Sabtu, 18 September 2010

IMAN DALAM PANDANGAN TASAWUF (GNOSTIK ISLAM)


Kebenaran Mutlak Al-Haqq-Nya takkan Terjangkau Akal

TASAWUF mempunyai seperangkat peristilahan teknis yang khas bagi kaum sufi. Pengertian dari istilah-istilah itu bisa amat berbeda dari yang umumnya dipahami lewat doktrin-doktrin yang diajarkan oleh institusi agama formal. Meskipun demikian, semua pengertian itu sesungguhnya bersumber pada ajaran-ajaran Rasul dan Kitabullah. Sama sekali tidak melepaskan diri dari kedua-duanya.

Seperti iman, butiran iman, fitrah, tauhid, sirr, takwa, khusyu', ihsan, ikhlas, syirik, nafsu, jihadunnafs, hati, roh, rasa, al-faqir, murid, guru, zikir, ahli zikir, al-Ghaib, al-ghuyub, taubat, zuhud, qana'ah, tawakkal, 'uzlah, syari'at, thariqat, haqiqat, dan ma'rifat, untuk menyebut beberapa di antara peristilahan yang demikian itu.

Bagi sufi Syaththari, pengertian yang hakiki (yang dirasakan dalam rasa hati) baru bisa diperoleh setelah terbukanya hati, roh dan rasa, terhadap Keberadaan Diri Tuhan Zat Yang Al-Ghaib (tidak pernah menampak di dunia dan di bumi ini), namun mudah sekali untuk merasakan dalam rasa hati, sangat dekatnya Dia kepada manusia. Dalam menjalani kehidupan di dunia, para sufi berupaya memproses diri mereka untuk mendekat kepada-Nya (taqarruban ilallaah) hingga sampai bertemu dengan Diri-Nya (inilah surga atau jannah mereka yang sesungguhnya) di Akhirat.

Pengertian iman

Iman dalam pengertian sufi adalah sesuatu (Nur atau Cahaya Ilahi) yang masuk ke dalam hati insan yang telah siap menerimanya (karena merasa butuh kepada-Nya). Kesiapan itu ditandai dengan kehendak dan harapan bertemu dengan-Nya (oleh karena itu, insan yang demikian disebut murid, yaitu orang yang berkehendak bertemu Tuhannya).

Kesiapan ditandai pula dengan tekad kuat untuk melakukan peperangan terbesar (jihadul akbar), yaitu memerangi nafsu dan membunuh watak akunya (jihadunnafs), sehingga nafsunya (yang wujudnya adalah jiwa raganya) tunduk dan patuh untuk dijadikan kendaraan (buraq) bagi hati, roh dan rasa, berjalan mendekat hingga kembali kepada-Nya dengan selamat (bi qalbin salim) dan rasa bahagia selama-lamanya.

Bagi sufi, Nur Ilahi ini haknya memang berada di dalam hati. Sedangkan semua yang lain harus dikeluarkan dari dalam hati (makna tashfiyatul qalbi) sehingga yang senantiasa diingat-ingat dan dihayati dalam rasa hati hanyalah Keberadaan Zat Al-Ghaib Yang Mutlak Wujud-Nya ini saja.

Nur Ilahi ini lalu dirasakan membutir di dalam rasa hati menjadi butiran iman. Mereka yang telah mencapai maqam ini biasa disebut Asysyaththar.

Dengan Nur Ilahi ini, hati seorang sufi menjadi seakan-akan memandang kepada Wajah-Nya (tawajjuh), yaitu merasakan Keberadaan-Nya secara jelas dan nyata dalam rasa hati, di dalam setiap amal dan perbuatannya di mana saja, kapan saja, dan sedang dalam kondisi apa pun. Dengan cara inilah, semua amal dan perbuatannya dapat terhubung erat dan menyatu dengan Tuhannya. Dalam keadaan demikian, Tuhan selalu membuatnya melakukan perbuatan yang dikehendaki-Nya.

Perjalanan hidup seorang sufi adalah memproses diri untuk selalu menyatukan perbuatan yang lahir (zhahir) dan yang batin (bathin), yaitu menyatukan syariat (aturan-aturan formal agama) dan hakikat, dilakukan secara bersamaan sebagaimana tidak terpisahnya jiwa dan raga selama hidup di dunia ini.

Mengapa bisa demikian? Karena yang lahir (syari'at) dikerjakan oleh jasad yang tampak oleh mata kepala. Bersamaan dengannya, yang batin (hakikat) dilakukan oleh hati, roh dan rasa, yang sama sekali tidak kasat mata (dibangsakan gaib, tetapi bukan Al-Ghaib-Nya Tuhan).

Lompatan iman

Mereka, para sufi, mengalami pengalaman lompatan iman (yaitu menyatunya ilmu tauhid, takwa, khusyu', ihsan dan ikhlas, dalam rasa hati) dalam pelaksanaan aturan-aturan formal agama yang disampaikan lewat guru (mursyid) kepadanya. Terutama sekali, lompatan iman ini terealisasi dalam hal menegakkan salat untuk mengingat-ingat keberadaan Diri Ilahi (bukan mengingat-ingat arti bacaan salat).

Bahkan, bisa dikatakan, lebih kepada mengintai-intai keberadaan Diri-Nya sehingga dirinya (si pelaku shalat) tidak lagi merasa melakukan salat, karena perhatiannya sepenuhnya terserap kepada Diri-Nya. Hanya salat yang demikian saja yang dipastikan dapat mencegah diri dari perbuatan yang keji dan munkar (tanha 'anil fahsya wal munkar).

Begitu pula halnya dalam menafkahkan sebagian rezeki halal yang diperolehnya, dikeluarkan dengan mudah di jalan-Nya (seperti memenuhi hak-hak tanggungannya dan menolong orang-orang yang sangat membutuhkan), karena dirinya sudah tidak lagi merasa memiliki apa saja.

Bahkan, salat yang khusyu' ini bagi sufi merupakan cara (hati) mengembalikan jasad manusia kepada unsur-unsurnya (yaitu tanah, air, api, dan udara). Pengembalian ini terus menerus dilakukan sebelum mati, yang sebenarnya ditemui (muutuu qabla anta muutuu).

Pengembalian ini dimaksudkan agar tidak menjadi penghalang (hijab) mata hatinya guna melihat Wajah-Nya hingga dapat selamat bertemu dengan-Nya di Akhirat kelak.

Selain pengembalian jasad, sufi memproses pengembalian roh (terjadi dalam penghayatan rasa hatinya), karena roh ini milik-Nya jua (Ruh Ilahi), sehingga apa saja (termasuk keberadaan dirinya dan perbuatannya) yang semua itu adalah milik-Nya, tidak lagi diaku dan dirasa miliknya.

Dengan demikian, sufi menjalani kehidupan di dunia ini tetap sebagaimana mestinya manusia biasa hidup di dunia, yaitu memenuhi kebutuhan-kebutuhan asasinya dan mengatasi masalah-masalahnya, tetapi niat dan tekadnya (membuktikan makna zuhud dan 'uzlah) sama sekali tidak untuk hidup berdunia dengan nafsu dan watak akunya.

Niat dan tekad hidupnya senantiasa tetap untuk memproses diri mendekat kepada-Nya demi mencapai cita-cita dan tujuan hidup, semata-mata bertemu dengan-Nya Yang Kekal Abadi.

Berbeda dengan Freud

Freud menganggap pengalaman keagamaan manusia adalah refleksi dari rasa takut yang berlebihan (sebagaimana tulisan Luthfi Assyaukanie berjudul Agama dalam Batas Iman Saja, Kompas, Sabtu 3 September 2005, hlm. 52).

Tidak sebagaimana Freud, pengalaman keagamaan seorang sufi dilandasi oleh kesadaran al-faqir, yaitu merasa diri tidak bisa apa-apa, tidak punya apa-apa, tidak tahu apa-apa, bahkan bukan apa-apa. Juga, dilandasi rasa syukurnya terhadap banyaknya pemberian Tuhan kepadanya. Pemberian jiwa raga dan keberlangsungan hidupnya di dunia, ini saja sudah cukup banyak baginya.

Sufi meyakini pemberian terbesar dalam kehidupannya (al-kautsar) adalah masuknya butiran iman (Nur Ilahi) ke dalam (rasa) hatinya, sehingga lalu memfungsikan mata hatinya (yang ada di dalam hati, ruh dan rasa) dapat dengan mudah dan indah merasakan Keberadaan-Nya yang sungguh-sungguh dekat sekali kepadanya (bahkan lebih dekat dari jiwa raganya sendiri).

Nikmatnya zikir (mengingat-ingat dan menghayati Ada dan Wujud Diri-Nya Zat Yang Al-Ghaib) dalam rasa hatinya pun lalu terbukti. Inilah rahasia kebenaran mutlak Al-Haqq-Nya yang sama sekali tak terungkap dalam kata-kata dan tak terjangkau akal pikiran.

Seperti rahasia rasa asin, hakikatnya tak terungkap dan tak terpikir kecuali satu-satunya cara merasakan keberadaannya adalah dengan mencicipi garamnya. Padahal, garam ini masih bisa dilihat mata dan masih bisa dipikirkan akal.

Apalagi terhadap Tuhan Yang Al-Ghaib, sama sekali mustahil untuk mencerapnya dengan indra dan akal. Sejauh-jauh jangkauan akal manusia akhirnya hanya akan sampai pada kesimpulan hukum sebab-akibat penciptaan saja.

Setelah hati mengenali Keberadaan-Nya (ma'rifatullah), akal yang lalu tercerahi Cahaya Ilahi pun tak mampu mengingkari Keberadaan-Nya Yang Esa dan Mutlak. Meskipun demikian, akal tercerahkan ini tetap saja bungkam seribu bahasa tak mampu memaparkan-Nya, sebagaimana ia pun tak mampu memaparkan hakikat rasa asin.

Rahasia rasa (sirr) inilah yang sebenarnya menjadi dasar manusia. Buktinya, kehidupan tanpa rasa akan menjadikan kehidupan ini hambar sama sekali.

Akan tetapi ternyata semua rasa duniawi (termasuk rasa suka maupun duka yang dialami manusia) mendindingi atau menutup rapat-rapat rasa asli (sebagai hakikat insan) untuk merasakan Keberadaan Diri-Nya Zat Yang Wajib Wujud-Nya.

Setelah manusia tumbuh dalam kehidupan berdunia yang berporoskan nafsu dan watak akunya, mata hatinya lalu menjadi buta sama sekali. Akibatnya, manusia tidak lagi percaya bisa mengenali-Nya, apalagi hingga sampai bertemu dengan-Nya.

Terobosan kreatif

Menurut keyakinan sufi sejati, khususnya sufi Syaththari, Tuhan telah menyiapkan terobosan kreatif bagi umat beragama (siapa saja) yang merasa butuh kepada-Nya, sebagai wujud belas kasih-Nya kepada mereka. Yaitu, membentuk di tengah-tengah mereka seorang pembimbing sejati (syaikh atau guru mursyid) yang akan menunjukkan Keberadaan-Nya Yang Al-Ghaib dan menuntun hamba-Nya di jalan lurus menuju kepada-Nya, hingga sampai dengan selamat kembali kepada-Nya.

Sang pembimbing (yang tidak akan pernah berani mengaku, karena tidak merasa menjadi Guru) ini pertama-tama mengisikan butiran iman (Nur Ilahi) ke dalam rasa hati murid (orang yang berkehendak bertemu Tuhannya). Hal ini kemudian menghidupkan dan mencerahkan hati, ruh, dan rasanya, sehingga mencahaya dengan senantiasa mengingat-ingat dan menghayati Keberadaan Diri-Nya Ilahi. Mengubah dirinya menjadi insan cahaya Tuhan.

Lalu, si murid selalu berusaha mengikuti petunjuk Sang Pembimbing demi keberhasilannya memenangkan perang terbesar (jihadunnafs) yang mau tak mau mesti diperjuangkan seumur hidupnya di dunia ini. Proses ini diyakini kemudian akan mendatangkan fadhal dan rahmat Tuhannya yang menyampaikannya kepada tujuan hidup dan cita-cita bertemu dengan Tuhannya.

Kebutuhan murid sufi terhadap mengadanya seorang guru sejati baginya menjadi sangat penting dan perlu sekali, karena dia sangat menyadari begitu samarnya (bagai sehelai rambut dibelah tujuh) jalan menuju kepada-Nya. Juga, begitu halusnya (hingga tak disadari) bujuk rayu dan godaan setan dan iblis, serta adanya (selama umur hidupnya di dunia) ajakan nafsu yang selalu menyalahi kehendak-Nya dengan memerankan watak akunya.

Oleh karena itu, sang pembimbing sejati mestilah mempunyai martabat mursyidun, murbiyyun, nashihun dan sekaligus kamilun, di dalam menjalankan tugasnya membimbing murid sufi menuju keberhasilan cita-citanya.***

Penulis, H. JAMIL P. SYATHTHARIYYAH praktisi Tasawuf Syaththariyyah, warga Yayasan Lil-Muqarrabiin cabang Bandung dan bermukim di Kota Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar