Ego adalah tembok baja yang memisahkan manusia dari Tuhan. Ia merupakan unsur busuk yang menyeret manusia dari ketinggian martabat ilahinya dan membuatnya berdegenerasi menjadi makhluk yang berbasiskan insting-insting khewani serta impuls-impuls brutal. ~ Sri Swami Sivananda.
Mengikis ego sama-sekali bukan sesuatu yang teoritis, melainkan hal yang sepenuhnya praktis. Tentu saja ‘praktis’ disini bukan dalam artian fisikal-mekanis. Kita tak bisa berbuat sesuatu untuk mengikis ego. Ego tidak dikikis dengan berbuat —apakah itu berupa persembahyangan, berdoa, atau dengan berderma, melangsungkan aktivitas sosial kemanusiaan atau sejenisnya— apalagi melalui mengintelektualisasikannya.
Adalah teramat janggal untuk berkata, “Aku harus mengikis ego ini. Ia mencelakakanku!” Justru ‘si aku’ yang berhasrat kuat mengikis ego inilah si ego itu sendiri, dalam manifestasinya yang sedikit lebih tinggi, lebih halus. Apalagi kalau saya berbangga dan berkata dalam hati, “Aku telah mengikis ego”, atau “Egoku kini sudah jauh lebih tipis dibanding sebelumnya”. Ini benar-benar konyol.
Coba renungkan; bukankah soal mengikis ego itu sebetulnya tiada lain dari masalah peniadaan rasa-diri? Semasih ada rasa-diri, ego akan tetap bertahan. Rasa-diri inilah ekspresi dari si ego. Ekspresi lainnya, yang sebetulnya sangat kita akrabi adalah, rasa kepemilikan dan sikap-sikap pementingan diri sendiri, pendahuluan urusan sendiri atau sejenisnya, yang umumnya disebut dengan sikap egoistis.
Rasa-diri atau sebentuk rasa yang merasa sebagai sesosok entitas solid, sesosok pribadi utuh yang sepenuhnya berbeda dan sama-sekali terpisah dari diri-diri lainnya, kecuali yang dianggapnya sebagai miliknya, kepunyaannya, hasil-karyanya, jasanya, dan yang sejenisnya. Rasa-diri yang sama jualah yang beranggapan kalau ia adalah ‘pusat semesta’, dimana segala sesuatunya dan diri-diri lainnya berputar, mengorbit di sekelilingnya —yang seringkali juga disebut egosentris itu.
Kalau begitu, apakah ego tak bisa dikikis? Apakah rasa-diri tak bisa ditiadakan? Atau, pertanyaannya malah menjadi, tidakkah mempertanyakan ini sebetulnya ekspresi lain dari egoisme itu sendiri?
Renungkanlah Sahabat!