SUNAN Kalijaga mendapat gelar agung sebagai guru suci Tanah Jawi. Kocap kacarita, Raden Mas Sahid putra kanjeg Adipati Tuban, sudah menjadi alim ulama yang cerdik dan pandai. Bahkan beliu sudah dapat merasakan mati di dalam hidup. Tingkatan pendakian tauhid yang sangat tinggi, dan patut diacungi jempol. Namun beliu belum puas dengan apa yang sudah didapat. Dia mempunyai himatulaliyyah atau cita-cita yang tinggi yaitu bertujuan inging memperoleh petunjuk diri seseorang yang sudah menemukan hakikat kehidupan, yang nantinya dapat mengantarkanya agar mendapat petunjuk yang dipagang para Nabi Wali atau Imam Hidayah.
Tekadnya semakin membaja, menyebabkan beliu melakukan perjalanan hidup yang tidak mempedulikan dampak atau akibat apapun yang akan terjadi, nafsunya menuntut ilmu semakin membara tak perduli samudra api menghadang. Bukankah Rasulullah pernah bersabda, “Tuntutlah ilmu biarpun harus menyeberang samudra api!”.
Ling lang ling lung, Raden Mas Sahid hatinya bimbang dan pikirannya bingung. Siapa yang tidak bingung! Segala ilmu yang diketahui dan dipahami diamalkan dengan penuh pengabdian kepada Allah, namun beliu merasa selalu tergoda oleh nafsunya, dan merasa tidak mampu mengatasinya. Berbagai usaha ditempuh agar akhir hidupnya nanti, mampu mengatasi nafsunya, jangan sampai terlanjur terlantur, hanya puas makan dan tidur. Namun tetap saja dirinya merasa hatinya kalah perang dengan nafsunya. Akhirnya beliu pasrah kepada Allah tempat berserah diri.
Ling lang ling lung, Raden Mas Sahid memohon kepada Allah Tuhan Yang Terpilih, semoga dibukakan oleh Tuhan Pembuat Nyawa, agar istiqomah hatinya, selaras dengan kehendak hatinya, jalan menuju sembah dan puji. Dan tiada putus-putusnya dia berdoa, biarpun terselip kekhawatiran dosa dan kekhilafan yang pernah dilakukannya semasa muda, mungkin tak termaafkan oleh Gusti Allah. Sekian lama beliu berdoa, namun tak ada tanda-tanda terkabulnya doa. Akhirnya beliu mawas diri. Mengapa petunjuk yang ditunggu-tunggu belum juga datang? Apakah caranya beribadah dan bersyukur yang salah? Apakah yang dilakukan selama ini acak-acakan tanpa dasar ilmu yaqin?
Ling lang ling lung, akhirnya Raden Mas Sahid diam tak mau berdoa lagi. Beliu menyendiri dan menjauhi urusan duniawi (uzlah). Buak dari laku ini, dirasanya masih saja ada gejolak batin, saling bertengkar dua sura dalam batingnya sendiri, bisikan Malaikat dan bisikan Syaitan. Pertentangan suaranya tidak lantang sebagaimana layaknya orang bertengkar, tetapi pertengkaran hebat itu tidak kunjung berhenti! Bukankah bisikan baik dan buruk saling merebut kemenangan? Apa sih yang diperebutkan? Padahal tidak ada yang diperebutkan! Perang batin ini, kalau diibaratkan seperti perebutan Kerajaan Ngastina oleh Kurawa dan Pandawa yang masih termasuk keluarga sendiri atau darah daging sendiri!
Ling lang ling lung, Raden Mas Sahid menyadari laku uzlah yang dijalankannya tak menghasilkan petunjuk yang diharapkan. Akhirnya tanpa malu-malu, karena didesak oleh hasrat mengetahui petunjuk, beliu berusaha bertapa berlapar-lapar, kalau ada teman datang, ikut makan dengan rakusnya, kalau temannya pergi tidak makan seumur hidupnya, sebab tidak ada yang dimakan. Ling lang ling lung, menuruti kesenangan memperindah diri, selalu meminta upah. Ling lang ling lung, Raden Mas Sahid meminta upah dari laku bertapa berlapar-lapar ternyata tiada hasil. Beliu akhirnya menyadari kebodohannya dan tersemyun sendiri. Mengapa sampai teganya Dia menagih tak henti-hentinya kepada Allah, padahal tanpa piutang? Gusti Allah yang ditagih wajar kalau diam saja, memang kenyataanya tidak berhutang! Biarpun yang menagih datang dan pergi, semua itu tidak ada bedanya, dan Allah Yang Maha Karya berhak tidak melunasi karena tidak pernah berhutang kepada Raden Mas Sahid. Akhirnya beliu memutuskan diri untuk berguru dengan Kanjeng Sunan Bonang, barangkali dengan itu, beliu dapat petunjuk iman hidayah.
Mulailah Raden Mas Sahid berguru kepada seseorang yang tinggi ilmunya yang bersunyi diri di Desa Bonang yang bergelar Kanjeng Sunan Bonang. Beliu mohon kepada Kanjeng Sunan Bonang untuk ditunjukkan hakikat kehidupan. Syekh Malaya disaat mulai berguru kepada Kanjeng Sunan Bonang diperintah bertapa menunggu pohon gurda dan dilarang meninggalkan tempat.
Ling lang ling lung, Syekh Malaya dapat dikatakan orang hebat, karena keinginanya yang kuat serta tekad batinnya, tak dapat dibandingkan dengan yang lainnya. Maklumlah beliu berdarah luhur, putra Kanjeng Adipati Tuban Wilwatikta II bernama Raden Mas Sahid, waktu tua bergelar Sunan Kalijaga. Rupanya sudah terlebih dahulu mendapat anugrah Kasih Sayang Gusti Allah Pencipta Nyawa yang sudah menjadi kemulian Tuhan Yang terpilih, timbul dari kasih Sayang Allah. Syekh Malaya berguru menuntut ilmu sudah cukup lama, namun merasa belum dapat manfaat yang nyata, rasanya Cuma penderitaan yang didapat, sebab disuruh memperbanyak bertapa, oleh Kanjeng Sunan Bonang, diperintah “menunggui pohon gurda” yang berada ditengah hutan belantara dan tidak boleh meninggalkan tempat, sudah dilaksanakan selama setahun.
Laku tapa yang kedua, disuruh “ngaluwat” yaitu ditanam di tengah hutan di dalam goa Sorowiti Panceng Tuban. Setelah setahun mulut gua yang mulanya ditutup dengan batu-batu, kemudia dibongkar oleh Kanjeng Sunan Bonang. Kemudian laku tapa yang ketiga, yaitu “tarak brata di tepi sungai” selama setahun, dan tidak boleh tidur ataupun makan, lalu ditinggal ke Mekah oleh Kanjeng Sunan Bonang.
Nyatanya sudah genap setahun, Syekh Malaya ditengok, ditemui masih tarak brata saja, Kanjeng Sunan bonang bersabda, “wahai siswaku sudahilah tarak bratamu, kamu mulai sekarang sudah menjadi Wali dan bergelar Sunan Kalijaga. Kamu diangkat sebagai wali Sembilan penutup maksudnya melengkapi Wali Sanga atau Wali Sembilan yang saat itu jumlah kurang satu wali. Tugasmu ikut menyiarkan agama Islam dan perbaikilah ketidakaturan yang ada. Agama itu tata krama, kesopanan untuk Kemuliaan Tuhan Yang Maha Mengetahui. Kau harus berpegang pada syariat Islam, serta segala ketentuan iman hidayah. Hidayah itu dari Gusti Allah Yang Maha Agung, yang sangat besar kanugrahan-Nya menumbuhkan kekuatan luar biasa dan keberanian, serta meliputi segala kebutuhan perang, yang demian itu tidak lain adalah anugrah yang besar, paling utama dari segala yang utama (keutamaan). Keutamaan ibarat bayi, siapapun ingn memelihara, yang mencukupi bayi, menguasai pula terhadap dirimu, tapi kamu tak punya hak menentukan, karena kau ini juga yang menentukan Gusti Allah Yang Maha Agung, karena itu mantapkanlah hatimu dalam pasrah diri pada-Nya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar