Biografi Al-Kindi
Al-kindi yang dikenal sebagai filosuf muslim keturunan Arab pertama, nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Yakub ibn al-Shabbah ibn Imran ibn Muhammad ibn al-Asy’as ibn Qais al-Kindi. Ia populer dengan sebutan Al-Kindi, yaitu dinisbatkan kepada Kindah, yakni suatu kabilah terkemuka pra-islam yang merupakan cabang dari Bani Kahlan yang menetap di Yaman.[1], yang juga kindah sejak dulu menempati daerah selatan Jazirah Arab yang tergolong memiliki apresiasi kebudayaan yang cukup tinggi dan banyak dikagumi orang.[2]
Ia lahir di Kufah sekitar 185 H (801 M) dari keluarga kaya dan terhormat. Kakek buyutnya, al-Asy’as ibn Qais adalah salah seorang sahabat Nabi yang gugur bersama Sa’ad ibn Abi Waqqas dalam peperangan antara kaum muslimin dengan Persia di Irak.. sedangkan ayahnya, Ishaq ibn al-Shabbah adalah gubernur Kufah pada masa pemerintahan Al-Mahdi (775-785 M) dan Al-Rasyid (786-809 M). ayahnya wafat ketika ia masih kanak-kanak, namun ia tetap memperoleh kesempatan untuk menuntut ilmu dengan baik di Bashrah dan Baghdad di mana dia dapat bergaul dengan ahli pikir tekenal.[3]
Memperhatikan tahun lahirnya, dapat diketahui bahwa Al-Kindi hidup pada masa keemasan kekuasaan Bani ‘Abbas. Pada masa kecilnya, Al-Kindi sempat merasakan masa pemerintahan khalifah Harun Al-Rasyid yang terkenal sangat memperhatikan dan mendorong perkembangan ilmu pengetahuan bagi kaum Muslim. Pada masa pemerintahannya, Baghdad menjadi pusat perdagangan sekaligus pusat ilmu pengetahuan. A-Rasyid mendirikan semacam akademi atau lembaga, tempat pertemuan para ilmuwan yang disebut Bayt Al-Hikmah (balai ilmu pengetahuan). Al-Rasyid wafat pada tahun 193 H (809 M) ketika Al-Kindi masih berumur 9 tahun. Sepeninggal Al-Rasyid, putranya, Al-Amin menggantikannya sebagai Khalifah, tetapi pada masanya tidak tercatat ada usaha-usaha untuk mengembangkan lebih lanjut ilmu pengetahuan yang telah dirintis dengan mengembangkan usaha susah payah ayahnya. Al-Amin wafat pada tahun 198 H (813 M), kemudian digantikan oleh saudaranya Al-Makmun. Pada masa pemerintahan Al-Makmun (198-228 H) perkembangan ilmu pengetahuan amat pesat. Fungsi Bayt Al-Hikmah lebih ditingkatkan, sehingga pada masanya berhasil dipertemukan antara ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu asing, khususnya dari Yunani. Pada masa ini juga dilakukan penerjemahan besar-besaran kitab-kitab Yunani ke dalam bahasa Arab, sehingga perkembangan ilmu pengetahuan di kalangan kaum muslim sangat pesat karena memperoleh kesempatan untuk mengembangkan diri. Dan pada waktu inilah Al-Kindi muncul sebagai salah seorang tokoh yang mendapat kepercayaan untuk menerjemahkan kitab-kitab Yunani ke dalam bahasa Arab, bahkan ia memberi komentar terhadap pikiran-pikiran pada filosof Yunani.[4]
Al-kindi yang dilahirkan di Kuffah pada masa kecilnya memperoleh pendidikan di Bashrah. Tentang siapa guru-gurunya tidak dikenal, karena tidak terekam dalam sejarah hidupnya. Tetapi dapat dipastikan ia mempelajari ilmu-ilmu sesuai dengan kurikulum pada masanya. Ia mempelajari Al-Qur’an, membaca, menulis, dan berhitung. Setelah menyelesaikan pelajaran (dasar(-nya di Bashrah, ia melanjutkan ke Baghdad hingga tamat, ia mahir sekali dalam berbagai macam cabang ilmu yang ada pada waktu itu, seperti ilmu ketabiban (kedokteran), filsafat, ilmu hitung, manthiq (logika), geometri, astronomi, dan lain-lain. Pendeknya ilmu-ilmu yang berasar dari Yunani juga ia pelajari, dan sekurang-kurangnya salah satu bahasa yang menjadi bahasa ilmu pengetahuan kala itu ia kuasai dengan baik yaitu bahasa Suryani. Dari buku-buku Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Suryani inilah Al-Kindi menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab. Namun Al-Kindi menanjak setelah hidup di istana pada masa pemerintahan Al-Mu’tashim yang menggantikan Al-Makmun pada tahun 218 H (833 M) karena pada waktu itu Al-Kindi dipercaya pihak istana menjadi guru pribadi pendidik puteranya, yaitu Ahmad bin Mu’tashim. Pada masa inilah Al-Kindi berkesempatan menulis karya-karyanya, setelah pada masa Al-Makmun menerjemahkan kitab-kitab Yunani ke dalam bahasa Arab.[5]
Membahas tentang mengapa Al-Kindi tidak disebutkan ahli falsafat islam yang pertama dan kehormatan ini diberikan kepada farabi?[6]
Memang bermacam-macam fikiran orang tentang gelar itu. Ada yang memasukkan Al-Kindi ke dalam golongan ahli falsafat dan menamakan dia ahli falsafat islam yang pertama. Ada juga yang memberikan gelar ahli falsafat islam yang pertama kepada farabi dengan alas an, bahwa al-kindi hanya merupakan penerjemah pertama dari kitab-kitab falsafat yunani ke dalam bahasa arab, karena al-kindilah anak arabyang pertama mengupas falsafat dalam bahasa arab.[7]
Sesudah mengikuti apa yang disebutkan diatas, maka salah paham orang terhadap al-kindi mudah dihindarkan. Jikalau kita mengakui bahwa al-kindi bukan hanya sekedar penerjemah kitab-kitab falsafat yunani, tetapi juga mengupas isi falsafat aristoteles dan plato, dan menyalurkan kepada suatu falsafat yang dapat diterima oleh islam. Maka dengan tidak ragu-ragu al-kindi dapat dinamakan ahli falsafat islam yang pertama, tetapi ia kalah dalam susunan bahasa yang indah, seperti yang pernah dikerjakan oleh farabi, yang lebih jelas mengemukakan analisa dan pendirian-pendirian falsafat islam. Sehingga falsafat yang dikemukakan oleh farabi itu merupakan corak falsafat islam yang sudah nyata bentuknya, meskipun rintisan kearah itu telah dibuka sebelumnya oleh al-kindi. Lalu farabi terkenal sebagai ahli falsafat islam yang pertama, yang buku dan bahasanya yang indah, sesuai dengan kemajuan kesusasteraan arab dikala itu, dibaca orang dalam kalangan luas dan mendapat perhatian penuh dari umum, terutama dari penulis-penulis sejarah.[8]
Lain dari pada itu al-kindi banyak musuhnya, tidak saja karena ia seorang yang terpandai, tetapi juga karena ia seorang yang terdekat dengan istana dan mempunyai pengaruh terhadap aliran-aliran tertentu. Tidak pula kita lupakan suatu hal yang terpenting, yang merupakan mega kemasyhuran al-kindi, bahwa kitab-kitabnya banyak yang hilang, dan lama kemudian dari pada matinya baru di ketemukan orang kembali serta dibicarakan, lama sesudah orang sepakat memberikan gelar kehormatan kepada farabi. Tetapi ia tetap merupakan perintis falsafat islam yang pertama. Dr. Madkur menyebut dia, “mu’assis awwal lil madrasah falsafiyah islamiyah“. (peletak baut pertama bagi aliran falsafat islam).[9]
Mustafa Abdurraziq juga menjunjung al-kindi sebagai ahli falsafat islam yang pertama karena tiga hal:
- al-kindi mula-mula membagi falsafat dalam 3 ilmu, yaitu ilmu ketuhanan, ilmu pasti, dan ilmu alam, ketiga-tiganya adalah merupakan dasar falsafat islam.
- bahwa al-kindilah yang mula-mula membuka jalan ke arah falsafat islam dengan mempertemukan dua pendapat yang berbeda antara plato dan aristoteles, sehingga dengan demikian itu bertemu pulalah agama dengan falsafat.
- bahwa al-kindi adalah seorang arab islam yang mula-mula merintis membuka ilmu falsafat ini, sehingga ilmu itu tersiar diantara orang arab dan dalam kalangan islam.[10]
Ibnu Usaibi’ah mengatakan tentang al-kindi: “tidak ada dalam dunia islam orang yang masyhur tentang ilmu falsafat pada masanya selain dari al-kindi, sehingga ia berhak dinamakan filosof islam”. Ibnu Nutabah juga berkata dengan jelas: “al-kindi ialah Ya’kub bin sibah, yang dalam masa hidupnya dinakan filosof islam”.[11]
Dengan demikian hampir semua orang menamakan al-kindi filosof islam pada waktu hidupnya, sampai lahirlah farabi menutupi kemasyhurannya, dan namanya tidak disebut lagi. Farabi masyhur karena karangan-karangan al-kindi, farabi digelarkan “guru yang kedua” karena ia mengupas falsafat yang kedua lebih mendalam dan lebih tegas, yang oleh al-kindi baru hanya disinggung-singgung dan yang oleh aristoteles baru digugat-gugat, sehingga dengan demikian farabi beroleh gelar, disamping aristoteles sebagai guru pertama, guru kedua dalam ilmu falsafat. Memang sudah menjadi kebiasaan dalam sejarah, yang memulai menderita susah payah, yang menyudahi biasanya beroleh kemenangan. Tetapi bagaimanapun juga, jasa penanam bibit dan perintis jalan tidak mudah dilupakan orang.[12]
Karya Al-Kindi
Sebagai seorang filosof islam yang produktif, diperkirakan karya yang pernah ditulis Al-Kindi dalam berbagai bidang tidak kurang dari 270 buah. Dalam bidang filsafat, diantaranya adalah:
- kitab Al-Kindi ila Al-Mu’tashim Billah fi al-Falsafah al-Ula (tentang filsafat pertama),
- kitab al-Falsafah al-Dakhilat wa al-Masa’il al-Manthiqiyyah wa al Muqtashah wa ma fawqa al-Thabi’iyyah (tentang filsafat yang diperkenalkan dan masalah-masalah logika dan muskil, serta metafisika),
- kitab fi Annahu la Tanalu al-Falsafah illa bi ‘ilm al-Riyadhiyyah (tentang filsafat tidak dapat dicapai kecuali dengan ilmu pengetahuan dan matematika),
- kitab fi Qashd Aristhathalis fi al-Maqulat (tentang maksud-maksud Aristoteles dalam kategori-kategorinya),
- kitab fi Ma’iyyah al-‘ilm wa Aqsamihi (tentang sifat ilmu pengetahuan dan klasifikasinya),
- Risalah fi Hudud al-Asyya’ wa Rusumiha (tentang definisi benda-benda dan uraiannya),
- Risalah fi Annahu Jawahir la Ajsam (tentang substansi-substansi tanpa badan),
- kitab fi Ibarah al-Jawami’ al Fikriyah (tentang ungkapan-ungkapan mengenai ide-ide komprehensif),
- Risalah al-Hikmiyah fi Asrar al-Ruhaniyah (sebuah tilisan filosofis tentang rahasia-rahasia spiritual),
- dan Risalah fi al-Ibanah an al-‘illat al-Fa’ilat al-Qaribah li al-kawn wa al-Fasad (tentang penjelasan mengenai sebab dekat yang aktif terhadap alam dan kerusakan).[13]
Definisi filsafat al-kindi
Al-kindi menyajikan banyak definisi filsafat tanpa menyatakan bahwa definisi mana yang menjadi miliknya. Yang disajikan adalah definisi-definisi dari filsafat terdahulu, itu pun tanpa menegaskan dari siapa diperolehnya. Mungkin dengan menyebut berbagai macam definisi itu dimaksudkan bahwa pengertian yang sebenarnya tercakup dalam semua definisi yang ada, tidak hanya pada salah satunya. Hal ini berarti bagi al-kindi, bahwa untuk memperoleh pengertian lengkap tentang apa filsafat itu harus memperhatikan semua unsur yang terdapat dalam semua definisi tentang filsafat. Definisi-definisi al-kindi sebagai berikut:[14]
- Filsafat sendiri terdiri dari gabungan dua kata, philo, sahabat dan Sophia, kebijaksanaan. Filsafat adalah cinta kepada kebijaksanaan. Definisi ini berdasar atas etimologi yunani dari kata-kata itu.
- Filsafat adalah upaya manusia meneladani perbuatan-perbuatan Tuhan sejauh dapat dijangkau oleh kemampuan akal manusia. Definisi ini merupakan definisi fungsional, yaitu meninjau filsafat dari segi tingkah laku manusia.
- Filsafat adalah latihan untuk mati. Yang dimaksud dengan mati adalah bercerainya jiwa dari badan. Atau mematikan hawa nafsu adalah mencapai keutamaan. Oleh karenanya, banyak orang bijak terdahulu yang mengatakan bahwa kenikmatan adalah suatu kejahatan. Definisi ini juga merupakan definisi fungsional, yang bertitik tolak pada segi tingkah laku manusia pula.
- Filsafat adalah pengetahuan dari segala pengetahuan dan kebijaksanaan dari segala kebijaksanaan. Definisi ini bertitik tolak dari segi kausa.
- Filsafat adalah pengetahuan manusia tentang dirinya. Definisi ini menitikberatkan pada fungsi filsafat sebagai upaya manusia untuk mengenal dirinya sendiri. Para filosof berpendapat bahwa manusia adalah badan. Jiwa dan aksedensial manusia yang mengetahui dirinya demikian itu berarti mengetahui segala sesuatu. Dari sinilah para filosof menamakan manusia sebagai mikrokosmos.
- Filsafat adalah pengetahuan tentang segala sesuatu yang abadi dan bersifat menyeluruh (umum), baik esensinya maupun kausa-kausanya. Definisi ini menitikberatkan dari sudut pandang materinya.
Dari beberapa definisi yang amat beragam diatas, tampaknya al-kindi menjatuhkan pilihannya pada definisi terakhir dengan menambahkan suatu cita filsafat, yaitu sebagai upaya mengamalkan nilai keutamaan. Menurut al-kindi, filosof adalah orang yang berupaya memperoleh kebenaran dan hidup mengamalkan kebenaran yang diperolehnya yaitu orang yang hidup menjunjung tinggi nilai keadilan atau hidup adil. Dengan demikian, filsafat yang sebenarnya bukan hanya pengetahuan tentang kebenaran, tetapi di samping itu juga merupakan aktualisasi atau pengamalan dari kebenaran itu. Filosof yang sejati adalah yang mampu memperoleh kebijaksanaan dan mengamalkan kebijaksanaan itu. Hal yang disebut terakhir menunjukkan bahwa konsep al-kindi tentang filsafat merupakan perpaduan antara konsep Socrates dan aliran stoa. Tujuan terakhir adalah dalam hubungannya dengan moralita.[15]
Al-kindi menegaskan juga bahwa filsafat yang paling tinggi tingkatannya adalah filsafat yang berupaya mengetahui kebenaran yang pertama, kausa daripada semua kebenaran, yaitu filsafat pertama. Filosof yang sempurna dan sejati adalah yang memiliki pengetahuan tentang yang paling utama ini. Pengetahuan tentang kausa (‘illat) lebih utama dari pengetahuan tentang akibat (ma’lul, effect). Orang akan mengetahui tentang ralitas secara sempurna jika mengetahui pula yang menjadi kausanya.[16]
Epistemologi Al-Kindi
Al-kindi menyebutkan adanya tiga macam pengetahuan manusia, yaitu: a). pengetahuan inderawi, b). pengetahuan yang diperoleh dengan jalan menggunakan akal yang disebut pengetahuan rasional, dan c). pengetahuan yang diperoleh langsung dari Tuhan yang disebut pengetahuan isyraqi dan iluminatif.
- Pengetahuan inderawi
Pengetahuan inderawi terjadi secara langsung ketika orang mengamati terhadap obyek-obyek material, kemudian dalam proses tanpa tenggang waktu dan tanpa berupaya berpindah ke imajinasi (musyawwirah), diteruskan ke tempat penampungannya yang disebut hafizhah (recollection). Pengetahuan yang diperoleh dengan jalan ini tidak tetap, karena obyek yang diamati pun tidak tetap, selalu dalam keadaan menjadi, berubah setiap saat, bergerak, berlebih-berkurang kuantitasnya, dan berubah-ubah pula kualitasnya.
Pengetahuan inderawi ini tidak memberi gambaran tentang hakikat sesuatu realitas. Pengetahuan inderawi selalu berwatak dan bersifat parsial (juz’iy). Pengetahuan inderawi amat dekat kepada penginderaannya, tetapi amat jauh dari pemberian gambaran tentang alam pada hakikatnya.[17]
- Pengetahuan rasional
Pengetahuan tentang sesuatu yang diperoleh dengan jalan menggunakan akal bersifat universal, tidak parsial, dan bersifat immaterial. Obyek pengetahuan rasional bukan individu, tetapi genus dan spesies. Orang mengamati manusia sebagai yang berbadan tegak dengan dua kaki, pendek, jangkung, berkulit putih atau berwarna, yang semua ini akan menghasilkan pengetahuan inderawi. Tetapi orang yang mengamati manusia, menyelidiki hakikatnya sehingga sampai pada kesimpulan bahwa manusia ialah makhluk berpikir (ratinal animal= hayawan nathiq), telah memperoleh pengetahuan rasional yang abstrak universal, mencakup semua individu manusia. Manusia yang telah ditajrid (dipisahkan) dari yang inderawi tidak mempunyai gambar yang terlukis dalam perasaan.
Al-kindi memperingatkan agar orang tidak mengacaukan metoda yang ditempuh untuk memperoleh pengetahuan, karena setiap ilmu mempunyai metodanya sendiri yang sesuai dengan wataknya. Watak ilmulah yang mennetukan metodanya. Adalah suatu kesalahan jika kita menggunakan suatu metoda suatu ilmu untuk mendekati ilmu lain yang mempunyai metodanya sendiri. Adalah suatu kesalahan jika kita menggunakan metoda ilmu alam untuk matematika, atau menggunakan metoda ilmu alam untuk metafisika.[18]
- Pengetahuan Isyraqi
Al-kindi mengatakan bahwa pengetahuan inderawi saja tidak akan sampai pada pengetahuan yang hakiki tentang hakikat-hakikat. Pengetahuan rasional terbatas pada pengetahuan tentang genus dan spesies. Banyak filosof yang membatasi jalan memperoleh pengetahuan pada dua macam jalan ini. Al-kindi, sebagaimana halnya banyak filosof isyraqi, mengingatkan adanya jalan lain untuk memperoleh pengetahuan lewat jalan isyraqi (iluminasi), yaitu pengetahuan yang langsung diperoleh dari pancaran Nur Ilahi. Puncak dari jalan ini ialah yang diperoleh para Nabi untuk membawakan ajaran-ajaran yang berasal dari wahyu kepada umat manusia. Para Nabi memperoleh pengetahuan yang berasal dari wahyu Tuhan tanpa upaya, tanpa bersusah payah, tanpa memerlukan waktu untuk memperolehnya. Pengetahuan mereka terjadi atas kehendak Tuhan semata-mata. Tuhan mensucikan jiwa mereka dan diterangkan-Nya pula jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran dengan jalan wahyu. Pengetahuan dengan jalan wahyu ini merupakan kekhususan bagi para Nabi yang membedakan dengan manusia-manusia lainnya. Akal meyakinkan kebenaran pengetahuan mereka berasal dari Tuhan, karena pengetahuan itu memang ada pada saat manusia biasa tidak mampu mengusahakannya, Karena hal itu memang diluar kemampuan manusia. Bagi manusia tidak ada jalan lain kecuali menerima dengan penuh ketaatan dan ketundukan kepada kehendak Tuhan, membenarkan semua yang dibawakan para Nabi.[19]
Filsafat dan Agama Menurut Al-Kindi[20]
Agama yang bersumber dari wahyu Ilahi mengandung kebenaran, dan kebenaran ini dituangkan untuk manusia. Filsafat juga mengandung kebenaran, kebenarannya didasarkan pada pencarian nalar manusia. Dengan demikian ujung dari keduanya ialah “kebenaran”. Filsafat mencari kebenaran dan agama membawa kebenaran. Namun demikian kebenaran agama tidak akan dirasakan kecuali oleh orang yang berakal. Oleh sebab itu kebenaran agama harus digali agar lebih jelas. Penggalinya ini dilakukan dengan menggunakan nalar filsafat.
Bagi al-kindi kebenaran yang dibawa oleh agama lebih positif dan lebih meyakinkan daripada kebenaran filsafat, walaupun ia juga harus memakai filsafat untuk lebih memperjelasnya, tetapi pekerjaan itu hanyalah pekerjaan membuka selubung barang yang telah ada.
Jadi, kebenaran yang hendak dicari oleh filsafat, akallah yang menjadi alat pencariannya, dan kebenaran yang dibawa oleh agama akal pulalah yang berfungsi untuk membuka tabirnya. Dengan demikian akal berfungsi dalam filsafat dan juga dalam agama.
Selanjutnya pembahasan yang paling tinggi dalam filsafat ialah pembahasan tentang masalah yang ada atau masalah kebenaran yang awal, yakni masalah ketuhanan. Sebab yang menjadi inti dari penggalian filsafat tidak lain ialah kebenaran. Kebenaran tidak akan sampai tuntas pembahasannya sebelum sampai kepada pokok dari segala kebenaran. Untuk itu filsafat berusaha keras untuk sampai kepada kebenaran pertama itu. Kebenaran pertama itulah Tuhan. Masalah ketuhanan digali dari berbagai jurusan, sehingga tampak dengan jelas kemutlakan-Nya, keadaan-Nya, keesaan-Nya dan sebagainya. Demikian pulalah dengan agama, di mana teologinya dengan dalil-dalil aklinya menetapkan tentang eksistensi Tuhan Yang Maha Mutlak itu. Demikianlah pandangan al-kindi tentang filsafat dan agama. Keduanya berjalan seiring, yang satu membutuhkan yang lain. Suatu kali al-kindi pernah mengatakan, bahwa siapa yang mengatakan filsafat ini bertentangan dengan agama berarti dialah yang tidak beragama.
Dengan ini tampak dengan jelas, bahwa al-kindi sangat mengagumi filsafat di samping kecintaannya kepada agama. Melihat jalan fikirannya dengan demikian tidak salah ada diantara ahli sejarah yang menganggap dia sebagai ahli ilmu kalam dari golongan mu’tazilah ketimbang sebagai filosof. Tetapi karena al-kindilah orang yang pertama Memperkenalkan buah fikiran filosof-filosof yunani serta memberikan analisa-analisa yang jelimet tentang dasar-dasar filsafat yunani itu, maka oleh sebagian besar pemikir islam menamakan dia sebagai filosof.[21]
Metafisika Al-kindi
Alam ini merupakan juz’iat (particulars) yang segalanya itu terdapat materi hakiki yang disebut kulliat (universal). Dalam istilah filsafat hakikat yang juz’iat itu biasa disebut dengan aniah dan hakikat yang kulliat disebut mahiah. Mahiah terdiri dari genus dan species.[22]
Bagi aristoteles benda-benda terdiri dari materi dan bentuk. Materi ialah substansi yang belum mempunyai bentuk, yang merupakan inti dari segala-galanya. Bila bentuk diletakkan pada materi berwujudlah materi tadi dalam keragaman yang dapat kita inderai. Terwujudnya bentuk digerakkan oleh penggerak pertama yang tidak diliputi oleh waktu, sebab adanya waktu ialah ketika telah wujudnya alam. Bagi al-kindi Tuhan tidaklah terdiri dari aniah ataupun mahiah. Tuhan mengatasi segenap alam, oleh sebab itu ia tidak sama dengan alam. Juga Tuhan tidak tersusun dari genus dan species, sebab setiap yang tersusun dari genus dan species adalah merupakan bentuk kejamakan dan bersifat fana (temporer), sedangkan Tuhan Maha Suci dari jamak dan fana. Tuhan hanya Esa, Dia-lah satu-satunya yang Esa, sebab Dia satu-satunya yang tidak tersusun dari genus dan species. Dan Tuhan itu kekal buat selama-lamanya.[23]
Tuhan bukan sebagai penggerak pertama seperti yang diungkapkan oleh aristoteles, tetapi bagi al-kindi Tuhan adalah pencipta. Daripada ciptaan-Nya yang awallah alam ini bersumber, sebagai akibat dari emanasi. Dalam hal ini al-kindi dekat dengan plotinus. Bagi plotinus, dari Yang Asal lagi Maha Sempurna melimpahlah makhluk yang pertama yaitu akal. Dari akal mengalir jiwa dunia dan dari jiwa lahirlah materi sebagai makhluk terendah. Mata rantai ini semakin jauh dari asalnya semakin berkuranglah kesempurnaannya. Menurut pandangan al-kindi yang asal dan Maha Sempurna itu, itulah Al-Khalik (creator) sebagai pencipta makhluk, kemudian makhluk melahirkan makhluk dan seterusnya sambung-bersambung ke bawah ke tingkat terendah.[24]
Di sini tampak bahwa al-kindi menyesuaikan antara filsafat plotinus dengan asas kepercayaan islam. Baginya Tuhan berada di atas hukum alam, Tuhan menjelmakan alam itu mempunyai suatu sunnah (ketentuan) yang tetap, sehingga yang satu menjadi sebab timbulnya yang lain.
Teori emanasi yang dibawa oleh al-kindi merupakan pembuka jalan bagi al-farabi untuk selanjutnya lebih memperjelas emanasi ini dalam bentuk yang lebih rinci.[25]
Tentang hakikat Tuhan, al-kindi mengatakan bahwa Tuhan adalah wujud yang haq (sebenarnya) yang tidak pernah tiada sebelumnya dan tidak akan pernah tiada selama-lamanya, yang ada sejak awal dan akan senantiasa ada selama-lamanya. Tuhan adalah wujud sempurna yang tidak pernah didahului wujud yang lain, dan wujud-Nya tidak akan pernah berakhir serta tidak ada wujud lain melainkan dengan perantaraan-Nya.[26]
Untuk membuktikan tentang wujud Tuhan, al-kindi berpijak pada adanya gerak, keanekaan, dan keteraturan alam sebagaimana argumentasi yang sering dikemukakan oleh filosof yunani.[27]
Sehubungan dalil gerak, al-kindi mengajukan pertanyaan sekaligus memberikan jawabannya dalam ungkapan berikut: mungkinkah sesuatu menjadi sebab adanya sendiri, ataukah hal itu tidak mungkin? Jawabnya: yang demikian itu tidak mungkin. Dengan demikian, alam ini adalah baru, ada permulaan dalam waktu, demikian pula alam ini ada akhirnya, oleh karenanya alam ini harus ada yang menciptakannya. Dari segi filsafat, argument al-kindi itu sejalan dengan argument aristoteles tentang causa prima dan penggerak pertama, penggerak yang tidak bergerak. Dari segi agama, argumen al-kindi itu sejalan dengan argumen ilmu kalam: alam berubah-ubah, semua yang berubah-ubah adalah baru, jadi alam adalah baru. Karena alam adalah baru, maka alam adalah ciptaan yang mengharuskan ada penciptanya, yang mencipta dari tiada (creation ex nihilo).[28]
Tentang dalil keanekaan alam wujud, al-kindi mengatakan bahwa tidak mungkin keanekaan alam wujud ini tanpa ada kesatuan, demikian pula sebaliknya tidak mungkin ada kesatuan tanpa keanekaan alam inderawi atau yang dapat dipandang sebagai inderawi. Karena dalam wujud semuanya mempunyai persamaan keanekaan (keserbaragaman) dan kesatuan (keseragaman), maka sudah pasti hal ini terjadi karena ada sebab, bukan karena kebetulan, dan sebab ini bukan alam wujud yang mempunyai persamaan dan keserbaragaman dan keseragaman itu sendiri. Jika tidak demikian akan terjadi hubungan sebab-akibat yang tidak berkesudahan, dan hal ini tidak mungkin terjadi. Oleh karenanya, sebab itu adalah diluar wujud itu sendiri, eksistensinya lebih tinggi, lebih mulia, dan lebih dulu adanya. Sebab ini, tidak lain adalah Tuhan.[29]
Mengenai dalil keteraturan alam wujud sebagai bukti adanya Tuhan, al-kindi mengatakan bahwa keteraturan alam inderawi tidak mungkin terjadi kecuali dengan adanya zat yang tidak terlihat, dan zat yang tidak terlihat itu tidak mungkin diketahui adanya kecuali dengan adanya keteraturan dan bekas-bekas yang menunjukkan ada-Nya yang terdapat dalam alam ini. Argumen demikian ini disebut argumen teleologik yang pernah juga digunakan aristoteles, tetapi juga bisa diperoleh dari ayat-ayat Al-Qur’an.
Tentang sifat-sifat Tuhan, al-kindi berpendirian seperti golongan mu’tazillah, yang menonjolkan ke-Esa-an sebagai satu-satunya sifat Tuhan.[30]
Corak filsafat Al-Kindi tidak banyak diketahui karena buku-bukunya tentang filsafat banyak yang hilang, baru pada zaman belakangan orang menemukan kurang lebih 20 risalah Al-Kindi dalam tulisan tangan.[31]
Al-Kindi telah berjasa dalam usahanya menjadikan filsafat sebagai salah satu khazanah pengetahuan islam setelah disesuaikan lebih dahulu dengan agama. Dalam risalahnya yang dihadiahkan kepada Ahmad bin al-Mu’tashim billah tentang filsafat “pertama”(metaphysic) Al-Kindi menyatakan pendapatnya, baik agama maupun filsafat kedua-duanya menghendaki kebenaran. Agama menempuh jalan syari’at, sedangkan filsafat menempuh jalan metode pembuktian. Filsafat yang mempunyai kedudukan serta martabat yang tertinggi dan termulia ialah filsafat “pertama”(filsafat metafisik), yakni pengetahuan tentang “kebenaran pertama”(al Haqqul-awwal) yang merupakan illah (sebab pokok) bagi semua kebenaran (Al-Haqq), demikian Al-kindi.[32]
Ketuhanan Menurut Al-Kindi
Sebagaimana halnya dengan filosof-filosof Yunani dan filosof-filosof islam lainnya, Al-Kindi, selain dari filosof adalah juga ahli ilmu pengetahuan. Pengetahuan ia bagi ke dalam dua bagian:
- Pengetahuan Ilahi (علم الهي, Divine science), sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an: yaitu pengetahuan lansung yang diperoleh Nabi dari Tuhan. Dasar pengetahuan ini ialah keyakinan.
- Pengetahuan manusiawi (علم انساني, human science) atau falsafat. Dasarnya ialah pemikiran (ratio-reason)
Argumen-argumen yang dibawa Al-Qur’an lebih meyakinkan daripada argument-argumen yang ditimbulkan falsafat. Tetapi falsafat dan Al-Qur’an tak bertentangan, kebenaran yang diberitakan wahyu tidak bertentangan dengan kebenaran yang dibawa falsafat. Mempelajari falsafat dan berfalsafat tidak dilarang, karena teologi adalah bagian dari falsafat, dan umat islam diwajibkan belajar teologi.[33]
Falsafat baginya ialah pengetahuan tentang yang benar (بحث عن الحق, knowledge of truth). Di sinilah terlihat persamaan falsafat dan agama. Tujuan agama ialah menerangkan apa yang benar dan apa yang baik, falsafat itu pulalah tujuannya. Agama, disamping wahyu, mempergunakan akal, dan falsafat juga mempergunakan akal. Yang benar pertama (الحق الأول, the first truth) bagi Al-Kindi ialah Tuhan. Falsafat dengan demikian membahas soal Tuhan dan agama ini pulalah dasarnya. Dan falsafat yang paling tinggi ialah falsafat tentang Tuhan. Sebagaimana kata Al-Kindi:
وَأسرَفُ الفَلسَفةِ وأعْلاهاَ مَرْتبَةً الفَلسفةُ الأُوْلى أعْنىِ عِلمَ الحَقِّ الأوَّلِ هُوَ عِلَّةُ كُلِّ حَقٍّ
“Falsafat yang termula dan tertinggi derajatnya adalah falsafat utama, yaitu ilmu tentang yang benar pertama, yang menjadi sebab bagi segala yang benar.”[34]
Adapun mengenai ketuhanan, bagi Al-Kindi, Tuhan adalah wujud yang sempurna dan tidak didahului wujud lain. Wujud-Nya tidak berakhir, sedangkan wujud lain disebabkan wujud-Nya. Tuhan adalah Maha esa yang tidak dapat dibagi-bagi dan tidak ada dzat lain yang menyamai-Nya dalam segala aspek. Ia tidak dilahirkan dan tidak pula melahirkan.[35]
Sesuai dengan faham yang ada di dalam Islam, Tuhan bagi Al-Kindi adalah Pencipta dan bukan penggerak pertama sebagaimana pendapat Aristoteles. Alam bagi Al-Kindi bukan kekal dizaman lampau (qadim) tetapi mempunyai permulaan. Pendapat Al-Kindi yang demikian menunjukkan betapa kuatnya pengaruh ilmu kalam pada waktu itu. Dalam hal membuktikan adanya Tuhan, Al-Kindi mengemukakan dalil empiris, yaitu: 1. dalil baharu alam, 2. dalil keragaman dan kesatuan, dan 3. dalil pengendalian alam.[36]
Jiwa Menurut Al-kindi
Adapun tentang jiwa, menurut Al-Kindi, tidak tersusun, tetapi mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Substansi roh berasal dari substansi Tuhan. Hubungan roh dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual, Illahiah, terpisah dan berbeda dari tubuh.[37]
Roh adalah lain dari badan dan mempunyai wujud sendiri. Argumen yang dikemukakan Al-Kindi tentang kelainan roh dari badan ialah keadaan badan mempunyai hawa nafsu (carnal desire) dan sifat pemarah (passion). Roh menentang keinginan hawa nafsu dan passion. Sudah jelas hawa yang melarang tidak sama, tetapi berlainan dari yang dilarang.[38]
Roh bersifat kekal dan tidak hancur dengan hancurnya badan. Dia tidak hancur, karena substansinya berasal dari substansi Tuhan. Ia adalah cahaya yang dipancarkan Tuhan selama dalam badan, roh tidak memperoleh kesenangan yang sebenarnya dan pengetahuannya tidak sempurna. Hanya setelah bercerai dengan badan, roh memperoleh kesenangan sebenarnya dalam bentuk pengetahuan yang sempurna. Setelah bercerai dengan badan, roh pergi ke alam kebenaran atau alam akal diatas bintang-bintang, di dalam lingkungan cahaya Tuhan, dekat dengan Tuhan dan dapat melihat Tuhan. Disinilah terletak kesenangan abadi dari roh.[39]
Hanya roh yang sudah suci di dunia ini yang dapat pergi ke alam kebenaran itu. Roh yang masih kotor dan belum bersih, pergi dahulu ke bulan. Setelah berhasil membersihkan diri dari sana, baru ia pindah ke merkuri, dan demikianlah naik setingkat demi setingkat hingga ia akhirnya setelah benar-benar bersih, sampai ke alam akal, dalam lingkungan cahaya Tuhan dan melihat Tuhan.[40]
Jiwa mempunyai tiga daya:
- daya bernafsu (appetitive)
- daya pemarah (irascible)
- dan daya berpikir (cognitive faculty)
daya berpikir itu disebut akal. Menurut Al-Kindi ada tiga macam akal:
- akal yang bersifat potensial
- akal yang telah keluar dari sifat potensial menjadi actual
- dan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas, yang dalam bahasa arab disebut:
فىِ حالةٍ مِنَ الفعْلِ ظَاهِرةً حِيْنَ يَبَاشِرُ الفِعْلَ, الفِعْلُ الَّذى نُسمِّيْهِ الثَّانِى.
“Dalam keadaan aktual nyata, ketika Ia aktual, akal yang kami sebut “yang kedua”[41]
Akal yang bersifat potensial tak bisa mempunyai sifat aktual jika tidak ada kekuatan yang menggerakkannya dari luar. Dan oleh Karena itu bagi Al-Kindi ada lagi satu macam akal yang mempunyai wujud diluar roh manusia, dan bernama:العقل الذي بالعقل أبد (akal yang selamanya dalam aktualitas). Akal ini, karena selamanya dalam aktualitas, ialah yang membuat akal bersifat potensial dalam roh manusia menjadi aktual. Sifat-sifat akal ini:
- ia merupakan akal pertama
- ia selamanya dalam aktualitas
- ia merupakan species dan genus
- ia membuat akal potensial menjadi aktual berpikir
- ia tidak sama dengan akal potensial tetapi lain dari padanya.[42]
Bagi Al-Kindi manusia disebut menjadi عاقل (‘akil) jika ia telah mengetahui universal, yaitu jika ia telah memperoleh akal yang diluar itu. Akal pertama ini bagi Al-Kindi, mengandung arti banyak, karena dia adalah universal. Dalam limpahan dari Yang Mahasatu, akal inilah yang pertama-tama merupakan yang banyak (اوّل متكثّر).[43]
Moral Menurut Al-Kindi
Menurut Al-Kindi, filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia tentang diri dan bahwa seorang filosof wajib menempuh hidup susila. Hikmah sejati membawa serta pengetahuan serta pelaksanaan keutamaan. Kebijaksanaan tidak dicari untuk diri sendiri (Aristoteles), melainkan untuk hidup bahagia (stoa). Tabiat manusia baik, tetapi ia digoda oleh nafsu. Konflik itu dihapuskan oleh pengetahuan (paradoks Socrates). Manusia harus menjauhkan diri dari keserakahan. Milik memberatkan jiwa. Socrates dipuji sebagai contoh zahid (asket). Al-Kindi mengecam para ulama yang memperdagangkan agama (tijarat bi al-din) untuk memperkaya diri dan para filosof yang memperlihatkan jiwa kebinatangan untuk mempertahankan kedudukannya dalam Negara. Ia merasa diri korban kelaliman Negara seperti Socrates. Dalam kesesakan jiwa, filsafat menghiburnya dan mengarahkannya untuk melatih kekangan, keberanian dan hikmah dalam keseimbangan sebagai keutamaan pribadi, tetapi pula keadilan untuk meningkatkan tata Negara. Sebagai filosof, Al-Kindi prihatin, kalau-kalau syari’at kurang menjamin perkembangan kepribadian secara wajar. Karena itu dalam akhlak dia mengutamakan kaedah stoa dan Socrates.[44]
Kenabian Menurut Al-Kindi[45]
Tentang kenabian bagi Al-Kindi adalah satu derajat pengetahuan yang tertinggi bagi manusia. Hanya nabi yang bisa mencapai pengetahuan yang sempurna tentang alam ghaib dan ketuhanan melalui wahyu. Kesanggupan untuk mengetahui seluk-beluk alam ghaib yang sempurna seperti itu tidak mungkin dapat dicapai oleh manusia biasa.
Keterbatasan pengetahuan manusia terhadap soal-soal hakikat dan alam ghaib disebabkan keterbatasan keleluasaan akalnya atas jasad. Oleh karena itu pengetahuan yang dicapai oleh manusia masih sedikit sekali dan hal ini masih belum sepenuhnya pula dapat diyakini kebenarannya. Berlainan dengan wahyu yang disampaikan Tuhan kepada nabi, ia lebih positif dan kebenarannya dapat diyakini sepenuhnya. Jadi kenabian lebih tinggi dari derajat para filosof.
Kesimpulan
Al-kindi adalah filosof islam yang mula-mula secara sadar berupaya mempertemukan ajaran-ajaran islam dengan filsafat yunani. Sebagai seorang filosof, al-kindi amat percaya kepada kemampuan akal untuk memperoleh pengetahuan yang benar tentang realitas. Tetapi dalam waktu yang sama diakuinya pula keterbatasan akal untuk mencapai pengetahuan metafisis. Oleh karenanya menurut al-kindi diperlukan adanya Nabi yang mengajarkan hal-hal diluar jangkauan akal manusia yang diperoleh dari wahyu Tuhan. Dengan demikian, al-kindi tidak sependapat dengan para filosof yunani dalam hal-hal yang dirasakan bertentangan dengan ajaran agama islam yang diyakininya. Misalnya mengenai kejadian alam berasal dari ciptaan Tuhan yang semula tiada, berbeda dengan pendapat aristoteles yang mengatakan bahwa alam tidak diciptakan dan bersifat abadi. Oleh karenanya al-kindi tidak termasuk filosof yang dikritik al-ghazali dalam kitabnya tahafut al-falasifah (kerancuan para filosof).[46]
Karangan-karangan al-kindi umumnya berupa makalah-makalah pendek dan dinilai kurang mendalam dibandingkan dengan tulisan-tulisan farabi. Namun sebagai filosof perintis yang menempuh jalan bukan seperti para pemikir sebelumnya, maka nama al-kindi memperoleh cetak biru dan mendapat tempat yang istimewa di kalangan filosof sezamannya dan sesudahnya. Tentu saja ahli-ahli pikir kontemporer yang cinta kebenaran dan kebijaksanaan akan senantiasa merujuk kepadanya.[47]
REFERENSI:
ý Dr. Hasyimsyah Nasution, M.A, Filsafat Islam, Jakarta: gaya media pratama, cet.III, 2002.
ý Dr. H.A. Mustafa, Filsafat Islam, Bandung: pustaka setia, cet. II, desember 2004.
ý Prof.Dr.H. Abu Bakar Aceh, sejarah filsafat islam, sala\; cv. Ramadani, cet.I, 1970.
ý Yunasril Ali, perkembangan pemikiran falsafi dalam islam, Jakarta: bumi aksara, cet.I, 1991.
ý Dr. Ahmad Fuad Al Ahwani, Filsafaf Islam, Jakarta: pustaka firdaus, cet. 8, 1997.
ý Harun Nasution, Falsafat dan mistisisme dalam islam, Jakarta: bulan bintang, cet.10, 1999.
[1] Dr. Hasyimsyah Nasution, M.A, Filsafat Islam, Jakarta: gaya media pratama, cet.III, 2002, hal. 15
[2] Dr. H.A. Mustafa, Filsafat Islam, Bandung: pustaka setia, cet. II, desember 2004, hal. 99
[3] Ibid, Dr. Hasyimsyah Nasution, M.A, Filsafat Islam
[4] Ibid, Dr. H.A. Mustafa, Filsafat Islam, hal. 100
[5] Ibid, hal. 101
[6] Prof.Dr.H. Abu Bakar Aceh, sejarah filsafat islam, sala\; cv. Ramadani, cet.I, 1970, hal. 46
[7] ibid
[8] ibid
[9] ibid
[10] Ibid, hal. 47
[11] ibid
[12] ibid
[13] Ibid, Dr. Hasyimsyah Nasution, M.A, Filsafat Islam, hal. 17
[14] Ibid, Dr. H.A. Mustafa, Filsafat Islam, hal. 102-103
[15] Ibid, hal. 104
[16] ibid
[17] Ibid, hal. 104-105
[18] Ibid
[19] Ibid, hal. 106
[20] Yunasril Ali, perkembangan pemikiran falsafi dalam islam, Jakarta: bumi aksara, cet.I, 1991, hal. 30
[21] Ibdi, hal. 31
[22] ibid
[23] ibid
[24] Ibid, hal. 32
[25] ibid
[26] Ibid, Dr. H.A. Mustafa, Filsafat Islam, hal. 109
[27] ibid
[28] ibid
[29] Ibid, hal. 109-110
[30] ibid
[31] Dr. Ahmad Fuad Al Ahwani, Filsafaf Islam, Jakarta: pustaka firdaus, cet. 8, 1997, hal. 68
[32] Ibid, hal. 69
[33] Harun Nasution, Falsafat dan mistisisme dalam islam, Jakarta: bulan bintang, cet.10, 1999, hal. 8
[34] Ibid, hal.9
[35] Ibid, Dr. Hasyimsyah Nasution, M.A, Filsafat Islam, hal. 19
[36] Ibid, hal. 20
[37] Ibid, hal. 22
[38] Ibid, Harun Nasution, Falsafat dan mistisisme dalam islam, hal. 10
[39] Ibid, hal. 11
[40] Ibid, hal. 12
[41] Ibid,
[42] Ibid, hal. 13
[43] Ibid, hal. 14
[44] Ibid, Dr. Hasyimsyah Nasution, M.A, Filsafat Islam, hal. 24
[45] Yunasril Ali, perkembangan pemikiran falsafi dalam islam, Jakarta: bumi aksara, cet.I, 1991, hal. 33-34
[46] Ibid, Dr.H.A. Mustafa, filsafat islam, hal. 114-115
[47] ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar