Dalam mencari ridhoNya, para sufi menggunakan jalan yang bermacam-macam. Baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dengan melalui kearifan, kecintaan dan tapa brata.
Sejarah mencatat, pada akhir abad ke-8, muncul aliran Wahdatul Wujud, suatu faham tentang segala wujud yang pada dasarnya bersumber satu. Allah Ta’ala. Allah yang menjadikan sesuatu dan Dialah a’in dari segala sesuatu. Wujud alam adalah a’in wujud Allah, Allah adalah hakikat alam. Pada hakikatnya, tidak ada perbedaan antara wujud qadim dengan wujud baru yang disebut dengan makhluk. Dengan kata lain, perbedaan yang kita lihat hanya pada rupa atau ragam dari hakikat yang Esa. Sebab alam beserta manusia merupakan aspek lahir dari suatu hakikat batin yang tunggal. Tuhan Seru Sekalian Alam.
Faham wahdatul wujud mencapai puncaknya pada akhir abad ke-12. Muhyidin Ibn Arabi,seorang sufi kelahiran Murcia, kota kecil di Spanyol pada 17 Ramadhan 560 H atau 28 Juli 1165 M adalah salah seorang tokoh utamanya pada zamannya. Dalam bukunya yang berjudul Fusus al-Hikam yang ditulis pada 627 H atau 1229 M tersurat dengan jelas uraian tentang faham Pantheisme (seluruh kosmos adalah Tuhan), terjadinya alam semesta, dan keinsankamilan. Di mana faham ini muncul dan berkembang berdasarkan perenungan fakir filsafat dan zaud (perasaan) tasauf.
Faham ini kemudian berkembang ke luar jazirah Arab, terutama berkembang ke Tanah India yang dipelopori oleh Muhammad Ibn Fadillah, salah seorang tokoh sufi kelahitan Gujarat (…-1629M). Di dalam karangannya, kitab Tuhfah, beliau mengajukan konsep Martabat Tujuh sebagai sarana penelaahan tentang hubungan manusia dengan Tuhannya. Menurut Muhammad Ibn Fadillah, Allah yang bersifat gaib bisa dikenal sesudah bertajjali melalui tujuh martabat atau sebanyak tujuh tingkatan, sehingga tercipta alam semesta dengan segala isinya. Pengertian tajjali berarti kebenaran yang diperlihatkan Allah melalui penyinaran atau penurunan — di mana konsep ini lahir dari suatu ajaran dalam filsafat yang disebut monisme. Yaitu suatu faham yang memandang bahwa alam semesta beserta manusia adalah aspek lahir dari satu hakikat tunggal. Allah Ta’ala.
Dr. Simuh dalam Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati menyatakan; “Konsep ajaran martabat tujuh mengenai penciptaan alam manusia melalui tajjalinya Tuhan sebanyak tujuh tingkatan jelas tidak bersumber dari Al Qur’an. Sebab dalam Islam tak dikenal konsep bertajjali. Islam mengajarkan tentang proses Tuhan dalam penciptaan makhluknya dengan Alijad Minal Adam, berasal dari tidak ada menjadi ada.”
Selanjutnya, konsep martabat tujuh di Jawa dimulai sesudah keruntuhan Majapahit dan digantikan dengan kerajaan Demak Bintara yang menguasai Pulau Jawa. Sedangkan awal perkembangannya, ajaran martabat tujuh di Jawa berasal dari konsep martabat tujuh yang berkembang di Tanah Aceh — terutama yang dikembangkan oleh Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai (…-1630) dan Abdul Rauf (1617-1690).
Lebih lanjut ditambahkan; “Ajaran Syamsudin Pasai dan Abdul Rauf kelihatan besar pengaruhnya dalam perkembangan kepustakaan Islam Kejawen. Pengaruh Abdul Rauf berkembang melalui penyebaran ajaran tarekat Syatariyah yang disebarkan oleh Abdul Muhyi (murid Abdul Rauf) di tanah Priangan. Ajaran tarekat Syatariyah segera menyebar ke Cirebon dan Tegal. Dari Tegal muncul gubahan Serat Tuhfah dalam bahasa Jawa dengan sekar macapat yang ditulis sekitar tahun 1680.”
Sedangkan Buya Hamka mengemukakan bahwa faham Wahddatul Al-Wujud yang melahirkan ajaran Martabat Tujuh muncul karena tak dibedakan atau dipisahkan antara asyik dengan masyuknya. Dan apabila ke-Ilahi-an telah menjelma di badan dirinya, maka tidaklah kehendak dirinya yang berlaku, melainkan kehendak Allah.
Dr. Simuh pun kembali menambahkan, dalam ajaran martabat tujuh, Tuhan menampakkan DiriNya setelah bertajjali dalam tujuh di mana ketujuh tingkatan tersebut dibagi dalam dua wujud. Yakni tiga aspek batin dan empat aspek lahir. “Tiga aspek batin terdiri dari Martabat Ahadiyah (kesatuan mutlak), Martabat Wahdah (kesatuan yang mengandung kejamakan secara ijmal keseluruhan), dan Martabat Wahadiyah (kesatuan dalam kejamakan secara terperinci dan batas-batas setiap sesuatu). Sedangkan aspek lahir terdiri Alam Arwah (alam nyawa dalam wujud jamak), Alam Mitsal (kesatuan dalam kejamakan secara ijmal), Alam Ajsam (alam segala tubuh, kesatuan dalam kejamakan secara terperinci dan batas-batasnya) dan Insan Kamil (bentuk kesempurnaan manusia).
Menanggapi hal ini, Buya Hamka mengutip dari karya Ibnu Arabi yang berjudul Al-Futuhat al-Makkiya fi Marifa Asrar al-Malakiya (589 H atau 1201 M), bahwa tajjalinya Allah Ta’ala yang pertama adalah dalam alam Uluhiyah. kemudian dari alam Uluhiyah mengalir alam Jabarut, Malakut, Mitsal, Ajsam, Arwah dan Insan Kamil — di mana yang dimaksud dengan alam Uluhiyah adalah alam yang terjadi dengan perintah Allah tanpa perantara.
Martabat Pertama, Ahadiyah
Martabat pertama adalah Martabat Ahadiyah yang diungkapkan sebagai Martabat Lata’ayyun, atau al-Ama (tingkatan yang tidak diketahui). Disebut juga Al-Tanazzulat li ‘l-Dhat (dari alam kegelapan menuju alam terang), al-Bath (alam murni), al-Dhat (alam zat), al-Lahut (alam ketuhanan), al-Sirf (alam keutamaan), al-Dhat al-Mutlaq (zat kemutlakan), al-Bayad al-Mutlaq (kesucian yang mutlak), Kunh al-Dhat (asal terbuntuknya zat), Makiyyah al-Makiyyah (inti dari segala zat), Majhul al N’at (zat yang tak dapat disifati), Ghayb al Ghuyub (gaib dari segala yang gaib), Wujud al-Mahad (wujud yang mutlak).
Dan berikut adalah nukilan dari terjemahan tingkat pertama yang disebut Martabat Ahadiyah dalam Suluk Sujinah dan Serat Wirid Hidayat Jati.
Suluk Sujinah
Ada pengetahuan perihal tingkatan dalam kehidupan manusia, yang diceritakan dengan ajalollah dan dikenal dengan sebutan martabat tujuh, diawali dengan kegaiban. Zat yang membawa pengetahuan tentang Diri-Nya, dan tanpa membeberkan tentang kenyataan (fisik), Keadaannya kosong namun dasarnya ada. Tapi dalam martabat ini belum berkehendak. Martabat Akadiyah disebut juga dengan Sarikul Adham. Awal dari segala awal.Dalam alam ahadiyah dimulai dengan aksara La dan bersemayam ila. Itulah kekosongan pertama dari empat bentuk kekosongan. Kedua bernama Maslub. Ketiga adalah Tahlil, dan keempat Tasbeh. Maslub bermakna belum adanya bentuk atau wujud roh atau jiwa. Tak berbentuk badan atau wujud lainnya.Tahlil berarti tak bermula dan tak berakhir. Sedangkan Tasbeh bermakna Tuhan Maha Suci dan Tunggal. Tuhan tak mendua atau bertiga. Tak ada Pangeran lain kecuali Allah yang disembah dan dipuja, yang asih pada makhluknya.
Serat Wiirid Hidayat Jati
Sajaratul Yakin tumbuh dalam alam adam makdum yang sunyi senyap azali abadi, artinya pohon kehidupan yang berada dalam ruang hampa yang sunyi senyap selamanya, belum ada sesuatu pun, adalah hakikat Zat Mutlak yang qadim. Zat yang pasti terdahulu, yaitu zat atma, yang menjadi wahana alam Ahadiyah.
Di dalam Suluk Sujinah, tingkat pertama disebut dengan alam Ahadiyah, yaitu alam tentang tingkat keesaan-Nya. Keesaan-Nya agung, dan bukan obyek dari pengetahuan khusus mana pun dan karena itu tidak dapat dicapai oleh makhluk apa pun. Hanya Allah yang mengetahui diri-Nya dan keesaan-Nya.
Dalam keesaan-Nya tak ada sesuatu pun yang menguasai dan mengetahui kecuali diri-Nya. Firmannya adalah diri-Nya sendiri, begitu pun malaikat-Nya dan nabi-Nya. Allah dalam tingkatan ini berada pada kondisi al-Kamal, yaitu, dalam kesempurnaan-Nya.
Hakikat-Nya, keesaan-Nya adalah tempat berkumpulnya seluruh keragaman dan tenggelam atau lenyap dalam kesatuan-Nya. Dalam alam Ahadiyah keragaman dan kejamakan tersebut tidak dapat dipertentangkan dengan gagasan metafisis tentang tahapan atau tingkatan eksistensi.
Dalam tingkatan ini, Allah berada dalam kondisi Ghayb al-Ghuyub, yaitu, keberadaan-Nya yang gaib. Tuhan tak dapat diindrawi. Sebab Allah tidak membeberkan tentang kenyataan yang fisik. Allah dalam keadaan yang tak berujud, yang tak dapat dideteksi oleh manusia atau para wali, nabi, bahkan para malaikat terdekat-Nya. Sebab Ia masih dalam kesendirian-Nya. Allah belum menguraikan atau menciptakan sesuatu. Di dalam derajat ini, semua sifat umum kumpul melebur di dalam diri-Nya. Perbedaan sifat pun ada dalam kesatuan-Nya.
Tuhan dalam alam pertama disebut juga al-Unsur Adam, Allah adalah unsur yang pertama, dan tak ada makhluk-makhluk lainnya yang mendahului. Diri-Nya adalah unsur yang terdahulu yang bersifat agung. Zat-Nya adalah substansi universal dan hakikat-Nya yang tak dapat dipahami. Dalam sifat adam-Nya, hakikat-Nya tak dapat dipahami. Sebab awalnya adalah Ada dalam ketiadaan. Dan ketiadaan-Nya adalah hakikat yang tak terlukiskan dan tak dapat dimengerti oleh siapa pun. Hakikatnya di luar segala perumpamaan dan citraan yang memungkinkan.
Selanjutnya, alam Ahadiyah terbagi dalam empat tingkatan. Tahap pertama dikenal dengan kata La yang bersemayam di dalam kata illa. La dan illa adalah dua kata yang manunggal, karena setiap realitas-realitas hanya merupakan refleksi dari realitas-realitas Allah. La dan illa menunjukan pada asal segala sesuatu yaitu dalam ketiadaan-Nya, diri-Nya Ada. Sedangkan pengertian illa juga menunjukan pada kembali sesuatu dalam kesatuan-Nya yang bersifat keabadian.
Jika memperhatikan tatanan ontologis, bila diterapkan La dan illa akan mengisyaratkan pemisahan antara ada Ilahi dan para makhluknya. Dengan demikian, Ad-Nya pertama menjadi tabu bagi adanya yang kedua. Pengetian La dan illa dalam masyarakat sufi memiliki tiga makna. Pertama, adalah tiada Tuhan melainkan Allah. Kedua adalah tiada Ma’bud melainkan Allah dan ketiga tiada maujud melainkan Allah. Pengertian pertama mengacu pada keberadaan pada kekuasaan-Nya. Yaitu penegasan tiada Tuhan yang pantas menjadi penguasa selain Allah yang Esa. Pengertian kedua, Allah adalah Zat yang wajib disembah sebab Allah bersifat disembah. Tiada penguasa yang wajib disembah selain Allah, Zat yang Maha Suci. Sedangkan pengertian ketiga, Allah adalah awal segala yang berwujud. Sebab Zat-Nya adalah wujud yang pertama dan tak berakhir.
Ketiga pengertian tersebut di atas adalah suatu kesatuan yang tak dapat dikaji secara terpisah. Sebab, segala bentuk yang maujud ini pada hakikatnya sama sekali tidak ada. Yang ada hanyalah Allah. Jadi, kalau yang ada ini semuanya dikatakan ada, artinya ada dalam Allah. Inilah konsep dasar dari Widhatul al-Wujud. Sementara, tingkatan kedua dari alam Ahadiyah adalah Nafi Uslub, yaitu, tingkat ketiadaan-Nya yang ada. Dalam ketiadaan-Nya, Allah tak dapat digambarkan atau dilukiskan oleh siapa pun. Allah dalam keadaan Al-Ama, yaitu, tingkatan yang tak dapat diketahui. Allah dalam tingkatan ini hanya mempunyai hubungan murni dalam hakikat dan tanpa bentuk. Sedang tingkatan yang ketiga dalam alam Ahadiyah adalah Tahlil. Pengertian Tahlil berarti kondisi Tuhan yang bermakna La illa illaha. Tahlil pun bermakna suatu kondisi pemujaan Allah dengan pengucapan syahadat tentang persaksian akan keberadaan-Nya.
Dalam kalimah Syahadah yang diucapkan dengan niat bulat dan mengakui bahwa Allah berkuasa sendirian, tidak menghendaki pertolongan dari siapa pun, ia suci dan kaya. Kalimah Syahadah adalah kalimat yang wajib bagi pemeluk Islam, di mana intinya adalah pengakuan akan adanya Allah yang menjadi pemimpin kehidupan, di samping itu, adanya pengakuan rasul Allah. Yaitu Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya.
Selanjutnya, tingkat empat adalah Ahadiyah Tasbih, yang bermakna kemahaluasan Allah. Tingkatan ini berintikan kalimat Subhhanallah, artinya, maha suci Allah dan mengingatkan serta menunjukan seluruh keyakinan untuk selalu mempersucikan-Nya.
Sedang pada Serat Wirid Hidayat Jati, ajaran pertamanya dikenal dengan sebutan Sajaratul Yakin. Yaitu sebagai lambang pohon kehidupan yang dalam bahasa Jawa disebut dengan Kajeng Sejati dan memiki makna pengertian tentang kehidupan atau hayyu.
Hayyu berarti atma, jiwa atau ruh. Dalam Sajaratul Yakin Allah adalah Wujud al-Sirf, kondisi wujud yang utama. Atma-Nya belum tersifati, namun ruh-Nya adalah al-Lahut (bersifat ke-ilahi-an). Ia merupakan hakikat zat mutlak dan qadim, yaitu, asal zat dari segala zat yang bersifat abadi. Zat-Nya tak ada dalam penguraian. Segala penguraian-Nya adalah bersifat negatif. Sebab Allah bersifat Makiyyah al Makiyyah, yaitu, inti dari segala zat yang ada di kemudian hari. Atmanya adalah esa dari yang tak teruraikan dan diuraikan.
Zat ruh-Nya sesungguhnya adalah zat yang bersifat esa. Ruh itulah sejatinya Tuhan Yang Mahasuci. Ruh-Nya adalah subyek absolut, di mana benda yang termasuk subyek individu hanyalah obyektivisasi-obyektivisasi ilusi. Sebab Allah adalah Kunh al-Dhat, asalnya zat terbentuk.
Di dalam kitabnya Daqiqul Akbar, Imam Abdurahman menuliskan, pada awal permulaan Allah menciptakan sebatang pohon kayu bercabang empat. Pohon kayu tersebut dikenal dengan Syajaratul Yakin. Dan Syajaratul Yakin tercipta dalam alam kesunyian yang bersifat qadim dan azali. Pengertian sunyi di sini bukan bermakna tak adanya sesuatu. Namun bermakna belum terciptanya alam, kecuali tajjali-Nya yang pertama dalam bentuk Syajaratul Yakin. Sedangkan pengertian qadim dan azali adalah wujud dari sifat-Nya yang terawal dan tak berakhir. Zat-Nya adalah terdahulu, tak ada sesuatu pun yang mendahului dan tak ada akhir karena masa.
Syajaratul yakin afdalah awal sifat-Nya. Dalam pohon kehidupan sifat-Nya yang menonjol adalah tentang hidup — hidup (al-Hayat) adalah sifat wajib yang ada pada Diri-Nya. Sebab sifat al-Hayat adalah qadim dan azali. Al-Hayat dalam segala martabat-Nya menjadi pangkal bagi segala macam kenyataan yang lahir dan kekal. karena hidup atau hayyu atau atma adalah subyek yang absolut, maka, hakikat atma atau hidup adalah mutlak yang qadim. Dan Allah adalah zat pertama dan sumber dari hidup itu sendiri. Diri-Nya adalah kekal bersamaan dengan kekalnya zat kehidupan.
Keduanya adalah ada dalam kemanunggalan. Zat-Nya yang al-Hayat adalah sumber munculnya perkara-perkara sifat wajib-Nya. Yaitu, ilmu, iradat, kalam dan baqa. Artinya, karena adanya ruh atau hayyu (al-Hayat), maka, muncul ilmu (pengetahuan). Timbulnya pengetahuan (al-ilm) menciptakan atau mengalirnya kehendak (iradat), dan firman-Nya. Dan ketiga sifat-Nya adalah kekal, baqa.
Ditulis dalam MARTABAT TUJUH | 6 Komentar »
MARTABAT TUJUH
Juli 27, 2008
DALAM SULUK SUJINAH DAN SERAT WIRID HIDAYAT JATI
Dalam mencari ridhoNya, para sufi menggunakan jalan yang bermacam-macam. Baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dengan melalui kearifan, kecintaan dan tapa brata.
Sejarah mencatat, pada akhir abad ke-8, muncul aliran Wahdatul Wujud, suatu faham tentang segala wujud yang pada dasarnya bersumber satu. Allah Ta’ala. Allah yang menjadikan sesuatu dan Dialah a’in dari segala sesuatu. Wujud alam adalah a’in wujud Allah, Allah adalah hakikat alam. Pada hakikatnya, tidak ada perbedaan antara wujud qadim dengan wujud baru yang disebut dengan makhluk. Dengan kata lain, perbedaan yang kita lihat hanya pada rupa atau ragam dari hakikat yang Esa. Sebab alam beserta manusia merupakan aspek lahir dari suatu hakikat batin yang tunggal. Tuhan Seru Sekalian Alam.
Faham wahdatul wujud mencapai puncaknya pada akhir abad ke-12. Muhyidin Ibn Arabi,seorang sufi kelahiran Murcia, kota kecil di Spanyol pada 17 Ramadhan 560 H atau 28 Juli 1165 M adalah salah seorang tokoh utamanya pada zamannya. Dalam bukunya yang berjudul Fusus al-Hikam yang ditulis pada 627 H atau 1229 M tersurat dengan jelas uraian tentang faham Pantheisme (seluruh kosmos adalah Tuhan), terjadinya alam semesta, dan keinsankamilan. Di mana faham ini muncul dan berkembang berdasarkan perenungan fakir filsafat dan zaud (perasaan) tasauf.
Faham ini kemudian berkembang ke luar jazirah Arab, terutama berkembang ke Tanah India yang dipelopori oleh Muhammad Ibn Fadillah, salah seorang tokoh sufi kelahitan Gujarat (…-1629M). Di dalam karangannya, kitab Tuhfah, beliau mengajukan konsep Martabat Tujuh sebagai sarana penelaahan tentang hubungan manusia dengan Tuhannya. Menurut Muhammad Ibn Fadillah, Allah yang bersifat gaib bisa dikenal sesudah bertajjali melalui tujuh martabat atau sebanyak tujuh tingkatan, sehingga tercipta alam semesta dengan segala isinya. Pengertian tajjali berarti kebenaran yang diperlihatkan Allah melalui penyinaran atau penurunan — di mana konsep ini lahir dari suatu ajaran dalam filsafat yang disebut monisme. Yaitu suatu faham yang memandang bahwa alam semesta beserta manusia adalah aspek lahir dari satu hakikat tunggal. Allah Ta’ala.
Dr. Simuh dalam Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati menyatakan; “Konsep ajaran martabat tujuh mengenai penciptaan alam manusia melalui tajjalinya Tuhan sebanyak tujuh tingkatan jelas tidak bersumber dari Al Qur’an. Sebab dalam Islam tak dikenal konsep bertajjali. Islam mengajarkan tentang proses Tuhan dalam penciptaan makhluknya dengan Alijad Minal Adam, berasal dari tidak ada menjadi ada.”
Selanjutnya, konsep martabat tujuh di Jawa dimulai sesudah keruntuhan Majapahit dan digantikan dengan kerajaan Demak Bintara yang menguasai Pulau Jawa. Sedangkan awal perkembangannya, ajaran martabat tujuh di Jawa berasal dari konsep martabat tujuh yang berkembang di Tanah Aceh — terutama yang dikembangkan oleh Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai (…-1630) dan Abdul Rauf (1617-1690).
Lebih lanjut ditambahkan; “Ajaran Syamsudin Pasai dan Abdul Rauf kelihatan besar pengaruhnya dalam perkembangan kepustakaan Islam Kejawen. Pengaruh Abdul Rauf berkembang melalui penyebaran ajaran tarekat Syatariyah yang disebarkan oleh Abdul Muhyi (murid Abdul Rauf) di tanah Priangan. Ajaran tarekat Syatariyah segera menyebar ke Cirebon dan Tegal. Dari Tegal muncul gubahan Serat Tuhfah dalam bahasa Jawa dengan sekar macapat yang ditulis sekitar tahun 1680.”
Sedangkan Buya Hamka mengemukakan bahwa faham Wahddatul Al-Wujud yang melahirkan ajaran Martabat Tujuh muncul karena tak dibedakan atau dipisahkan antara asyik dengan masyuknya. Dan apabila ke-Ilahi-an telah menjelma di badan dirinya, maka tidaklah kehendak dirinya yang berlaku, melainkan kehendak Allah.
Dr. Simuh pun kembali menambahkan, dalam ajaran martabat tujuh, Tuhan menampakkan DiriNya setelah bertajjali dalam tujuh di mana ketujuh tingkatan tersebut dibagi dalam dua wujud. Yakni tiga aspek batin dan empat aspek lahir. “Tiga aspek batin terdiri dari Martabat Ahadiyah (kesatuan mutlak), Martabat Wahdah (kesatuan yang mengandung kejamakan secara ijmal keseluruhan), dan Martabat Wahadiyah (kesatuan dalam kejamakan secara terperinci dan batas-batas setiap sesuatu). Sedangkan aspek lahir terdiri Alam Arwah (alam nyawa dalam wujud jamak), Alam Mitsal (kesatuan dalam kejamakan secara ijmal), Alam Ajsam (alam segala tubuh, kesatuan dalam kejamakan secara terperinci dan batas-batasnya) dan Insan Kamil (bentuk kesempurnaan manusia).
Menanggapi hal ini, Buya Hamka mengutip dari karya Ibnu Arabi yang berjudul Al-Futuhat al-Makkiya fi Marifa Asrar al-Malakiya (589 H atau 1201 M), bahwa tajjalinya Allah Ta’ala yang pertama adalah dalam alam Uluhiyah. kemudian dari alam Uluhiyah mengalir alam Jabarut, Malakut, Mitsal, Ajsam, Arwah dan Insan Kamil — di mana yang dimaksud dengan alam Uluhiyah adalah alam yang terjadi dengan perintah Allah tanpa perantara.
Martabat Pertama, Ahadiyah
Martabat pertama adalah Martabat Ahadiyah yang diungkapkan sebagai Martabat Lata’ayyun, atau al-Ama (tingkatan yang tidak diketahui). Disebut juga Al-Tanazzulat li ‘l-Dhat (dari alam kegelapan menuju alam terang), al-Bath (alam murni), al-Dhat (alam zat), al-Lahut (alam ketuhanan), al-Sirf (alam keutamaan), al-Dhat al-Mutlaq (zat kemutlakan), al-Bayad al-Mutlaq (kesucian yang mutlak), Kunh al-Dhat (asal terbuntuknya zat), Makiyyah al-Makiyyah (inti dari segala zat), Majhul al N’at (zat yang tak dapat disifati), Ghayb al Ghuyub (gaib dari segala yang gaib), Wujud al-Mahad (wujud yang mutlak).
Dan berikut adalah nukilan dari terjemahan tingkat pertama yang disebut Martabat Ahadiyah dalam Suluk Sujinah dan Serat Wirid Hidayat Jati.
Suluk Sujinah
Ada pengetahuan perihal tingkatan dalam kehidupan manusia, yang diceritakan dengan ajalollah dan dikenal dengan sebutan martabat tujuh, diawali dengan kegaiban. Zat yang membawa pengetahuan tentang Diri-Nya, dan tanpa membeberkan tentang kenyataan (fisik), Keadaannya kosong namun dasarnya ada. Tapi dalam martabat ini belum berkehendak. Martabat Akadiyah disebut juga dengan Sarikul Adham. Awal dari segala awal.Dalam alam ahadiyah dimulai dengan aksara La dan bersemayam ila. Itulah kekosongan pertama dari empat bentuk kekosongan. Kedua bernama Maslub. Ketiga adalah Tahlil, dan keempat Tasbeh. Maslub bermakna belum adanya bentuk atau wujud roh atau jiwa. Tak berbentuk badan atau wujud lainnya.Tahlil berarti tak bermula dan tak berakhir. Sedangkan Tasbeh bermakna Tuhan Maha Suci dan Tunggal. Tuhan tak mendua atau bertiga. Tak ada Pangeran lain kecuali Allah yang disembah dan dipuja, yang asih pada makhluknya.
Serat Wiirid Hidayat Jati
Sajaratul Yakin tumbuh dalam alam adam makdum yang sunyi senyap azali abadi, artinya pohon kehidupan yang berada dalam ruang hampa yang sunyi senyap selamanya, belum ada sesuatu pun, adalah hakikat Zat Mutlak yang qadim. Zat yang pasti terdahulu, yaitu zat atma, yang menjadi wahana alam Ahadiyah.
Di dalam Suluk Sujinah, tingkat pertama disebut dengan alam Ahadiyah, yaitu alam tentang tingkat keesaan-Nya. Keesaan-Nya agung, dan bukan obyek dari pengetahuan khusus mana pun dan karena itu tidak dapat dicapai oleh makhluk apa pun. Hanya Allah yang mengetahui diri-Nya dan keesaan-Nya.
Dalam keesaan-Nya tak ada sesuatu pun yang menguasai dan mengetahui kecuali diri-Nya. Firmannya adalah diri-Nya sendiri, begitu pun malaikat-Nya dan nabi-Nya. Allah dalam tingkatan ini berada pada kondisi al-Kamal, yaitu, dalam kesempurnaan-Nya.
Hakikat-Nya, keesaan-Nya adalah tempat berkumpulnya seluruh keragaman dan tenggelam atau lenyap dalam kesatuan-Nya. Dalam alam Ahadiyah keragaman dan kejamakan tersebut tidak dapat dipertentangkan dengan gagasan metafisis tentang tahapan atau tingkatan eksistensi.
Dalam tingkatan ini, Allah berada dalam kondisi Ghayb al-Ghuyub, yaitu, keberadaan-Nya yang gaib. Tuhan tak dapat diindrawi. Sebab Allah tidak membeberkan tentang kenyataan yang fisik. Allah dalam keadaan yang tak berujud, yang tak dapat dideteksi oleh manusia atau para wali, nabi, bahkan para malaikat terdekat-Nya. Sebab Ia masih dalam kesendirian-Nya. Allah belum menguraikan atau menciptakan sesuatu. Di dalam derajat ini, semua sifat umum kumpul melebur di dalam diri-Nya. Perbedaan sifat pun ada dalam kesatuan-Nya.
Tuhan dalam alam pertama disebut juga al-Unsur Adam, Allah adalah unsur yang pertama, dan tak ada makhluk-makhluk lainnya yang mendahului. Diri-Nya adalah unsur yang terdahulu yang bersifat agung. Zat-Nya adalah substansi universal dan hakikat-Nya yang tak dapat dipahami. Dalam sifat adam-Nya, hakikat-Nya tak dapat dipahami. Sebab awalnya adalah Ada dalam ketiadaan. Dan ketiadaan-Nya adalah hakikat yang tak terlukiskan dan tak dapat dimengerti oleh siapa pun. Hakikatnya di luar segala perumpamaan dan citraan yang memungkinkan.
Selanjutnya, alam Ahadiyah terbagi dalam empat tingkatan. Tahap pertama dikenal dengan kata La yang bersemayam di dalam kata illa. La dan illa adalah dua kata yang manunggal, karena setiap realitas-realitas hanya merupakan refleksi dari realitas-realitas Allah. La dan illa menunjukan pada asal segala sesuatu yaitu dalam ketiadaan-Nya, diri-Nya Ada. Sedangkan pengertian illa juga menunjukan pada kembali sesuatu dalam kesatuan-Nya yang bersifat keabadian.
Jika memperhatikan tatanan ontologis, bila diterapkan La dan illa akan mengisyaratkan pemisahan antara ada Ilahi dan para makhluknya. Dengan demikian, Ad-Nya pertama menjadi tabu bagi adanya yang kedua. Pengetian La dan illa dalam masyarakat sufi memiliki tiga makna. Pertama, adalah tiada Tuhan melainkan Allah. Kedua adalah tiada Ma’bud melainkan Allah dan ketiga tiada maujud melainkan Allah. Pengertian pertama mengacu pada keberadaan pada kekuasaan-Nya. Yaitu penegasan tiada Tuhan yang pantas menjadi penguasa selain Allah yang Esa. Pengertian kedua, Allah adalah Zat yang wajib disembah sebab Allah bersifat disembah. Tiada penguasa yang wajib disembah selain Allah, Zat yang Maha Suci. Sedangkan pengertian ketiga, Allah adalah awal segala yang berwujud. Sebab Zat-Nya adalah wujud yang pertama dan tak berakhir.
Ketiga pengertian tersebut di atas adalah suatu kesatuan yang tak dapat dikaji secara terpisah. Sebab, segala bentuk yang maujud ini pada hakikatnya sama sekali tidak ada. Yang ada hanyalah Allah. Jadi, kalau yang ada ini semuanya dikatakan ada, artinya ada dalam Allah. Inilah konsep dasar dari Widhatul al-Wujud. Sementara, tingkatan kedua dari alam Ahadiyah adalah Nafi Uslub, yaitu, tingkat ketiadaan-Nya yang ada. Dalam ketiadaan-Nya, Allah tak dapat digambarkan atau dilukiskan oleh siapa pun. Allah dalam keadaan Al-Ama, yaitu, tingkatan yang tak dapat diketahui. Allah dalam tingkatan ini hanya mempunyai hubungan murni dalam hakikat dan tanpa bentuk. Sedang tingkatan yang ketiga dalam alam Ahadiyah adalah Tahlil. Pengertian Tahlil berarti kondisi Tuhan yang bermakna La illa illaha. Tahlil pun bermakna suatu kondisi pemujaan Allah dengan pengucapan syahadat tentang persaksian akan keberadaan-Nya.
Dalam kalimah Syahadah yang diucapkan dengan niat bulat dan mengakui bahwa Allah berkuasa sendirian, tidak menghendaki pertolongan dari siapa pun, ia suci dan kaya. Kalimah Syahadah adalah kalimat yang wajib bagi pemeluk Islam, di mana intinya adalah pengakuan akan adanya Allah yang menjadi pemimpin kehidupan, di samping itu, adanya pengakuan rasul Allah. Yaitu Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya.
Selanjutnya, tingkat empat adalah Ahadiyah Tasbih, yang bermakna kemahaluasan Allah. Tingkatan ini berintikan kalimat Subhhanallah, artinya, maha suci Allah dan mengingatkan serta menunjukan seluruh keyakinan untuk selalu mempersucikan-Nya.
Sedang pada Serat Wirid Hidayat Jati, ajaran pertamanya dikenal dengan sebutan Sajaratul Yakin. Yaitu sebagai lambang pohon kehidupan yang dalam bahasa Jawa disebut dengan Kajeng Sejati dan memiki makna pengertian tentang kehidupan atau hayyu.
Hayyu berarti atma, jiwa atau ruh. Dalam Sajaratul Yakin Allah adalah Wujud al-Sirf, kondisi wujud yang utama. Atma-Nya belum tersifati, namun ruh-Nya adalah al-Lahut (bersifat ke-ilahi-an). Ia merupakan hakikat zat mutlak dan qadim, yaitu, asal zat dari segala zat yang bersifat abadi. Zat-Nya tak ada dalam penguraian. Segala penguraian-Nya adalah bersifat negatif. Sebab Allah bersifat Makiyyah al Makiyyah, yaitu, inti dari segala zat yang ada di kemudian hari. Atmanya adalah esa dari yang tak teruraikan dan diuraikan.
Zat ruh-Nya sesungguhnya adalah zat yang bersifat esa. Ruh itulah sejatinya Tuhan Yang Mahasuci. Ruh-Nya adalah subyek absolut, di mana benda yang termasuk subyek individu hanyalah obyektivisasi-obyektivisasi ilusi. Sebab Allah adalah Kunh al-Dhat, asalnya zat terbentuk.
Di dalam kitabnya Daqiqul Akbar, Imam Abdurahman menuliskan, pada awal permulaan Allah menciptakan sebatang pohon kayu bercabang empat. Pohon kayu tersebut dikenal dengan Syajaratul Yakin. Dan Syajaratul Yakin tercipta dalam alam kesunyian yang bersifat qadim dan azali. Pengertian sunyi di sini bukan bermakna tak adanya sesuatu. Namun bermakna belum terciptanya alam, kecuali tajjali-Nya yang pertama dalam bentuk Syajaratul Yakin. Sedangkan pengertian qadim dan azali adalah wujud dari sifat-Nya yang terawal dan tak berakhir. Zat-Nya adalah terdahulu, tak ada sesuatu pun yang mendahului dan tak ada akhir karena masa.
Syajaratul yakin afdalah awal sifat-Nya. Dalam pohon kehidupan sifat-Nya yang menonjol adalah tentang hidup — hidup (al-Hayat) adalah sifat wajib yang ada pada Diri-Nya. Sebab sifat al-Hayat adalah qadim dan azali. Al-Hayat dalam segala martabat-Nya menjadi pangkal bagi segala macam kenyataan yang lahir dan kekal. karena hidup atau hayyu atau atma adalah subyek yang absolut, maka, hakikat atma atau hidup adalah mutlak yang qadim. Dan Allah adalah zat pertama dan sumber dari hidup itu sendiri. Diri-Nya adalah kekal bersamaan dengan kekalnya zat kehidupan.
Keduanya adalah ada dalam kemanunggalan. Zat-Nya yang al-Hayat adalah sumber munculnya perkara-perkara sifat wajib-Nya. Yaitu, ilmu, iradat, kalam dan baqa. Artinya, karena adanya ruh atau hayyu (al-Hayat), maka, muncul ilmu (pengetahuan). Timbulnya pengetahuan (al-ilm) menciptakan atau mengalirnya kehendak (iradat), dan firman-Nya. Dan ketiga sifat-Nya adalah kekal, baqa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar