam ketiadaan-Nya, diri-Nya Ada. Sedangkan pengertian illa juga menunjukan pada kembali sesuatu dalam kesatuan-Nya yang bersifat keabadian.

Jika memperhatikan tatanan ontologis, bila diterapkan La dan illa akan mengisyaratkan pemisahan antara ada Ilahi dan para makhluknya. Dengan demikian, Ad-Nya pertama menjadi tabu bagi adanya yang kedua. Pengetian La dan illa dalam masyarakat sufi memiliki tiga makna. Pertama, adalah tiada Tuhan melainkan Allah. Kedua adalah tiada Ma’bud melainkan Allah dan ketiga tiada maujud melainkan Allah. Pengertian pertama mengacu pada keberadaan pada kekuasaan-Nya. Yaitu penegasan tiada Tuhan yang pantas menjadi penguasa selain Allah yang Esa. Pengertian kedua, Allah adalah Zat yang wajib disembah sebab Allah bersifat disembah. Tiada penguasa yang wajib disembah selain Allah, Zat yang Maha Suci. Sedangkan pengertian ketiga, Allah adalah awal segala yang berwujud. Sebab Zat-Nya adalah wujud yang pertama dan tak berakhir.

Ketiga pengertian tersebut di atas adalah suatu kesatuan yang tak dapat dikaji secara terpisah. Sebab, segala bentuk yang maujud ini pada hakikatnya sama sekali tidak ada. Yang ada hanyalah Allah. Jadi, kalau yang ada ini semuanya dikatakan ada, artinya ada dalam Allah. Inilah konsep dasar dari Widhatul al-Wujud. Sementara, tingkatan kedua dari alam Ahadiyah adalah Nafi Uslub, yaitu, tingkat ketiadaan-Nya yang ada. Dalam ketiadaan-Nya, Allah tak dapat digambarkan atau dilukiskan oleh siapa pun. Allah dalam keadaan Al-Ama, yaitu, tingkatan yang tak dapat diketahui. Allah dalam tingkatan ini hanya mempunyai hubungan murni dalam hakikat dan tanpa bentuk. Sedang tingkatan yang ketiga dalam alam Ahadiyah adalah Tahlil. Pengertian Tahlil berarti kondisi Tuhan yang bermakna La illa illaha. Tahlil pun bermakna suatu kondisi pemujaan Allah dengan pengucapan syahadat tentang persaksian akan keberadaan-Nya.

Dalam kalimah Syahadah yang diucapkan dengan niat bulat dan mengakui bahwa Allah berkuasa sendirian, tidak menghendaki pertolongan dari siapa pun, ia suci dan kaya. Kalimah Syahadah adalah kalimat yang wajib bagi pemeluk Islam, di mana intinya adalah pengakuan akan adanya Allah yang menjadi pemimpin kehidupan, di samping itu, adanya pengakuan rasul Allah. Yaitu Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya.

Selanjutnya, tingkat empat adalah Ahadiyah Tasbih, yang bermakna kemahaluasan Allah. Tingkatan ini berintikan kalimat Subhhanallah, artinya, maha suci Allah dan mengingatkan serta menunjukan seluruh keyakinan untuk selalu mempersucikan-Nya.

Sedang pada Serat Wirid Hidayat Jati, ajaran pertamanya dikenal dengan sebutan Sajaratul Yakin. Yaitu sebagai lambang pohon kehidupan yang dalam bahasa Jawa disebut dengan Kajeng Sejati dan memiki makna pengertian tentang kehidupan atau hayyu.

Hayyu berarti atma, jiwa atau ruh. Dalam Sajaratul Yakin Allah adalah Wujud al-Sirf, kondisi wujud yang utama. Atma-Nya belum tersifati, namun ruh-Nya adalah al-Lahut (bersifat ke-ilahi-an). Ia merupakan hakikat zat mutlak dan qadim, yaitu, asal zat dari segala zat yang bersifat abadi. Zat-Nya tak ada dalam penguraian. Segala penguraian-Nya adalah bersifat negatif. Sebab Allah bersifat Makiyyah al Makiyyah, yaitu, inti dari segala zat yang ada di kemudian hari. Atmanya adalah esa dari yang tak teruraikan dan diuraikan.

Zat ruh-Nya sesungguhnya adalah zat yang bersifat esa. Ruh itulah sejatinya Tuhan Yang Mahasuci. Ruh-Nya adalah subyek absolut, di mana benda yang termasuk subyek individu hanyalah obyektivisasi-obyektivisasi ilusi. Sebab Allah adalah Kunh al-Dhat, asalnya zat terbentuk.

Di dalam kitabnya Daqiqul Akbar, Imam Abdurahman menuliskan, pada awal permulaan Allah menciptakan sebatang pohon kayu bercabang empat. Pohon kayu tersebut dikenal dengan Syajaratul Yakin. Dan Syajaratul Yakin tercipta dalam alam kesunyian yang bersifat qadim dan azali. Pengertian sunyi di sini bukan bermakna tak adanya sesuatu. Namun bermakna belum terciptanya alam, kecuali tajjali-Nya yang pertama dalam bentuk Syajaratul Yakin. Sedangkan pengertian qadim dan azali adalah wujud dari sifat-Nya yang terawal dan tak berakhir. Zat-Nya adalah terdahulu, tak ada sesuatu pun yang mendahului dan tak ada akhir karena masa.

Syajaratul yakin afdalah awal sifat-Nya. Dalam pohon kehidupan sifat-Nya yang menonjol adalah tentang hidup — hidup (al-Hayat) adalah sifat wajib yang ada pada Diri-Nya. Sebab sifat al-Hayat adalah qadim dan azali. Al-Hayat dalam segala martabat-Nya menjadi pangkal bagi segala macam kenyataan yang lahir dan kekal. karena hidup atau hayyu atau atma adalah subyek yang absolut, maka, hakikat atma atau hidup adalah mutlak yang qadim. Dan Allah adalah zat pertama dan sumber dari hidup itu sendiri. Diri-Nya adalah kekal bersamaan dengan kekalnya zat kehidupan.

Keduanya adalah ada dalam kemanunggalan. Zat-Nya yang al-Hayat adalah sumber munculnya perkara-perkara sifat wajib-Nya. Yaitu, ilmu, iradat, kalam dan baqa. Artinya, karena adanya ruh atau hayyu (al-Hayat), maka, muncul ilmu (pengetahuan). Timbulnya pengetahuan (al-ilm) menciptakan atau mengalirnya kehendak (iradat), dan firman-Nya. Dan ketiga sifat-Nya adalah kekal, baqa.

APAKAH ITU RASA ….??

 

Banyak orang yang bertanya, mengapa dalam mempelajari Agama mesti harus mengenal Rasa ? Memang kalau hanya sampai pada tingkat Syariat, bab rasa tidak pernah dibicarakan atau disinggung. Tetapi pada tingkat Tarekat keatas bab rasa ini mulai disinggung. Karena bila belajar ilmu Agama itu berarti mulai mengenal siapa Sang Percipta itu.

Karena ALLAH maha GHOIB maka dalam mengenal hal GHOIB kita wajib mengaji rasa.

Jadi jelas berbeda dengan tingkat syariat yang memang mengaji telinga dan mulut saja. Dan mereka hanya yakin akan hasil kerja panca inderanya. Bukan Batin!

Bab rasa dapat dibagi dalam beberapa golongan .

Yaitu :

1.      RASA TUNGGAL,

2.      SEJATINYA RASA,

3.      RASA SEJATI,

4.      RASA TUNGGAL JATI.

Mengaji Rasa sangat diperlukan dalam mengenal GHOIB.Karena hanya dengan mengaji rasa yang dimiliki oleh batin itulah maka kita akan mengenal dalam arti yang sebenarnya,apa itu GHOIB.

1. RASA TUNGGAL

Yang empunya Rasa Tunggal ini ialah jasad/jasmani. Yaitu rasa lelah, lemah dan capai. Kalau Rasa lapar dan haus itu bukan milik jasmani melainkan milik nafsu.

Mengapa jasmani memiliki rasa Tunggal ini. Karena sesungguhnya dalam jasmani/jasad ada penguasanya/penunggunya. Orang tentu mengenal nama QODHAM atau ALIF LAM ALIF. Itulah sebabnya maka didalam AL QUR’AN, ALLAH memerintahkan agar kita mau merawat jasad/jasmani. Kalau perlu, kita harus menanyakan kepada orang yang ahli/mengerti. Selain merawatnya agar tidak terkena penyakit jasmani, kita pun harus merawatnya agar tidak menjadi korban karena ulah hawa nafsu maka jasad kedinginan, kepanasan ataupun masuk angin.

Bila soal-soal ini kita perhatikan dengan sungguh-sungguh, niscaya jasad kita juga tahu terima kasih. Kalau dia kita perlakukan dengan baik, maka kebaikan kita pun akan dibalas dengan kebaikan pula. Karena sesungguhnya jasad itu pakaian sementara untuk hidup  sementara dialam fana ini. Kalau selama hidup jasad kita rawat dengan sungguh-sungguh (kita bersihkan 2 x sehari/mandi, sebelum puasa keramas, sebelum sholat berwudhu dulu, dan tidak menjadi korban hawa nafsu, serta kita lindungi dari pengaruh alam), maka dikala hendak mati jasad yang sudah suci itu pasti akan mau diajak bersama-sama kembali keasal, untuk kembali ke sang pencipta. Seperti halnya kita bersama-sama pada waktu dating/lahir kealam fana ini. Mati yang demikian dinamakan mati Tilem (tidur) atau mati sempurna. Pandangan yang kita lakukan malah sebaliknya. Mati dengan meninggalkan jasad. Kalau jasad sampai dikubur, maka QODHAM atau ALIF LAM ALIF, akan mengalami siksa kubur. Dan kelak dihari kiamat akan dibangkitkan.

Dalam mencari nafkah baik lahir maupun batin, jangan mengabaikan jasad. Jangan melupakan waktu istirahat. Sebab itu ALLAH ciptakan waktu 24 jam (8 jam untuk mencari nafkah, 8 jam untuk beribadah, dan 8 jam untuk beristirahat). Juga dalam hal berpuasa, jangan sampai mengabaikan jasad. Sebab itu ALLAH tidak suka yang berlebih-lebihan. Karena yang suka berlebih-lebihan itu adalah Dzad (angan-angan). Karena dzad mempunyai sifat selalu tidak merasa puas.

2. SEJATINYA RASA

Apapun yang datangnya dari luar tubuh dan menimbulkan adanya rasa, maka rasa itu dinamakan sejatinya rasa. Jadi sejatinya rasa adalah milik panca indera:

1.      MATA : Senang karena mata dapat melihat sesuatu yang indah atau tidak senang bila mata melihat hal-hal yang tidak pada tenpatnya.

2.      TELINGA : Senang karena mendengar suara yang merdu atau tidak senang mendengar isu atau fitnahan orang.

3.      HIDUNG : Senang mencium bebauan wangi/harum atau tidak senang mencium  bebauan yang busuk.

4.      KULIT : Senang kalau bersinggungan dengan orang yang disayang atau tidak senang  bersunggungan dengan orang yang nerpenyakitan.

5.      LIDAH : Senang makan atau minum yang enak-enak atau tidak senang memakan makanan yang busuk.

3. RASA SEJATI

Rasa sejati akan timbul bila terdapat rangsangan dari luar, dan dari tubuh kita akan mengeluarkan sesuatu. Pada waktu keluarnya sesuatu dari tubuh kita itu, maka timbul Rasa Sejati. Untuk jelasnya lagi Rasa Sejati timbul pada waktu klimaks/pada waktu melakukan hubungan seksual.

4. RASA TUNGGAL JATI

Rasa Tunggal Jati sering diperoleh oleh mereka yang sudah dapat melakukan Meraga Sukma (keluar dari jasad) dan Solat Dha’im.
Beda antara Meraga Sukma dan Sholat Dha’im ialah :

1.      Kalau Meraga Sukma jasad masih ada.batin keluar dan dapat pergi kemana saja.

2.      Kalau Sholat Dha’im jasad dan batin kembali keujud Nur dan lalu dapat pergi kemana  saja yang dikehendaki. Juga dapat kembali / bepergian ke ALAM LAUHUL MAKHFUZ.

Bila kita Meraga Sukma maupun sholat Dha’im, mula pertama dari ujung kaki akan terasa seperti ada “aliran“ yang menuju ke atas / kekepala. Pada Meraga sukma, bila “aliran“ itu setibanya didada akan menimbulkan rasa ragu-ragu/khawatir atau was-was. Bila kita ikhlas, maka kejadian selanjutnya kita dapat keluar dari jasad, dan yang keluar itu ternyata masih memiliki jasad. Memang sesungguhnyalah, bahwa setiap manusia itu memiliki 3 buah wadah lagi, selain jasad/jasmani yang tampak oleh mata lahir ini. Pada bagian lain bab ini akan kita kupas.Kalau sholat Dha’im bertepatan dengan adanya “Aliran“ dari arah ujung kaki, maka dengan cepat bagian tubuh kita akan “Menghilang“ dan kita akan berubah menjadi seberkas Nur sebesar biji ketumbar dibelah 7 bagian. Bercahaya bagai sebutir berlian yang berkilauan. Nah, rasa keluar dari jasad atau rasa berubah menjadi setitik Nur. Nur inilah yang disebut sebagai Rasa Tunggal Jati. Selain itu, baik dalam Meraga Sukma maupun Sholat Dha’im. Bila hendak bepergian kemana-mana kita tinggal meniatkan saja maka sudah sampai. Rasa ini juga dapat disebut Rasa Tunggal Jati. Sebab dalam bepergian itu kita sudah tidak merasakan haus, lapar, kehausan, kedinginan dan lain sebagainya. Bagi mereka yang berkeinginan untuk dapat melakukan Meraga Sukma dianjurkan untuk sering Tirakat/Kannat puasa. Jadikanlah puasa itu sebagai suatu kegemaran. Dan yang penting juga jangan dilupakan melakukan Dzikir gabungan NAFI-ISBAT dan QOLBU. Dalam sehari-hari sudah pada tahapan lillahi ta’ala.

Hal ini berlaku baik mereka yang menghendaki untuk dapat melakukan SHOLAT DHA’IM. Kalau Meraga Sukma mempergunakan Nur ALLAH, tapi bila SHOLAT DHA’IM sudah mempergunakan Nur ILLAHI. Karena ada Rasa Sejati, maka Rasa merupakan asal usul segala sesuatu yang ada. Oleh sebab itu bila hendak mendalami ilmu MA’RIFAT Islam dianjurkan untuk selalu bertindak berdasarkan rasa. Artinya jangan membenci, jangan menaruh dendam, jangan iri, jangan sirik, jangan bertindak sembrono, jangan bertindak kasar terhadap sesame manusia, dll. Sebab dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, kita ini semua sama , karena masing-masing memiliki rasa. Rasa merupakan lingkaran penghubung antara etika pergaulan antar manusia, juga sebagai lingkaran penghubung pergaulan umat dengan Penciptanya. Rasa Tunggal jati ini mempunyai arti dan makna yang luas. Karena bagai hidup itu sendiri. Apapun yang hidup mempunyai arti. Dan apapun yang mempunyai arti itu hidup. Sama halnya apapun yang hidup mempunyai Rasa. Dan apapun yang mempunyai Rasa itu Hidup.

Dengan penjelasan ini, maka dapat diambil kesimpilan bahwa yang mendiami Rasa itu adalah Hidup. Dan Hidup itu sendiri ialah Sang Pencipta/ALLAH. Padahal kita semua ini umat yang hidup. Jadi sama ada Penciptanya. Oleh sebab itu, umat manusia harus saling menghormati, tidak saling merugikan, bahkan harus saling tolong menolang dll.

Dan hal ini sesuai dalam firman ALLAH : “HAI MANUSIA! MASUKLAH KALIAN DALAM PERDAMAIAN, JANGAN BERPECAH BELAH MENGIKUTI LANGKAH SYAITAN, SESUNGGUHNYA SYAITAN ITU MUSUHMU YANG NYATA”

kapetik dari mas kumitir

Kamis, 04 Februari 2010

Cermin dan Hati

Sebuah cermin akan memantulkan apapun objek di depannya sama besar, jarak bayangan sama, tegak dan berlawanan arah. Tidak peduli apakah si objek adalah beridentitas sebagai benda mewah atau murahan, keras atau lembut, indah atau jelek, semuanya akan dipantulkan.

Tulisan ini terinspirasi ketika saya baca Hati ibarat Cermin di blog kangboed. Saya yakin sejak kecil kita telah dikenali oleh benda persegi (mungkin oval) yang terbuat dari kaca berlapiskan alumunium/perak tipis. Di benda tersebutlah kita mulai mengamati siapa di balik kaca berlapiskan perak tersebut. Itulah benda yang bernama cermin yang selalu menemani kita sejak kecil hinggg saat ini, dan tidak sedikit orang menghabiskan waktu, perhatian dan energi pada wajah-tubuh karena melihat si cermin ini. Namun, kita tidak akan membahas cermin “fisik” semata.

*****

Alam Semesta adalah sumber inspirasi pengetahuan kehidupan. Mulai air, bunga, bebatuan, semut, tetumbuhan, hingga benda yang satu ini : Cermin dapat kita gunakan sebagai sumber inspirasi roda kehidupan. Apa yang dapat kita pelajari cermin adalah dari hakikat cermin itu sendiri [topik ini khusus menganalisi cermin datar, bukan cermin cembung/cekung]. Sebuah cermin [datar] akan memantulkan apapun objek di depannya sama besar, jarak yang sama, tegak hanya berlawanan arah [kiri menjadi kanan, dan sebaliknya]. Tidak peduli apakah si objek adalah beridentitas sebagai benda mewah atau murahan, keras atau lembut, indah atau jelek, semuanya akan dipantulkan.

Semakin bersih permukaan cermin, maka bayangan cermin akan tampak semakin jelas seperti aslinya. Kapan saja ada orang cermin, cermin akan langsung memberi bayangannya. Karateristik cermin ini tentu tidak dapat kita temukan pada tanah ataupun batu yang sulit memantulkan cahaya dan membentuk bayangan benda. Meskipun cermin sekalipun, jika permukaannya kotor atau retak/pecah, maka cermin akan memberi bayangan terdistrorsi dari aslinya.

Dari sifat cermin di atas, maka pada hakikatnya hati manusiapun tidak berbeda dengan cermin, begitu juga hakikat cermin tidak berbeda dengan hati. Hati yang bersih akan melihat semua fenomena/kejadian dengan “kaca mata’ bening tanpa memberi embel-embel. Hati yang bersih bak cermin akan menghargai semua fenomena dengan apa adanya. Hati yang bersih tidak akan mendiskriminasikan si kaya atau si miskin, si cantik atau si jelek, si pintar atau si bodoh, semuanya akan diperlakukan layaknya sebagai manusia yang manusiawi.

Hati bersih tidak akan memberi “bumbu” atau noda kepada setiap entitas, bukan pujian, bukan pula celaan. Ia akan memperlakukan terbaik, ia akan memberi dukungan terbaik, dan memberi nasehat terbaik untuk berubah menjadi lebih baik. Hati bersih bukanlah penjilat yang membesarkan suatu bayangan, bukan pula penipu yang menyembunyikan realitas dengan menghalangi suatu objek pada permukaan cermin.

Hati bersih sama sekali bukan sesuatu yang pandir, apatis, namun memberi proporsi yang pas, tepat dan rasional bak cermin yang memantulkan sebuah benda dengan besar dan tinggi yang sama. Hati yang tulus dan bijak dapat kita temukan pada kasih sayang orang tua pada kita, ibu kita. Kisah dan cerita Ibu yang sesungguhnya adalah mereka melahirkan, merawat, membesarkan dan merawat putra-putrinya bukan untuk mengharap balasan budi, tapi suatu kebaikan pada anaknya. Seorang Ibu akan selalu bingung jika diberi pilihan siapa putra-putri yang paling disayanginnya dan mana yang tidak/kurang. Semuanya sama bagi seorang Ibu.

****

Hati bukanlah cermin, dan cermin bukan pula hati. Namun dari sifat fenomena cermin, kita sebenarnya dapat menemukannya dalam hati terdalam kita yang mana dipermukaan masih diselubungi oleh noda dan bintik. Noda hati adalah pemikiran dan pandangan diskriminasi. Sedangkan inti sari hati adalah pemikiran non diskriminasi, suatu pikiran yang tidak membeda-bedakan. Inilah mati hati, mata cinta kasih, mata kebijaksanaan.

Hati bukanlah cermin, dan cermin bukan pula hati. Ya…karena sebuah cermin memiliki keterbatasan ruang, sedangkan hati manusia memiliki dimensi yangtidak hingga jika saja kita mengembangkannya. Jika cermin hanya bisa memantulkan suatu entitas objek yang nyata, namun hati bisa memantulkan entitas sebuah “cinta” yang abstrak. Hanya saja, apakah kita memberi ruang dan waktu agar hati kita berkembang seraya mengangkat bintik dan noda di permukaan hati agar semakin bijak dan semakin banyak orang merasakan kedamaian dan keindahan cerminan hati kita.